20 Desember 2008

Televisi Berebut Pemirsa dengan Film Lokal

DOKUMENTASI MNC / Kompas Images
Acara musik menyambut Natal 2008 di RCTI.

Minggu, 21 Desember 2008

Budi Suwarna

Sejumlah stasiun televisi menyiapkan film Indonesia terbaru untuk merebut pemirsa selama liburan Natal 2008 dan Tahun Baru 2009. Tahun-tahun sebelumnya, sesama stasiun televisi cenderung "bertarung" dengan senjata film-film Hollywood.

SCTV menyiapkan enam film layar lebar, yakni Oh Baby, Tarix Jabrix, Quicky Express, Best Friend, Get Married, dan Namaku Dick. Kecuali Get Married, film-film itu diproduksi tahun 2008. "Kami memilih film-film nasional yang masa tayangnya di bioskop belum lama habis," ujar Budi Darmawan, Senior Manajer Humas SCTV, Jumat (19/12).

Budi menjelaskan, daripada memutar film Hollywood, SCTV lebih memilih menayangkan film nasional untuk libur Natal dan Tahun Baru. Pertimbangannya, film Hollywood terbaru harganya meroket seiring melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

"Padahal, kami harus membeli film Hollywood dalam bentuk paket. Dari 10 film, yang bagus paling 1-2 film," ujarnya.

Dia menyebutkan, harga satu film Hollywood bisa mencapai Rp 600 juta. "Uang sebesar itu bisa digunakan untuk membeli beberapa film nasional terbaru," ujar Budi yang tidak bersedia menyebut harga satu film lokal.

SCTV menayangkan Oh Baby, Tarix Jabrix, dan Quicky Express pada 31 Desember 2008 masing-masing pukul 18.00, 20.00, dan 22.00. Pada 1 Januari 2009, SCTV memutar Best Friend, Get Married, dan Namaku Dick masing-masing pukul 18.00, 20.00, dan 22.00.

SCTV akan bersaing dengan RCTI, TPI, dan antv yang juga memutar film lokal terbaru. RCTI memasang dua film nasional produksi tahun 2008, yakni Claudia/Jasmine pada 1 Januari pukul 22.30 dan Summer Breeze pada 30 Desember pukul 22.30.

TPI memutar film keluaran tahun 2008, yakni Tali Pocong Perawan pada 1 Januari pukul 21.30. Selain itu, TPI menyiapkan film "setan-setanan" laris lainnya, seperti Mirror dan Bangku Kosong pada 2 dan 3 Januari. Stasiun antv juga memutar film "setan-setanan", yakni Kuntilanak (1 hingga 3) masing-masing tanggal 26, 27, dan 28 Desember pukul 22.00.

Jika melihat jadwal pemutarannya, pertarungan ketat untuk memperebutkan penonton film lokal di televisi akan terjadi pada 1 Januari antara pukul 20.00 dan 22.30. Pada saat itu, SCTV, RCTI, dan TPI memutar film lokal yang waktunya bersinggungan.

Selain film nasional, RCTI tetap menayangkan film Hollywood bernuansa Natal, seperti yang mereka lakukan setiap tahun. Film yang disiapkan antara lain Jingle All The Way, Home Alone (1 hingga 4), dan film serial Doraemon.

"Kami tetap menayangkan film Hollywood karena itu sudah identik dengan program Natal dan Tahun Baru RCTI," ujar Direktur Program RCTI Harsiwi Achmad, Jumat.

RCTI kemungkinan akan bersaing dengan Global TV, Trans TV, dan Trans7 yang juga memutar film-film Hollywood.

Musik spesial

Di luar film, sejumlah stasiun televisi akan bersaing melalui program musik spesial. Pada puncak malam Natal, RCTI menyiapkan acara Indah Rencana-Mu. Selanjutnya, RCTI menggelar Mega Konser Duet Super Band yang menghadirkan grup band Nidji dan D'Masiv. Acara itu ditayangkan secara langsung dari Pantai Karnaval Ancol tanggal 29 Desember.

Pada malam pergantian tahun, RCTI menggelar Mega Konser Super Band 2008/2009 yang menampilkan empat grup band, yakni Ungu, Peterpan, The Changcuters, dan Kangen Band.

Acara musik spesial itu merupakan jualan utama RCTI untuk pergantian tahun kali ini. "Kami optimistis bisa merebut pemirsa karena enam band papan atas di Indonesia ada di tangan kami," kata Harsiwi.

Dua "saudara" RCTI, Global dan TPI, juga menyiapkan acara musik spesial. TPI yang identik dengan musik dangdut menggelar Nyantai Bareng Bang Rhoma menjelang pergantian tahun. Acara yang juga menampilkan penyanyi dangdut senior Rita Sugiarto dan Ike Nurjanah itu akan ditayangkan langsung dari Ancol.

Global TV akan berusaha membuat anak-anak muda generasi MTV tidak berpaling ke stasiun televisi lain dengan menggelar MTV Music Spesial Akhir Tahun tanggal 26 Desember.

SCTV mencoba merebut perhatian dengan Musik Spesial pada 26 Desember malam. Acara itu menampilkan Agnes Monica dan grup band Krispatih. Sementara itu, antv menghadirkan Slank sebagai bintang tamu sketsa komedi Tawa Sutra XL.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/21/01523568/berebut.pemirsa.dengan.film.lokal

KARTUN KOMPAS MINGGU 21 Desember 2008

Idola Cilik Jilid Dua - KRONIK TELEVISI

Kontes Idola Cilik 2 mendapatkan 14 finalis yang masuk ke babak "Pentas Idola". Mereka tersaring dari 42 kontestan di babak "Menuju Pentas Idola". Sebanyak 14 finalis ini nantinya akan dieliminasi satu orang setiap pekannya.

Namun, berbeda dengan Idola Cilik 1, pengumuman eliminasi diberikan sehari sesudahnya. Jika pentas hari Sabtu, rapor akan diberikan Minggu. Ini untuk memberikan tenggang waktu pengiriman SMS dari pemirsa televisi dan para pendukung sang idola.

Ke-14 finalis itu adalah Irsyad, kelahiran Bukit Tinggi 26 Februari 1997; Rahmi, lahir di Banda Aceh 1 Agustus 1996; Abner, lahir di Modomang, Sulawesi Utara, 30 Mei 1996; Gita lahir di Palembang, 11 Juni 1996; Cahya kelahiran Boyolali 20 Maret 1998; Olin, lahir di Galela, Maluku, 4 Maret 1996; Obiet kelahiran Temanggung 16 Juli 1998; Ourel kelahiran Medan 18 Juli 2000 dan menjadi finalis termuda; Oik, lahir di Salatiga 20 Januari 1998; Bastian, lahir di Bandung 21 September 1999; Patton, lahir di Makassar 29 Oktober 1998; Agni kelahiran Pekalongan 26 Juni 1998; Debo, lahir di Sukabumi 31 Januari 1997; dan terakhir Cakka, lahir di Tangerang 18 Agustus 1998.

Empat artis, yakni Ira Maya Sopha, Duta "Sheila On 7", Dave Hendrik, dan Winda Viska Ria, menjadi komentator program yang ditayangkan RCTI ini. Acara ini dipandu oleh Okky Lukman.

Direktur Programming RCTI Harsiwi Achmad menegaskan, Idola Cilik 2 bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak berusia 7-12 tahun yang ingin berkarya di dunia tarik suara.

