16 April 2010

Tv One, Polisi, dan Markus ‘Aspal’

oleh Dandhy D Laksono

"...aku matiin HP karena aku dicari pimpinan. Aku nggak berani ke kantor pusat di Pulogadung (Kantor TVOne) karena didesak pimpinan disuruh buka identitas kamu. Aku menolak, jelas bukan dari saya. Saya nggak kasih tahu apapun soal Abang." (detikcom, 9 April 2010, 16:35 WIB).

Dari sekian banyak dimensi dalam kasus ini, bagian inilah yang paling menarik perhatian saya. Itulah isi komunikasi melalui Blackberry antara Andris Ronaldi dan presenter Tv One, Indy Rahmawati, yang dibuka kepada umum oleh Polri dalam sebuah jumpa pers, 9 April 2010.

Andris Ronaldi adalah narasumber Tv One dalam acara talkshow "Apa Kabar Indonesia" (AKI) yang ditayangkan 24 Maret 2010. Dengan wajah tertutup, Andris yang diwawancarai presenter Indy Rahmawati, dikenalkan sebagai salah seorang makelar kasus (markus) yang aktif di lingkungan Mabes Polri. Tak lama kemudian, Mabes Polri mengumumkan bahwa narasumber Tv One itu palsu, sehingga "Bang One dan kawan-kawan" diadukan ke Dewan Pers. Setelah acara talkshow itu, polisi memang berusaha mencari identitas dan keberadaan Andris, hingga akhirnya ditemukan. Kepada polisi lah, Andris bernyanyi bahwa ia dijebak Tv One untuk mengaku sebagai markus demi kepentingan talkshow.

Tentu saja Tv One membantah. Dalam sebuah jumpa pers, jajaran redaksi mengatakan akan menggugat balik bekas narasumbernya itu. Tapi di saat yang sama, redaksi juga meminta maaf yang "sebesar-besarnya bila institusi Polri dan Bapak Kapolri terganggu" (detikcom, 9 April 2010, 17:36 WIB).

Bila benar susbtansi pesan tersebut –bahwa Indy diminta pimpinan di redaksi untuk membongkar jatidiri narasumbernya, dan ia tidak sedang membual kepada Andris, maka ini adalah indikasi pelanggaran jurnalistik yang tak kalah serius. Ini harus menjadi bagian penting yang diklarifikasi oleh Dewan Pers saat memanggil awak redaksi Tv One.

Potongan isi SMS tersebut memang masih bisa ditafsirkan dua hal: pertama, pimpinan Tv One meragukan kredibilitas narasumber bawahannya, dan berupaya memverifikasi sendiri; atau kedua, pimpinan Tv One sedang membantu seseorang atau institusi yang berusaha menemukan identitas narasumber yang seharusnya justru mereka lindungi.


Sumber Anonim
Bagian ini juga bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk mengurai polemik dugaan markus palsu di Tv One. Bila pimpinan Tv One pernah mendesak agar Indy membuka indentitas narasumbernya untuk tujuan verifikasi, maka sesungguhnya sistem di redaksi sudah bekerja dengan baik. Mereka sudah mendeteksi masalah kredibilitas Andris sebagai narasumber anonim dalam talkshow tentang markus. Hal ini mestinya disampaikan kepada publik saat para jurnalis Tv One menggelar jumpa pers, 9 April lalu.

Tapi sejauh ini, hal tersebut tidak muncul. Bahkan, seperti diakui General Manager Tv One, Totok Suryanto, Andris sudah berkali-kali menjadi narasumber Tv One seperti di program AKI Pagi (18 Maret 2010), Nama dan Peristiwa, bahkan talkshow Jakarta Lawyers Club yang (biasanya) dipandung langsung Pemimpin Redaksi Karni Ilyas. Dus, kecil kemungkinan pimpinan Tv One "mengejar-ngejar" Indy Rahmawati agar memberikan nomor telepon Andris untuk kepentingan verifikasi.

Sehingga saya beranjak pada dugaan kedua, bahwa isi SMS yang terjadi pada 25 Maret 2010 itu, justru mencerminkan adanya upaya malpraktik jurnalistik yang dilakukan atasan Indy, untuk mengkhianati integritas jurnalisnya sendiri. Pimpinan Tv One patut diduga sedang membantu seseorang atau institusi yang berkepentingan dengan jatidiri si narasumber anonim itu.