Agar pelajaran sekolah tidak tertinggal, para finalis tidak dikarantina. Artinya, seusai pentas mereka bisa bersekolah dan datang kembali pada pentas berikutnya. (IVV)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/21/01480028/kronik.televisi

Lusy Rahmawaty Tak Berubah

Penyanyi Lusy Rahmawaty (31) mengaku tak akan mengubah penampilannya terlalu banyak meski sekarang ia resmi menyandang gelar hajah. "Penampilanku tidak akan berubah banyak karena yang penting adalah esensi dalam hati setelah menunaikan ibadah haji. Bukan pada penampilan secara fisik," tutur Lusy di Jakarta, Sabtu (20/12).

Selama hampir sebulan penuh ia dan adiknya berada di Mekkah dan Madinah untuk menjalankan ibadah umrah dan haji sekaligus. "Sungguh sebuah pengalaman yang dahsyat melihat jutaan orang dari berbagai bangsa menjadi satu dan melakukan hal yang sama di satu tempat. Aku tidak bisa membendung air mataku saat pertama kali melihat Kabah," kenang mantan personel AB Three ini.

Pulang dari haji, Lusy siap masuk dapur rekaman untuk album solo keempatnya. Ada lima lagu dalam album baru itu, dua di antaranya digubah sendiri oleh Lusy. "Kebetulan, lirik dua lagu baru itu adalah curahan hatiku yang juga aku bawa saat ke Tanah Suci kemarin. Di sana aku curhat sama Tuhan, mengadukan semua beban hati ini," tandas ibu dari Keitaro Jose (4) dan Kimiko Lucibelle (2).

Memang lagi ada masalah apa, Lusy? "Ah, baca aja sendiri liriknya kalau albumnya sudah dirilis nanti!" tukasnya. (DHF)

http://cetak.kompas.com/namaperistiwa Minggu, 21 Desember 2008

Iklan Tak Ubah Pilihan Rakyat - Kalla: Kinerja Lebih Menentukan

Banjarmasin, Kompas - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Jusuf Kalla menegaskan, dirinya tidak percaya dengan hasil-hasil survei lembaga survei. Alasannya, hasil survei tidak menunjukkan kondisi yang sebenarnya di masyarakat.

Contohnya, dalam hasil survei sebuah lembaga survei baru-baru ini di mana Partai Golkar ditempatkan pada nomor tiga dengan angka sekitar 11,9 persen.

Hal itu disampaikan Jusuf Kalla saat memberikan pembekalan dalam acara pembukaan Rapat Pimpinan Daerah (Rapimda) IV dan penataran juru kampanye Partai Golkar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (20/12) sore waktu setempat.

Dalam acara itu hadir Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh, Sekjen DPP Partai Golkar Soemarsono, dan anggota Dewan Penasihat Partai Golkar Fahmi Idris yang juga Menteri Perindustrian.

"Saya tidak percaya. Tidak mungkin dalam waktu seminggu dua minggu membaca iklan tentang sembako, pikiran orang langsung berubah. Terlalu murah bangsa ini kalau hanya baca iklan langsung berbalik dan memilihnya. Juga sangat memandang rendah (rakyat) negeri ini yang hanya membaca iklan saja sudah memutar balik pilihannya dalam pemilu mendatang," katanya.

Meski demikian, menurut Kalla, pihaknya mempersilakan kalau orang yang mau membuat survei apa pun terkait partainya.

"Apalagi kalau yang membuat itu dekat dengan salah satu partai yang diunggulkan itu. Saya bilang, kenapa tidak sekalian saja dibuat hasil surveinya 50 persen, biar menang sekalian," tambahnya, tanpa merinci siapa yang dimaksudnya.

Namun, berdasarkan catatan Kompas, baru-baru ini Lingkaran Survey Indonesia (LSI) yang dipimpin Denny JA mengumumkan hasil surveinya yang menyebutkan Partai Golkar nomor tiga dengan suara 11,9 persen; Partai Demokrat nomor dua dengan persentase 19,3 persen; dan PDI-P nomor teratas dengan suara 31,0 persen.

Kalla menegaskan, yang menentukan seseorang atau partai dipilih oleh masyarakat adalah kedekatannya dengan rakyat pemilih.

Selain itu, menurut dia, penentu lainnya ialah perjuangan partai atau figur selama ini untuk menyejahterakan rakyat dan juga jejak rekam (track record) seseorang serta kinerja partainya ketika memerintah. (har)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/21/01565865/iklan.tak.ubah.pilihan.rakyat

Televisi, Demi Kejar Tayang

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Persiapan shooting acara Bukan Empat Mata di Studio 9 Trans7, Jakarta, Kamis (4/12).
 
Minggu, 21 Desember 2008 

Budi Suwarna dan Susi Ivvaty

Apa pun, program kejar tayang di televisi biasanya dibuat serba tergesa-gesa. Bagaimana kita bisa menilai estetika produk industri kebudayaan semacam ini?

Hari yang sibuk buat Mardhatillah, associate producer Bukan Empat Mata (sebelumnya bernama Empat Mata). Seusai menyelesaikan shooting rekaman Bukan Empat Mata (BEM), Selasa (16/12) petang, Tia, begitu dia disapa, langsung bertolak dari studio Trans7 di Mampang, Jakarta Selatan, menuju Kampus FISIP Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat, untuk mengikuti ujian.

Seusai mengikuti ujian, malam itu juga Tia kembali ke Trans7 untuk memimpin shooting BEM yang ditayangkan secara langsung. "Wah, capeknya minta ampun," kata Tia, Kamis di Trans7.

Tanpa ada ujian pun, setiap hari Tia sudah supersibuk. Setiap Selasa dan Rabu, Tia harus memimpin masing-masing dua shooting BEM. Sekitar pukul 16.00 hingga 19.00, dia memimpin shooting rekaman (taping) untuk episode Jumat dan Senin. Sekitar pukul 21.00 hingga 23.00, dia memimpin shooting tayang langsung (live).

Apabila shooting episode rekaman mulai pukul 16.00, empat jam sebelumnya Tia dan kru sudah mempersiapkan segalanya. Setelah shooting itu selesai, dia harus segera mempersiapkan BEM shooting berikutnya untuk episode tayang langsung.

Hari Kamis dia dan kru hanya satu kali shooting BEM untuk episode tayang langsung. Di luar itu, Tia harus siap memimpin shooting untuk episode khusus seperti Lebaran.

Jika tidak ada shooting, Tia dan 10 kru intinya harus mengurus tetek bengek persiapan produksi, seperti meriset tamu yang akan diundang, menyusun anggaran, menentukan tema acara, membuat jadwal kerja, menyusun daftar kebutuhan shooting; pascaproduksi, hingga menghadiri rapat yang membahas pergerakan rating BEM.

Saking sibuknya, Tia mengaku sering kali baru bisa pulang ke rumah sekitar pukul 02.00. "Di rumah saya hanya numpang tidur, setelah itu kembali lagi ke kantor. Untuk melahirkan ide-ide untuk BEM, kadang tidak sempat," katanya.

Industri televisi, terutama yang memproduksi program kejar tayang, memang menuntut kerja amat keras. Orang-orang yang terlibat dalam pembuatan sinetron kejar tayang mungkin bekerja lebih keras dibandingkan dengan kru BEM. Mereka sering kali shooting hampir 24 jam tanpa henti.

Mari kita tengok lokasi shooting Cinta Indah produksi Multivision Plus atau Upik Abu dan Laura produksi SinemArt beberapa bulan lalu. Para kru "bergelimpangan" di kursi, tertidur karena capek seusai shooting. Lembar-lembar naskah skenario berserakan begitu saja.

Manoj Punjabi, pemilik rumah produksi MD Entertainment yang memproduksi sinetron kejar tayang seperti Cinta Fitri (SCTV), mengatakan, kerja semacam itu wajar-wajar saja. Apalagi para kru dan bintang telah dibayar mahal.

Dia pun menuntut timnya untuk bekerja 18 jam sehari. "Pokoknya, untuk shooting satu hari harus bisa (menghasilkan) satu episode agar bisa kejar tayang," katanya, Jumat.

Dengan cara kerja seperti itu, sinetron Cintra Fitri produksi MD Entertainment bisa dibuat hingga ratusan episode. Cinta Fitri 1 dibuat 200 episode, Cinta Fitri 2 168 episode, dan Cinta Fitri 3 sudah berjalan 30 episode dari rencana 150 episode.

Selain Cintra Fitri 3, ada tiga sinetron kejar tayang lainnya di SCTV, yakni Koq Gitu Sich, Melati Untuk Marvel, dan Cucu Menantu. Praktis setiap hari penonton dicekoki tayangan yang hampir semua digarap di tengah waktu yang serba mepet.

Bagaimana para kru bisa menghasilkan ide yang bernas di tengah tuntutan dan tekanan kerja yang dahsyat dan bersifat rutin? Penulis skenario Cassandra Massardi mengaku sudah biasa dengan tekanan kerja seperti itu. Namun, dia kadang tidak bisa lagi berpikir karena harus menulis skenario terus dalam 24 jam.

"Ya mau tidak mau harus dipaksa mikir karena naskah skenario sudah ditunggu," katanya beberapa waktu lalu.

Di dunia sinetron sudah lazim skenario dibuat dengan terburu-buru beberapa jam sebelum shooting dimulai. Bahkan, kadang skenario harus diubah di tengah-tengah shooting lantaran ada pemain yang sakit atau tidak datang ke lokasi. Akibatnya, alur cerita sinetron menjadi tidak karu-karuan.

Tia mengatakan, kendala terbesar yang dihadapinya adalah rutinitas kerja. "Karena semuanya sudah rutin, kadang kita juga kehabisan ide," katanya.

Mungkin itulah sebabnya mengapa acara Empat Mata dan BEM dari dulu begitu-begitu saja. Guyonan Tukul Arwana tidak banyak berubah selama 2,5 tahun membawakan acara tersebut. Kalaupun ada perubahan, sebatas pada tata panggung.

Genjot terus

Manoj mengatakan, sepengetahuannya, sistem kejar tayang hanya ada di Indonesia. "Di belahan dunia mana pun, mana ada film serial kejar tayang," ujarnya.

Di Amerika Serikat, seperti Kompas pernah saksikan, shooting serial televisi dilakukan sekaligus untuk satu musim atau satu putaran. Setelah proses produksi rampung semua, baru serial itu ditayangkan di televisi.

Pembuat film serial di sana pun membatasi sebuah film tidak lebih dari 50, bahkan 20, episode per putaran sehingga mutunya bisa terjaga. Tidak seperti di Indonesia, sinetron bisa diulur-ulur hingga 200 episode per putaran karena ratingnya dianggap bagus meski ceritanya jadi melebar ke mana-mana.

Meski menggunakan sistem kejar tayang, Manoj mengatakan, tidak berarti mutu sinetron kita jelek. Mengapa? Karena aspek cerita tetap menjadi perhatian utama.

Pengamat budaya AS, Laksana, mengatakan, sulit menilai estetika sebuah produk kejar tayang. "Produk semacam itu tidak lahir dari konsep produksi yang matang. Semua bisa diubah-ubah seenaknya. Yang dipersiapkan secara matang saja hasilnya bisa jelek kok," katanya.

Kalaupun ada satu-dua yang bagus, lanjutnya, itu pasti kebetulan belaka. Setelah itu, pembuatnya tidak akan bisa mengulang. Mengapa? Karena produksi program tersebut, selanjutnya, akan digenjot dan diperas habisan-habisan demi sistem kejar tayang.

"Pembuatnya sampai tidak punya waktu untuk berpikir, apalagi menemukan ide-ide baru," ujarnya.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/21/02014464/demi.kejar.tayang

Check out my Facebook profile

facebook

Check out my Facebook profile


Hi triana.julianty.indonesiatvguide,

I set up a Facebook profile where I can post my pictures, videos and events and I want to add you as a friend so you can see it. First, you need to join Facebook! Once you join, you can also create your own profile.

Thanks,
Teguh

To sign up for Facebook, follow the link below:
http://www.facebook.com/p.php?i=1001757058&k=66C3Z5RYUY6M5BA1SDX2XT&r
This e-mail may contain promotional materials. If you do not wish to receive future commercial mailings from Facebook, please opt out. Facebook's offices are located at 156 University Ave., Palo Alto, CA 94301.

Kiamat Media Cetak, Sekadar Mitos?

Steve Ballmer mengulang ramalan Bill Gates tentang akhir media cetak, pada tahun 2018
Sabtu, 20 Desember 2008, 14:16 WIB

Indra Darmawan
Kios Koran di Washington DC (VIVAnews/Nenden Novianti)

"Oh Tuhan, terjadi tembak menembak di Mumbai Selatan. Saudara kandung perempuan saya bekerja di sana!"

Posting itu dibuat oleh warga India, Prasad Naik, melalui situs micro blogging Tweeter, jauh sebelum situs berita resmi menurunkan laporan lengkap tentang tragedi Mumbai, akhir November silam.

Situs microblogging Twitter memang menyediakan fasilitas bagi penggunanya untuk melaporkan kegiatan apa saja yang mereka lakukan. Biasanya, hanya dalam beberapa baris teks saja, bisa melalui ponsel atau lewat komputer, secara real time.

Setelah posting Prasad, Twitter seperti kebanjiran laporan-laporan lain tentang Mumbai. Ketegangan demi ketegangan meliputi setiap posting baru yang muncul di situs tersebut.

Cepatnya berita yang menyebar lewat Twitter, membuat BBC, salah satu media broadcasting terbesar di dunia menyertakannya sebagai bagian dari liputannya.

Media Baru, Kecepatan versus Akurasi
Belakangan, langkah BBC  mendapat protes karena dianggap mencampur adukkan hasil liputan berita serius dengan kabar yang belum jelas kesahihannya.

Demi kecepatan, BBC dianggap mengorbankan aspek konfirmasi yang mesti dilakukan dalam sebuah karya jurnalistik.

Selama ini, kecepatan berita seperti menjadi musuh bebuyutan akurasi berita. Media berita online yang menyiarkan berita cepat, harus selalu berjibaku melawan ketidakakuratan, mulai dari tulisan nama, jabatan tokoh, bahkan, hingga esensi berita itu sendiri, karena sempitnya waktu untuk melakukan konfirmasi berita awal.

Beberapa berita di media online, malah sering menjadi alat ralat dari berita sebelumnya.

Posting di Twitter tentang tragedi Mumbai

Namun, menurut pengamat media baru, Ninok Leksono, dalam kondisi genting, orang akan sangat menghargai kecepatan berita dari sebuah media. "Lebih baik ada berita, ketimbang tidak ada berita sama sekali."