Sebelum kasus ini muncul ke permukaan, Andris Ronaldi secara jurnalistik berstatus sumber anonim. Narasumber yang jatidiri dan keberadaannya wajib dilindungi oleh redaksi. Karena kewajiban inilah, maka redaksi memiliki konsekuensi menanggung semua akibat yang timbul dari informasi yang disampaikan oleh sumber tersebut. Bila seorang wartawan setuju untuk menggunakan sumber anonim, maka tanggung jawab sudah diambil alih olehnya. Termasuk konsekuensi bila ternyata si narasumber adalah penipu.

Karena konsekuensi yang tak ringan inilah, maka dalam praktik jurnalistik, sumber anonim tak bisa digunakan sembarangan. Ketika Bob Woodword dan Carl Bernstein membongkar skandal Watergate yang melibatkan Presiden Richard Nixon di era 1970-an, mereka juga menggunakan petunjuk-petunjuk yang diberikan seorang sumber anonim dengan nama "Deep Throat". Tapi tak setiap keterangan Deep Throat ditelan mentah-mentah. Editor The Washington Post, Ben Bradlee, saat itu menerapkan kriteria yang harus dipatuhi Woodword dan Bernstein. Agar keterangan Deep Throat layak muat, maka harus didukung oleh "deep throat" lain yang tak saling terkait.

Woodward dan Bernstein memilih bungkam selama 30 tahun untuk menyembunyikan identitas narasumbernya, hingga pada bulan Mei 2005, pensiunan Wakil Direktur FBI, William Mark Felt mengaku bahwa dirinyalah sang Deep Throat. Pengakuan itu disampaikan dalam sebuah wawancara di majalah Vanity Fair yang bahkan mengejutkan bagi kedua wartawan itu sendiri.

Begitulah wartawan menjaga kerahasiaan narasumbernya. Bila seorang jurnalis punya reputasi berkhianat, maka kredibilitasnya tamat, dan tak ada lagi narasumber yang bersedia membantunya (sampai hari kiamat). Pimpinan di redaksi yang biasanya adalah jurnalis senior, mestinya jauh lebih memahami hal-hal seperti ini, dan tidak terlibat dalam persekongkolan dengan pihak manapun untuk mengkhianati sumber dan mengorbankan wartawannya sendiri.


Menggugat Narasumber
Saya kira banyak yang salah menafsirkan ketika redaksi Tv One bermaksud menuntut Andris Ronaldi. Sejauh yang saya pahami, redaksi Tv One tidak menuntut Andris karena telah menjadi narasumber palsu, melainkan karena telah menuding televisi itu melakukan rekayasa. Ada dua hal yang secara substansi perlu diverifikasi dari pengakuan Andris: Pertama, dia mengaku dijebak. Andris mengaku, semula ia diundang untuk menjadi narasumber dalam topik seputar Tenaga Kerja Indonesia (TKI), tapi kemudian dibelokkan menjadi isu markus. Kedua, dia mengaku diminta menghafal skenario tanya-jawab yang sudah disiapkan tim Tv One tentang peran markus di Mabes Polri.

Keterangan Andris ini memang bertabur kejanggalan, dan Dewan Pers mestinya dengan mudah memverifikasinya. Sejauh informasi yang beredar di media massa, Andris Ronaldi adalah humas sebuah klub penggemar motor bermesin besar (moge). Dia juga disebut-sebut pernah bekerja sebagai penjual alat-alat kesehatan, karyawan perusahaan pembiayaan, bahkan punya bisnis periklanan. Di atas kertas, sebagai jurnalis, saya belum melihat sedikitpun kompetensi Andris dalam topik ketenagakerjaan, terutama TKI. Karena itu perlu diuji, misalnya dengan menanyakan singkatan BNP2TKI. Tak semua jurnalis atau anggota Dewan Pers hafal singkatan itu. Tapi sebagai narasumber topik TKI, mustahil Andris tak hafal luar kepala.

Kedua, pengakuan bahwa redaksi Tv One menyiapkan skenario pertanyaan dan jawaban memang kurang masuk akal. Bukan karena ruang redaksi media dijamin steril dari kebohongan dan rekayasa, melainkan karena konteks topiknya, yakni markus di Mabes Polri. Sebab, wartawan sendiri bukan malaikat yang tak tergoda membikin rekayasa. Justru semakin besar kasusnya, makin besar pula godaan untuk melakukan kebohongan.