Apa yang terjadi di Mumbai India, dalam skala tertentu juga terjadi di Indonesia. Di sini, juga sudah ada situs microblogging semacam Twitter. Namanya Kronologger.com. Setelah sekitar dua tahun muncul, ada sekitar dua ribuan anggota yang bergabung.

Di situs tersebut, Kroner -para anggota Kronologger- biasa berbagi informasi mulai dari sekadar informasi kemacetan jalan, informasi daerah banjir, atau bahkan ketika gempa sedang terjadi di beberapa belahan daerah di Indonesia.

Yang menarik, nyawa pendiri situs ini, Kukuh TW, bahkan pernah tertolong oleh teknologi buatannya itu.

Suatu Minggu sekitar setahun yang lalu, Kukuh, terkulai pingsan ketika mengganti ban mobilnya yang ia parkir di Blok M Plaza Jakarta Selatan. Kukuh memang memiliki suatu penyakit yang khusus.
 
Sejak semalaman hingga pagi itu, perutnya belum kena penganan. Tiba-tiba saja tubuhnya lemas dan mulai ambruk. Ia sempat berusaha untuk menelepon saudaranya, namun, ia sudah tak kuat lagi untuk memberitahukan posisinya saat itu.

Setelah sekian lama tak pulang, keluarga Kukuh kelabakan. Mereka mencoba melacaknya di Kronologger. Untung saja, Kukuh sempat memposting kabar terakhirnya di situs itu, yaitu sedang mengganti ban di Blok M Plaza.

Kejadian itu sekaligus membuktikan manfaat dan kekuatan media baru yang tak bisa lagi dianggap remeh.

Kabar tentang gempa bumi di situs microblogging Kronologger

Menurut Harry Sufehmi, blogger senior yang juga salah satu pengelola Kronologger, kecepatan media baru memang sudah teruji. Beberapa kejadian yang luput dari media konvensional, kadang muncul di Kronologger.

"Terakhir, gempa 6,9 skala Richter di Minahasa beberapa saat lalu, malah muncul lebih dulu di Kronologger daripada di media online terkemuka," ujar Harry.

Menurut Harry, memang harus ada kompromi antara akurasi berita dan kecepatan, yang bisa dilakukan melalui teknologi pada media baru. Sebab, bagamainapun, kata Harry, kecepatan berita adalah poin penting bagi media.

Lagipula, kata Harry, masalah ketidakakuratan konten berita di media baru, sebenarnya bukan berasal dari teknologinya, melainkan dari pelaku yang memanfaatkan teknologi itu sendiri. "Ini bukan masalah teknologinya, tapi orangnya," ujar Harry.

Anak Muda Mulai Asing dengan Koran

Bill Gates pernah memprediksi bahwa era media cetak akan berakhir pada tahun 2000. Karena ramalan itu, asosiasi surat kabar dunia World Association Newspaper, kebakaran jenggot.

Konon, sekitar seribuan anggotanya di seantero dunia - termasuk koran ternama dari Indonesia, hadir dalam pertemuan khusus dalam rangka melakukan konsolidasi.

Namun, hingga kini ternyata ramalan itu gagal. Koran, tabloid, dan  majalah-majalah masih terjejer rapi di lapak-lapak di pojokan kota. Tapi, siapa yang membaca? Agaknya, bukan kebanyakan anak muda.

Tanya saja pada anak-anak usia belasan. Aditya Ridzky, Mahasiswa jurusan Politeknik Telkom Bandung di Bandung, mengaku tak pernah baca koran, atau berita lewat media cetak.

Pembaca koran di Bandara Minneapolis-St.Paul International Airport, AS

Pria berusia 19 tahun itu lebih suka mampir ke warnet, atau nongkrong di cafe ber-hotspot untuk browsing internet lewat laptopnya, ketimbang menyisihkan uang untuk membeli koran.

Bila tak sedang mengerjakan tugas kuliah, Adit lebih suka memperbarui profil jejaring sosialnya, atau sesekali mencari berita.

"Saya lebih suka baca berita di Internet karena jangkauannya lebih luas," ujar Adit. Lewat Internet, ia bisa mencari konten berita apa saja yang ia suka melalui mesin pencari Google

Tak jauh beda dengan Adit, Fidia Nurul Prininta, siswi kelas 3 SMP Muhammadiyah 5 Surabaya. Menurut Fidia, ia tak pernah membeli  surat kabar harian. Ia mengaku lebih suka untuk mengutak-atik tampilan friendsternya, melakukan chatting di Yahoo Messenger, dan mencari berita lewat Internet daripada membaca koran.

"Saya malas saja baca koran. Karena beritanya terbatas cuma topik hari itu saja." kata Fidia. Setiap hari Fidia bisa meluangkan waktu antara 2-3 jam di depan internet.

Gejala ini memang sejalan dengan riset AC Nielsen tentang tren internet di kuartal tiga tahun ini, yang baru dilansir sebulan lalu.

Menurut penelitian tersebut, pembaca majalah anjlok hingga 24 persen dari tahun lalu, pembaca tabloid merosot 12 persen, dan koran turun 4 persen. Sementara pembaca internet malah mengalami kenaikan hingga 17 persen dari tahun lalu.

Menurunnya tren pembaca media cetak, kebanyakan disebabkan karena konsumen terlalu sibuk untuk membaca (72 persen), beralih ke TV (14 persen), dan karena berhenti membeli karena harga naik (11 persen).

Problema Media Cetak Lokal
Naiknya harga kertas koran di Indonesia, memang tak terelakkan. Melonjaknya nilai tukar dolar terhadap rupiah, sudah tentu membuat harga kertas koran makin tak terjangkau.

Sebenarnya, kata Ketua Serikat Penerbit Surat Kabar, Leo Batubara, harga dasar kertas koran Oktober hingga Desember tahun ini, sudah turun 3,4 persen dari USD 870 (Rp 8.821,7) per kilogram, menjadi USD 840 (Rp 8.516,4) per kg.

Namun, karena krisis global membuat nilai tukar dolar meroket ke kisaran angka Rp 11.000, maka harga kertas koran naik 19,35 persen menjadi Rp 10.164 per kilogram (termasuk pajak).

Menurut Leo, kondisi itu diperparah dengan keengganan pemerintah untuk membebaskan pajak bagi produk-produk yang mencerahkan pengetahuan masyarakat (knowledge product), semacam buku, majalah, dan koran. Selama ini, koran pun tak luput dari pungutan pajak 10 persen.

Kondisi ini, kata Leo, tak akan dijumpai di India. Itu juga yang menjadi salah satu sebabnya, mengapa harga koran di India bisa ditekan hingga sekitar Rp 400 atau seperenam dari harga rata-rata koran lokal, dan harga majalah di India, cuma seharga sekitar Rp 4.000 atau sekitar seperenam harga rata-rata majalah yang dijual di sini.

"Pemerintah kita sepertinya memang tidak ingin bila rakyat Indonesia menjadi cerdas," ujar Leo dengan nada kecewa.

Media cetak kita juga punya masalah lain. Leo mengungkapkan, dari sekitar seribu media cetak di Indonesia, hanya 30 persen di antaranya yang tak kesulitan mendapat iklan. "70 persen lainnya tidak sehat secara bisnis."

Alih-alih memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat, sekitar 560 perusahaan media cetak, kata Leo, malah bersifat 'merusak'.

Untuk menghidupi perusahaan mereka, media tersebut malah melakukan praktek-praktek ilegal, seperti menerima amplop dari narasumber, bahkan melakukan pemerasan. Oleh karenanya, Leo lebih suka bila perusahaan-perusahaan ini tutup saja sekalian.