November 2006, koran besar Jawa Pos tersangkut skandal wawancara palsu istri tersangka teroris Dr. Azhari. Wawancara eksklusif via telepon itu ternyata bodong sebab istri alarhum Azhari ternyata tak bisa berkomunikasi dengan baik. Ada gangguan pada pita suaranya yang tak memungkinkannya berbicara secara jelas dan lugas dalam komunikasi verbal tatap muka, konon lagi melalui telepon.

Jadi, bila saya menganggap skenario tanya jawab yang disebut-sebut Andris itu kurang masuk akal, bukan karena saya percaya sepenuhnya integritas para jurnalis Tv One (terutama setelah berita yang fatal tentang fakta kematian Noordin M Top), tapi karena topik ini telalu sensitif secara politik bagi ruang redaksi.

Siapa yang tak tahu bahwa televisi ini kerap mendapat akses khusus untuk topik-topik liputan yang berkaitan dengan polisi, terutama terorisme. Akses dibangun dari lobi institusi, ketekunan individu, bahkan dalam kasus tertentu "jurnalisme transaksional" (dimulai dari hal sepele seperti menyebut "gugur" untuk anggota polisi, dan "tewas" untuk teroris).

Dengan dependensi yang seperti ini, saya ragu Tv One berani "cari gara-gara" dengan merekayasa talkshow tentang markus yang bergentayangan di Mabes Polri. Dus, saya memang ragu dengan keterangan Andris, sebab yang paling diuntungkan dengan pengingkaran ini sejatinya adalah Mabes Polri sendiri. Bila publik bisa diyakinkan bahwa Andris adalah narasumber bodong, maka selamatlah wajah korps Polri yang baru saja kehilangan dua jenderalnya dalam kasus Gayus Tambunan itu.


Permintaan Maaf Itu
Satu lagi indikasi bahwa Tv One mustahil "cari gara-gara" dengan merekayasa talkshow tentang polisi, adalah fakta bahwa redaksi televisi ini langsung meminta maaf kepada polisi atas munculnya masalah ini (9 April 2010). Logika orang ramai lantas dipenuhi pertanyaan: Meminta maaf atas apa? Karena telah menampilkan narasumber palsu? Atau justru karena telah memberitakan fakta?

Saya menganggap permintaan maaf ini "tak jelas jenis kelaminnya". Bila Tv One meminta maaf karena menampilkan narasumber palsu, maka permintaan maaf itu lebih tepat ditujukan kepada jutaan pemirsanya, daripada untuk polisi. Publik lah—pemilik sah frekuensi yang dipinjam kelompok usaha Bakrie—yang paling dirugikan dengan penyesatan informasi, bukan semata-mata Polri. Filosofi jurnalisme yang mengabdi pada kepentingan publik (juga konsep tentang televisi terestrial) agaknya sudah tertimbun oleh hasrat untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu demi menjaga hubungan baik. Dengan cara pandang seperti ini, tak heran bila publik dilupakan dan bisa jadi wartawan sendiri pun dikorbankan.

Lantas kemungkinan kedua juga tak kalah ganjilnya. Bila talkshow itu memang faktual, lalu untuk apa Tv One meminta maaf pada polisi? Saya duga, permintaan maaf itu untuk menjaga hubungan baik dengan institusi Polri. Itu berarti Tv One bersikukuh bahwa Andris adalah narasumber kredibel alias markus di Mabes Polri, tapi mereka tetap meminta maaf bila berita itu menganggu tidur nyenyak para petinggi mabes. Bila ini benar, maka bagi saya ini adalah praktik "jurnalisme hamba sahaya". Dalam struktur sosial yang feodal, seorang bawahan yang sebenarnya tak merasa bersalah, bisa saja tetap minta maaf kepada atasannya bila ada situasi-situasi yang membuat atasannya tak enak hati. Tugas jurnalisme adalah mengungkap fakta, dan tidak ada urusan apakah seorang jenderal bisa tidur atau tidak setelah hal itu diberitakan.

Bila benar ini cara berpikir jajaran pimpinan Tv One, maka agar adil, sebaiknya redaksi melakukannya setiap hari kepada setiap individu atau institusi yang menjadi obyek pemberitaan mereka. Tv One harus sering-sering mengatakan: "Redaksi yakin bahwa berita korupsi ini benar, tapi kami meminta maaf bila Anda terganggu dengan pemberitaan ini".