Lebih lanjut, Leo menyarankan bahwa sebaiknya media-media mulai melebarkan sayapnya. "Perusahaan media harus go-multimedia. Yang punya koran, harus punya TV, atau media online."

Menurut Leo, media online adalah media masa depan. Pasalnya, ini adalah media ini yang paling nyaman dinikmati dan murah. Namun demikian, Leo tidak percaya bila media online akan segera mendekatkan media cetak pada ajalnya.

Tren Media Cetak di AS dan Nubuat Baru dari Microsoft

Pertumbuhan media cetak di negara-negara Asia, khususnya Cina dan India, serta di Eropa Timur masih terus meningkat. Tapi, Leo mengakui bahwa oplah media cetak di banyak negara di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan bahkan Jepang menurun.

Kantor Surat Kabar The Los Angeles Times

Di akhir tahun ini, beberapa media cetak Amerika memang harus mengalami pengalaman pahit. Koran Christian Science Monitor harus berhenti terbit tiap hari dan beralih ke online. Begitu juga majalah komputer milik PC Magazine. Yang terakhir, konglomerat media cetak kedua terbesar di AS, Tribune Co, bangkrut.


Dulu, Bill Gates memang salah total dengan ramalan tentang berakhirnya media cetak pada tahun 2000. Namun, penggantinya di Microsoft, Steve Ballmer, telah membuat nubuat (ramalan) baru yang kurang lebih serupa. Kepada Washington Post, Steve mengatakan bahwa seluruh media cetak akan musnah.

"Ini premis dari saya. Pertama, tidak akan ada konsumsi media lagi yang tidak didistribusikan melalui jaringan Internet Protocol (IP), dalam 10 tahun ke depan. Tidak akan ada surat kabar, majalah yang dijual dalam bentuk kertas. Semua akan didistribusikan dalam bentuk elektronik," kata CEO Microsoft itu.

Ucapan Steve itu memang terkesan hiperbol. Bila nanti prediksi Steve terbukti salah, boleh jadi koran-koran dan majalah yang akan paling dulu memberitakan kesalahan itu di artikel halaman muka media mereka. Bila sebaliknya, setidaknya Steve lebih sukses dalam hal ramal-meramal, ketimbang pendahulunya, Bill Gates.

• VIVAnews

18 Desember 2008

Becky Tumewu Memberi Realitas

Pembawa acara Becky Tumewu (36) bersama Erwin Parengkuan dan psikolog Alexander Sriewijono yang tergabung dalam TALK-inc, Selasa (16/12), meluncurkan buku TALK-inc Points di Jakarta.

TALK-inc adalah lembaga yang mereka dirikan dan bergerak di bidang pelatihan menjadi presenter, master of ceremony (MC), dan public speaking. Buku itu berisi hal-hal yang berhubungan dengan kepelatihanan lembaga mereka, juga dilengkapi DVD tentang beberapa tokoh bidang ini.

"Kami senang bisa membantu mereka yang ingin menjadi presenter atau minimal menguasai public speaking," kata Becky.

Penyanyi Baim yang hadir bertanya tentang efektivitas pelatihan TALK-inc. "Apa semua peserta pelatihan TALK-inc pasti bisa melakukan apa yang diajarkan? Pengalaman dalam pelatihan musik, saya menemukan banyak yang tak bisa karena tidak berbakat."

Jawab Becky, inti pelatihan mereka tak semata mengajarkan sesuatu. "Kami tidak memberikan teori saja. Kalau cuma ini, jelas banyak yang tak bisa menerapkannya. Yang kami lakukan, menyiapkan berbagai hal berkaitan dengan public speaking, seperti kepercayaan diri, juga realitas yang ada. Jadi, peserta memahami masalah secara keseluruhan."

Ia menambahkan, banyak peserta bisa melihat dunia keseharian dengan lebih menarik setelah mengikuti pelatihan. "Saya senang kalau orang puas dengan pelatihan kami," katanya. (ARB)

http://cetak.kompas.com/namaperistiwa Jumat, 19 Desember 2008

16 Desember 2008

Xtreme IdolaPerjuangan Bertemu Artis Idola

TPI juga meluncurkan program Bagi-bagi Modal.


Kamu ngefans sama para selebriti di Tanah Air, seperti penyanyi, bintang film, bintang iklan, ataupun presenter? Kalau ada di antara mereka yang menjadi idola Anda, tidak ada salahnya untuk mengikuti acara TPI bertajuk Xtreme Idola. Dengan mengirimkan biodata, foto diri, dan menuliskan artis idola Anda, stasiun televisi ini akan membantu untuk mempertemukan Anda dengan sang idola.

Program reality show baru ini bakal menemui pemirsa setiap Selasa mulai hari ini (16/12) pukul 11.00 WIB. Namun, sebelum bertemu artis idola, tim Xtreme Idola bakal ngerjain pemirsa dulu. Makanya siap-siap dengan aksi jail mereka yang extreme dan tentunya bikin histeris. ''Pada dasarnya sama dengan reality show lainnya. Kita mempertemukan fans dengan idolanya. Tapi, kita buat dalam suasana yang extreme,'' jelas Produser Xtreme Idola, Edi Santoso, kepada Republika, Senin (15/12).

Pada awal acara, kata Edi, pihaknya mencari artis yang akan ditampilkan.  Setelah itu, baru dicari informasi mengenai orang yang ngefans sekali dengan artis tersebut, misalnya, Marcel Chandrawinata dan Ramzi. Peserta yang ngefans sama idolanya akan dikerjain hingga dia down, bahkan menangis. ''Di sinilah menariknya acara ini dan akan dipandu oleh Nino Kristian,'' ujar Edi.

Program ini diyakini Edi mampu menghibur pemirsa TPI terutama remaja dan umum kelas menengah ke bawah. ''Kita sengaja menempatkan pada pukul 11.00 WIB karena ingin menampilkan alternatif tontonan. Biasanya pada jam ini lebih banyak sinetron. Nah, kami ingin membuat tontonan segar di siang hari,'' paparnya.

Sementara itu, Viny Felasiani, humas TPI, mengatakan, penayangan Xtreme Idola pada siang hari merupakan strategi pihaknya untuk menjaring penonton sebanyak-banyaknya. ''Di tengah maraknya tayangan sinetron di hampir semua stasiun televisi, program dengan genre yang berbeda tentunya dapat menawarkan hawa segar dan alternatif tontonan yang menarik bagi pemirsa. Meski bukan hal baru, pemunculannya yang dikemas dengan berbagai pilihan konsep yang fresh dan unik diyakini dapat merajai perolehan rating dan share,'' paparnya. 

Tebak-tebak Buah Manggis
Selain Xtreme Idola, TPI juga meluncurkan reality show lainnya bertajuk Tebak-tebak Buah Manggis. Acara baru ini hadir  mulai Rabu (17/12) pukul 11.00 WIB.

Dalam program ini pemirsa yang suka pergi ke tempat hiburan harus bersiap-siap. Pasalnya, bakal didatangi oleh dua orang presenter, yakni Sule dan Rina, yang didandani sedemikian rupa sehingga sulit dikenali. ''Konsepnya sangat sederhana, kami hanya meminta tiga sampai empat peserta yang diambil secara spontan dari lokasi shooting di mal atau tempat hiburan lainnya untuk menebak,'' ujar produser Tebak-tebak Buah Manggis, Sugriwan.

Ada beberapa permainan (games) yang dihadirkan dalam acara ini. Pertama, tebak korban. Tim reality show ini mendatangi seseorang secara spontan dan diminta untuk menebak isi kantong celana atau baju si korban. Korban yang ditunjuk pun secara spontan. ''Kami ngasih pilihan jawaban, misalnya HP, duit, atau apa yang dilontarkan oleh host. Atau, mereka juga boleh memilih jawaban sendiri,'' ungkap Sugriwan.

Setelah itu, kata Sugriwan, host mendatangi korban dan melakukan pembuktian. Jika benar, si penebak dapat hadiah berupa uang. Namun, jika salah, uangnya untuk si korban. ''Kami akan menggunakan hidden camera (kamera tersembunyi) sebelum pembuktian.''

Tapi, yang paling menarik, menurut Sugriwan, adalah saat tim mendatangi orang yang berpasangan. Entah itu kekasih, sahabat, atau suami-istri. Orang tersebut diminta menebak telepon atau SMS terakhir pasangannya. Dalam episode ini timbul kelucuan, di mana akan terungkap kepada siapa dia SMS atau telepon.

Selain dua reality show terbaru tadi, TPI juga menghadirkan beberapa program baru, di antaranya Bagi-bagi Modal, setiap Senin sampai Jumat, pukul 17.00 WIB. Program ini bercerita tentang dua keluarga yang didatangi oleh host kemudian masing-masing dari keluarga tersebut diberikan modal untuk berdagang. Bagi keluarga yang paling banyak menjual dagangannya serta paling menghemat uang produksinya, akan menjadi juara dan berhak atas hadiah uang tunai sebesar Rp 10 juta. c63

http://www.republika.co.id/koran/43/20618.html

Kasus Sengketa Hak Siar Liga Inggris, Billy Pesan Isi Putusan KPPU Melalui SMS

JAKARTA - Sidang lanjutan kasus sengketa hak siar Liga Inggris kemarin kembali digelar di Pengadilan Tipikor. Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeber bukti percakapan antara eksekutif Group Lippo Billy Sindoro dan anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Mohammad Iqbal.

Percakapan yang sebagian besar dalam bentuk SMS tersebut mengungkapkan rencana pertemuan hingga kesepakatan pemuatan klausul pesanan Billy dalam putusan KPPU yang saat itu menangani sengketa siaran Liga Inggris. Terungkapnya percakapan itu berawal dari saksi Rani Anindita Tranggani. Rani merupakan penyelidik KPK yang bertugas merekam kontak antara Billy dan Iqbal dalam kasus itu.

Rani menyebutkan, penyadapan kontak Iqbal dan Billy mulai dilakukan pada 20 Juli 2008. Percakapan itu bermula dari SMS yang masuk ke handphone Iqbal. Pesan itu dikirim Tajuddin Noer Said, anggota KPPU yang lain. Dia menawarkan kepada Iqbal, apakah mau menemui Billy di Hotel Aryaduta. Tapi, Billy lalu berusaha membuat janji bertemu Iqbal sendiri. Dalam pesan itu juga terungkap bahwa Tajuddin memonitor apakah pertemuan tersebut sudah berlangsung. Selanjutnya, Billy dan Iqbal kerap berkirim SMS dan janjian bertemu.

Salah satu yang paling pokok dalam pembicaraan itu adalah membahas klausul injunction. SMS tersebut dikirim Billy pada (28/8) pukul 14.29. Dalam pesan itu, Billy menanyakan kepada Iqbal. "Pak Iqbal apakah injuction aman/beres mohon berhasil ya pak. Tks," kata Rani membacakan isi penyadapan pesan.

Sesaat kemudian Iqbal menjawab pesan tersebut. Menurut dia, klausul itu tengah dalam pembahasan majelis komisi. Dia juga berusaha meyakinkan bahwa klausul yang diminta Billy agar tidak ada pemutusan hubungan bisnis antara Direct Vision dan Astro Group Malaysia tersebut tidak ditolak.

Billy kemudian menjawab, "Tks banyak pak. Tidak akan dilupakan supportnya. Apakah report tetap keluar pd tgl as planned," ujar Billy dalam SMS seperti dibacakan Rani. Iqbal kemudian memberikan jawaban soal rencana pembacaan putusan yang berlangsung 29 Agustus 2008.

Beberapa saat setelah kirim-kiriman pesan, Billy kembali memastikan klausul pesanannya dalam putusan KPPU. "Baru selesai. Alhamdulillah aman," ujar Rani menirukan ucapan Iqbal dalam SMS itu.

Setelah mendapatkan kepastian klausul yang dimintakan terpenuhi, Billy kemudian kembali berkirim pesan. "Pak sy sangat bersyukur. Mhn dibr kesmptn untuk bls budi baik bpk. Tks."

Tak berhenti di situ. Billy berusaha memastikan bagaimana isi klausul yang diminta itu. Namun, Iqbal tak memberikan jawaban pasti. "Substansinya demikian. Kalimat persisnya bsk saya lihat lagi. Skr sy sudah di rumah putusannya di kantor."

Nah, Billy kembali berusaha mengirimkan redaksional klausul yang diminta itu kepada Iqbal. Namun, mantan aktivis mahasiswa itu menjawab bahwa substansinya sudah sama.

Setelah putusan tersebut dibacakan, Billy masih belum puas. Sebab, Billy minta agar klausul itu berakibat hukum terhadap Astro All Asia Network, Plc (terlapor II). Tapi, ternyata, KPPU justru menjatuhkan klausul tersebut untuk All Asia Media Network (AAMN).

Iqbal kemudian menjelaskan bahwa dalam amar putusan majelis menjatuhkan injunction karena AAMN sebagai terlapor terbukti melanggar. Namun, dalam pertimbangan majelis disebutkan kepada AAAN Plc, untuk juga melaksanakan putusan. KPPU juga akan memonitor pelaksanaan putusan yang dijatuhkan itu.

Setelah putusan tersebut keluar, Billy dan Iqbal mulai menjalin kontak pada 11 September. Billy berusaha menghubungi Iqbal untuk menyampaikan balas budinya. Belakangan terungkap, pemberian Billy tersebut berupa uang Rp 500 juta yang disampaikan di Hotel Aryaduta.

Untuk membuktikan perbuatan Billy, JPU juga menghadirkan Iman Santoso, pegawai KPK yang bertugas di divisi informasi. Setelah penangkapan Billy dan Iqbal (16/9) itu, Iman bertugas mengambil rekaman CCTV di hotel tersebut.

Dalam rekaman yang juga dipertontonkan dalam sidang itu terungkap beberapa adegan penyerahan tas berisi uang dari Billy kepada Iqbal. Tergambar bahwa Billy dan Iqbal bersama-sama akan masuk lift. Billy menenteng tas hitam yang belakangan diketahui berisi uang Rp 500 juta. Begitu pintu lift terbuka, Iqbal bergegas masuk. Billy yang berada di belakangnya menyerahkan tas yang dibawanya.

Namun, para penasihat hukum Billy tidak menerima rekaman CCTV itu sebagai bukti. Sebab, dalam rekaman itu tidak tampak adegan Billy menyerahkan tas kepada Iqbal. "Sebagai petunjuk elektronik dalam sidang tentu tidak bisa kami terima. Tidak jelas oleh siapa uang itu diberikan," ujar kuasa hukum Billy, Humprey Djemaat.(git/nw)

[ Jawa Pos Selasa, 16 Desember 2008 ]

Dahlan Iskan : Demi Mutu Saham, Korbankan Mutu Koran

Koran memang diramalkan akan mati. Tidak lama lagi. Bangkrutnya perusahaan koran terkemuka Chicago Tribune pekan lalu seolah memperkuat ramalan itu. Apalagi, koran besar lainnya seperti Washington Post dan New York Times juga disebut-sebut punya persoalan yang mirip.