Menyoal Kewenangan Polisi
Di sisi lain, dibukanya percakapan pribadi antara Andris Ronaldi dan Indy Rahmawati oleh polisi sesungguhnya bisa menimbulkan implikasi hukum. Kecuali tindakan mereka adalah persekongkolan pidana, maka tak ada hak apapun dari polisi untuk mengumumkannya kepada publik. Saya catat sudah dua kali polisi melakukan tindakan semacam ini. Yang pertama, dialami wartawan majalah Tempo, Metta Dharmasaputra, saat menekuni kasus skandal pajak Asian Agri (2007).

Polisi harus bertanggung jawab atas tersebarnya print out SMS Metta yang notabene adalah wartawan yang sedang bertugas menjalin kontak dengan mantan karyawan Asian Agri bernama Vincentius Amin Sutanto. Dalih polisi bahwa mereka sedang memata-matai Vincen (dan kemunculan telepon Metta tak terhindarkan), terbantahkan oleh fakta bahwa print out yang beredar bukan isi SMS Metta dengan Vincen, melainkan dengan pihak lain.

Dalam kasus Tv One, selain tak punya kewenangan menyebarluaskan isi SMS Indy-Andris—karena pembicaraan mereka berdua belum tentu relevan untuk diketahui publik—dalam kasus ini, institusi polisi sesungguhnya hanyalah pihak yang terkait pemberitaan semata, bukan institusi penegak hukum. Kebetulan saja Andris mengaku sebagai markus di Mabes Polri, sehingga ketika polisi bereaksi, kita menganggapnya sebagai tindakan aparat hukum. Padahal, sekali lagi, hal itu hanya kebetulan belaka. Bagaimana bila Andris adalah markus di lembaga lain yang tak punya kewenangan menyadap, membuntuti, menginterogasi keluarga, atau menangkap? Tidakkah tindakan itu justru harus dilaporkan ke polisi?

Kita perlu meluruskan logika, sebab dalam kasus ini, polisi jelas gagap membedakan antara dirinya sebagai lembaga hukum, dan (katakanlah) dirinya sebagai korban pemberitaan. Sebagai korban pemberitaan, polisi harus tunduk pada UU Pers dan UU Penyiaran, dengan menyerahkan kasus ini untuk diinvestigasi oleh Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Polisi sebagai korban pemberitaan, tak boleh bertindak sendiri menciduki narasumber, mentang-mentang memiliki organ untuk melakukannya.

Polisi bisa melaporkan indikasi bahwa narasumber tersebut palsu ke Dewan Pers, tapi tak bisa mencari-cari Andris karena telah menjadi narasumber di Tv One. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga hukum, polisi atau barangkali lebih tepat Propam Mabes Polri, bisa memproses Andris dalam konteks menindaklanjuti pengakuannya sebagai makelar kasus (sebagai saksi). Sebab yang harus didahulukan untuk diusut adalah para pejabat polri yang terindikasi terlibat permainan kasus, dan bukan whistleblower-nya.

Bila hasil penyelidikan ternyata nihil, maka secara hukum, Andris harus dilepas dan Polri bisa membuka kasus baru gugatan pencemaran nama baik kepada Andris dan Tv One karena pemberitaan yang merugikan korps mereka. Dan kasus ini bisa masuk dalam wilayah perdata, bukan semata-mata pidana.

Bila Andris memang bukan markus, maka tindak pidana apa yang ia langgar? Keterangan palsu? Bukankah keterangannya tidak di bawah sumpah sebagaimana layaknya di pengadilan? Bukankah ini kasus pencemaran nama baik lazimnya, yang mungkin melibatkan media dan bisa diselesaikan di jalur perdata?

Dus, tindakan polisi menyita berbagai berbagai kelengkapan kerja jurnalis dan naskah-naskahnya, adalah proses hukum yang sangat membingungkan bagi saya. Dewan Pers atau KPI harus menolak bukti-bukti itu dari tangan polisi, dan memintanya sendiri dari tangan para pihak yang akan dimediasinya.