Apakah harian Chicago Tribune sudah tidak terbit lagi?

Bukan begitu.

Koran itu masih tetap jaya. Perkiraan saya, Chicago Tribune, sebagai koran, masih sangat menguntungkan. Los Angeles Times pun, anak perusahaan yang lebih besar dari Chicago Tribune, masih hebat. Berbagai koran lainnya yang juga dimilikinya masih baik-baik saja. Demikian juga anak-anak perusahaan yang berupa stasiun TV lokal.

Yang bangkrut itu adalah perusahaan induknya (holding). Kebangkrutan tersebut dikarenakan utang perusahaan induk itu mencapai (tarik napas dulu!): USD 13 miliar. Atau sekitar Rp 140 triliun. Sembilan kali dari nilai asetnya. Parah.

Mengapa sebuah perusahaan koran sampai punya utang sebesar gajah bengkak yang ditiup? Jawabnya agak rumit. Intinya adalah: gara-gara koran itu masuk bursa. Setidaknya semangat bursa itulah yang mendorongnya ke sana.

Jelekkah koran go public? Saya pernah merenungkannya lama. Yakni, sejak oplah koran-koran di AS secara konstan terus menurun sejak 10 tahun lalu. Sebuah data yang kemudian mendukung ramalan bahwa koran tersebut segera mati.

Saya pun berkesimpulan bahwa sebaiknya perusahaan tertentu seperti koran, universitas, dan rumah sakit jangan masuk pasar modal. (Itulah sebabnya, Jawa Pos yang sudah siap go public sejak 10 tahun lalu menunda terus pelaksanaannya. Lalu, memilih obligasi yang saya anggap sudah setengah go public. Obligasi Jawa Pos yang jatuh tempo tanggal 10 Desember kemarin sudah dilunasi sepenuhnya tanpa cacat sedikit pun. Dari pengalaman obligasi itu, Jawa Pos memperoleh banyak pelajaran sebagai perusahaan ''setengah'' publik).

Saya memperhatikan, dengan go public, terjadilah pertentangan dua arus yang berlawanan keras: idealisme dan komersialisme. Kalau mau tetap idealis, performance korannya di pasar modal tidak sukses. Harga sahamnya tidak akan bisa segemilang perusahaan yang bisa jungkir balik sebebas-bebasnya.

Tapi, kalau hanya ingin mengejar kecemerlangan di pasar modal, bisa jadi koran itu jadi korban. Langsung atau tidak langsung. Korannya hanya akan dipakai sebagai alat dongkrak harga saham.

Tentu saya tidak menuduh harian Chicago Tribune tidak punya idealisme. Atau idealisme Chicago Tribune dinomorduakan. Saya melihat profesionalisme Chicago Tribune terpuji di panggung dunia. Demikian juga Los Angeles Times. Luar biasa hebatnya.

Tapi, karena induk perusahaan koran itu go public, bisa jadi kehebatan Chicago Tribune justru dipakai alat untuk terus memompa performance perusahaan induknya tersebut. Chicago Tribune, juga Los Angeles Times, tampil sebagai ''bintang'' yang bisa ''dijual'' oleh induk perusahaan tersebut.

Itulah yang umumnya terjadi di perusahaan publik. Anak perusahaan yang mengkilap selalu jadi tumpuan. Contohnya, anggap saja, seandainya Jawa Pos itu perusahaan publik:

Sebagai perusahaan publik, Jawa Pos tentu harus menjaga agar harga sahamnya terus naik. Tidak boleh berhenti, apalagi turun. Kalau bisa, tiap tahun naiknya minimal harus 20 persen.

Kalau ada kalanya harga sahamnya tidak bisa naik, omzetnya harus terus naik. Juga asetnya. Pokoknya, di dunia ini, tidak boleh ada yang turun.

Bagaimana kalau suatu saat oplah Jawa Pos turun dan pendapatan iklannya juga turun? Bukankah penghasilannya akan turun dan labanya juga turun?

Iklim di pasar modal tidak mau tahu itu. Pokoknya harus naik. Direksi koran itu sendiri tidak mau terjadi penurunan: bonusnya bisa turun. Bahkan, bisa jadi, direksi koran itu sendiri yang ngotot untuk naik karena tergiur oleh bonus yang gila-gilaan.

Maka, kalau suatu saat terjadi penurunan kinerja perusahaan, jalan yang dipakai untuk mengatasinya adalah ''jalan pasar modal'': lebih cepat dan lebih mudah. Bukan jalan ''tradisional'' yang sulit dan lama.

Kalau masih jalan tradisional yang ditempuh, untuk mengatasi menurunnya kinerja koran, langkah yang diambil adalah memarahi wartawan: mengapa bikin berita tidak menarik. Atau memarahi bagian pemasaran: mengapa penjualan korannya turun. Atau memarahi bagian iklan: tidak becus cari iklan. Atau menyalahkan Tuhan: mengapa menurunkan hujan pagi-pagi yang hanya akan mengganggu peredaran koran. Setidaknya memaki gubernur Jakarta: setiap Jakarta banjir, oplah koran turun drastis!

Membina wartawan, mendidik orang-orang marketing, dan seterusnya adalah pekerjaan yang sulit serta memerlukan waktu lama. Apalagi kalau direksi perusahaan koran tersebut tidak mengerti berita yang baik itu yang bagaimana.

Maka, untuk mengatasi stagnannya performance perusahaan, sang direksi akan cenderung mengambil jalan pintas. Apalagi, jalan itu disediakan oleh sistem kapitalisme pasar modal.

Kalau (seandainya) Jawa Pos sebagai (seandainya) perusahaan publik mengalami situasi (seandainya) kesulitan seperti itu, bisa jadi direksinya mengambil ''jalan kapitalisme'' normal berikut ini:

Untuk menaikkan omzet dan aset, langsung saja beli perusahaan lain. Katakanlah beli saja Rakyat Merdeka. Tiga bulan lagi beli Riau Pos. Lalu beli Sumut Pos. Beli lagi Radar Lampung. Beli lagi Pontianak Post dan seterusnya.

Perusahaan yang dibeli tidak harus yang sudah untung. Yang penting, menurut perkiraan, akan bisa untung. Bahwa kenyataannya nanti tidak untung, jangan dipikirkan benar. Akan ada jalan yang lain lagi.

Untuk membeli-membeli itu juga tidak perlu punya uang. Cukup dengan utang. Jaminannya saham Jawa Pos. Bagaimana kalau nilai saham Jawa Pos tidak cukup besar untuk menjamin utang itu? Jangan takut. Meski kekayaan Jawa Pos Rp 4 triliun, berani saja utang sampai Rp 16 triliun.

Dengan membeli-membeli tadi, kekayaan Jawa Pos yang Rp 4 triliun itu bisa jadi langsung naik menjadi lebih dari Rp 16 triliun. Bukan karena koran-koran yang dibeli tersebut memang hebat, melainkan dengan membeli-membeli tadi, harga saham Jawa Pos sendiri naik drastis. Dengan kenaikan harga saham tersebut, kekayaannya berarti juga naik. Bahwa omzet dan labanya sebenarnya tidak terlalu naik, tidak ada hubungannya.

Yang penting, angka-angkanya sudah naik. Bahwa mutu berita yang dimuat koran-koran tersebut sebenarnya tetap tidak menarik, tidak akan pernah dipersoalkan. Untuk apa mempersoalkan yang kecil-kecil begitu, kalau sudah bisa diatasi dengan cara mudah.

Memperbaiki mutu redaksi adalah cara yang sulit: harus memperhatikan sampai soal titik, koma, detik, menit. Hasilnya juga tidak bisa segera diketahui. Memperbaiki pemasaran juga sulit: tiap pukul 03.00 harus sudah keliling agen-agen. Tidak ada alasan hujan atau banjir. Intinya bagaimana agar koran bisa benar-benar terjual dan tidak sekadar jadi tempat duduk agen.

Sedangkan menaikkan kekayaan lewat pasar modal jauh lebih gampang. Bisa dilakukan di depan komputer di sebuah kafe atau lobi hotel atau ruang rapat yang ber-AC.

Kalau tahun depan harga saham harus naik lagi, tempuh saja cara yang sama: beli lagi koran lain. Atau beli stasiun TV milik orang lain. Atau beli stasiun radio sebanyak-banyaknya. Utang lagi. Lebih kaya lagi.

Kalau ada perusahaan koran yang tidak dijual, paksa saja agar dijual: iming-imingilah ahli warisnya dengan harga yang mahalnya tidak terbayangkan. Mengapa mau membeli kelewat mahal? Lho, mengapa tidak? Toh, uang tersedia dengan mudah untuk dipinjam?

Bahkan, kalau yang mau dibeli itu perusahaan koran yang juga sudah go public, lebih mudah lagi: lakukan hostile take over (pengambilalihan secara kasar di bursa saham). Ini sah. Tidak melanggar hukum. Beberapa tahun lalu, sebuah koran yang sangat hebat di Amerika, Los Angeles Times, merasakan itu.

Waktu terjadinya pun akhir Desember seperti sekarang ini. Waktu itu, semua orang sudah tidak terlalu mikir perusahaan. Sudah sibuk mempersiapkan liburan Natal dan Tahun Baru. Hanya satu orang yang terus sibuk: direktur keuangan. Dia seperti tidak mau libur.

Ternyata, dia punya misi rahasia: mengatur agar dalam waktu sekejap Los Angeles Times di-hostile take over oleh seseorang. Tentu semua transaksi nakal tersebut harus terjadi dalam waktu sangat cepat: selama orang-orang liburan Natal.

Maka, dipikirkanlah caranya. Dokumen apa saja yang harus disiapkan. Bagaimana model transaksinya. Bagaimana menentukan harga belinya. Di mana tanda tangan harus dilakukan. Luar biasa banyaknya pekerjaan yang harus disiapkan. Maklum, yang mau diambil alih ini perusahaan raksasa. Apalagi, semua itu harus dilakukan secara diam-diam, rahasia, dan teliti. Tidak boleh menimbulkan gugatan di belakang hari.

Tibalah hari libur. Semua orang berlibur. Termasuk pemilik koran itu. Tidak ada tanda-tanda apa pun. Begitu perayaan tahun baru selesai, pada hari kerja pertama tahun baru tersebut, keluarlah pengumuman di pasar modal: Los Angeles Times sudah dibeli Chicago Tribune! Pemilik aslinya sendiri baru tahu dari pengumuman itu!

Lalu, bagaimana nasib pemilik Los Angeles Times yang sudah memiliki koran itu sejak didirikan kakeknya lebih dari seratus tahun lalu? Tentu tidak bisa apa-apa. Pulang liburan, tiba-tiba saja dirinya sudah bukan pemilik koran itu lagi! Tiba-tiba saja di pagi hari di tahun baru itu dia kehilangan perusahaannya!

Memang, dia masih mendapat uang banyak. Sahamnya yang masih tersisa dihargai sangat mahal. Tapi, dia sangat marah. Apalagi ketika dia tahu bahwa otak pengambilalihan secara kasar tersebut adalah direktur keuangannya sendiri. Tapi, sang pemilik tidak bisa apa-apa. Semua transaksi itu sah adanya.

Sejak saat itu, banyak orang yang tidak bisa tenang ketika menjalani liburan Natal. Jangan-jangan ketika ditinggal libur, perusahaannya hilang.

Tapi, zaman berputar lagi. Kini, pemilik Chicago Tribune pun menyerah. Minta dibangkrutkan. Utangnya Rp 140 triliun. Tidak mampu membayar lagi.

Meski begitu, saya yakin harian Chicago Tribune dan Los Angeles Times sebagai anak-anak perusahaan masih sangat menguntungkan.

Saya khawatir, perusahaan koran yang go public, atau yang induknya go public, hanya akan mengandalkan mutu sahamnya, bukan mutu korannya. Saya menduga, mulai dari sinilah mengapa mutu koran tidak bisa mengimbangi mutu kehidupan manusia. Dari sini pula bermula mengapa oplah koran terus menurun.

Lalu, apakah Jawa Pos (bukan seandainya) tetap akan go public? Mungkin... ya! Tapi, untuk tujuan yang berbeda.

[Jawa Pos Selasa, 16 Desember 2008 ]

Sindoro Titip Usulan dalam Putusan (Kasus Suap KPPU)

Jakarta, Kompas - Mantan Presiden Direktur PT First Media Billy Sindoro menitipkan injunction atau usulan dalam putusan kepada Mohammad Iqbal, anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU yang menjadi anggota majelis perkara hak siar Barclays Premier League atau Liga Utama Ingris. Usulan itu dimaksudkan untuk membantu kepentingan PT Direct Vision agar tetap bisa menayangkan Liga Inggris.

Hal tersebut terungkap dalam kesaksian penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rani Anindita Tranggani, dalam sidang perkara dugaan suap terhadap anggota KPPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (15/12). Sidang mendengarkan kesaksian Jimmy Junaedi (Direktur Operasional PT MNC Sky Vision), Indar Atmanto (Direktur Utama PT Indosat Mega Media), dan Imam Santoso (pegawai KPK).

Rani mengungkapkan hasil penyadapan nomor telepon genggam bernomor 08128064800 dan 0811972063 yang diidentifikasi milik Billy dan Iqbal. Diketahui, Iqbal diperkenalkan kepada Billy oleh anggota KPPU, Tadjudin Noer Said. Keduanya lalu berhubungan melalui telepon maupun layanan pesan singkat (SMS).

Dalam sebuah SMS dari Billy kepada Iqbal tertanggal 29 Agustus 2008, secara jelas ia meminta penambahan satu paragraf injunction dalam putusan KPPU. Ini terungkap dalam SMS yang berbunyi, "Pagi Pak. Mohon maaf. Karena sangat penting, kalimat injunction mohon dibuat secara eksplisit, clear, & firm. Otherwise, Astro tetap cari celah Pak. Sehingga percuma bapak beri injunction". SMS itu masih dilanjutkan Billy lagi.

Dalam dakwaan jaksa, permintaan usulan itu diakomodasi dalam putusan KPPU.

Iqbal diduga menerima dana senilai Rp 500 juta dari Billy karena memenuhi permintaan Billy untuk menjaga kepentingan PT Direct Vision dalam perkara itu. Keduanya ditangkap di sebuah hotel di Jakarta. (ana)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/16/00085740/sindoro.titip.usulan.dalam.putusan