Dewan Pers atau KPI sebaiknya melakukan langkah-langkah yang sistematis dan terstruktur untuk mengurai benang (yang dibuat) kusut ini. Pertama, Dewan Pers atau KPI harus fokus pada mandatnya, yakni memverifikasi pengaduan masyarakat (dalam hal ini Polri) atas tuduhan rekayasa berita. Dewan Pers atau KPI harus mengaudit metodologi jurnalistik yang digunakan Tv One untuk menemukan narasumber anonim markus yang belakangan ternyata adalah Andris Ronaldi. Dari sanalah bisa dibuktikan, siapa yang membohongi siapa.

Kedua, Dewan Pers atau KPI harus menginvestigasi apakah redaksi Tv One terlibat pembocoran identitas sumber anonimnya kepada pihak lain, dan memastikan bahwa Indy Rahmawati atau Andris Ronaldi, tidak dalam posisi terintimidasi untuk menyeleraskan dengan "skenario" korporasi atau institusi tertentu.

Ketiga, Dewan Pers atau KPI harus mendesak Polri agar tidak gampang main pasal pidana dalam kasus ini.

Keempat, Dewan Pers atau KPI, harus merumuskan sanksi yang jelas dan tegas bila ternyata ada malpraktik jurnalistik dalam kasus ini, dan mengumumkannya kepada publik segamblang-gamblangnya, termasuk mengumumkan metodologi yang dipakai dalam menangani kasus ini agar transparan dan akuntabel.

Anggota Dewan Pers dan KPI yang di antaranya adalah para jurnalis senior, seyogyanya tetap obyektif dan berpihak pada publik, dengan tidak terjebak suasana "psikologi perkawanan" dengan elit-elit media yang sedang diperiksanya. (*)

Penulis adalah Dewan Pengawas LBH Pers, Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Copyleft: silakan disebarluaskan, dikutip, atau dipublikasikan (dengan atau tanpa izin penulis). - http://www.facebook.com/home.php?#!/notes/dandhy-dwi-laksono/tv-one-polisi-dan-markus-aspal/412827546094

TV One begitu sumringah menayangkan Kerusuhan Koja, sampai ditayangkan sehari semalam

Kerusuhan Koja telah menjadi Peristiwa yg mengenaskan bagi semua pihak, korban berjatuhan dari kedua belah pihak yang bertikai. dan Kita yg menyaksikanpun hanya bisa sedih dan mengelus dada.

Namun, ditengah kesedihan itu, yang paling nampak begitu "Sumringah" dengan Peristiwa itu adalah TVOne, TV One laksana mendapatka Durian Runtuh atas peristiwa tsb, sampai2 kejadian yg sangat memilukan itupun disiarkannya sehari-semalam laksana orang yang hajatan.

Untuk apa TVOne mengupas dan mengulas berita2 yang sangat memilukan tsb sampai begitu panjang?.

Untuk apa?.., padahal kita yang menyaksikan sebentar saja, kita sudah miris, sedih, dan tentu saja peristiwa kekerasan tsb tidak ingin disaksikan terlalu lama karena begitu penuh dengan kekerasan....

TV Bagi TV One nampaknya peristiwa tsb bagaikan Durian Runtuh, dan sepertinya mereka begitu menikmatinya hanya karena menayangkannya sampai sehari semalam....

Yang ingin aku tanyakan? Untuk Apa peristiwa memilukan itu harus ditayangkan oleh TVOne secara panjang dan beruntun, untuk apa?

http://forum.detik.com/showthread.php?t=179883

Markus Palsu di TV One; Dewan Pers Tak Akan Konfrontir Indy & Andris

Didit Tri Kertapati - detikNews

Dewan Pers tidak akan mengkonfrontir keterangan presenter program Apa Kabar Indonesia (AKI) TV One Indy Rahmawati dengan Andris Ronald. Dewan Pers menyatakan hanya berperan sebagai mediator dalam kasus ini.

"Dewan pers bukan badan investigasi atau penyidik, karena itu kita tidak pernah melakukan konfrontasi. Prinsipnya kita sebagai mediator," kata Ketua Dewan Pers Bagir Manan di Kantor Dewan Pers, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (16/4/2010).

Bagir menjelaskan, sebagai mediator, Dewan Pers berusaha mendengarkan masing-masing pihak. "Kalau ada prinsip yang sama baru mediator mempertemukan semua pihak. Kemudian antara pihak berunding atas dasar prinsip-prinsip yang disusun mediator," katanya.

Saat ini, masih berlangsung pertemuan antara Dewan Pers dengan Andris, pria yang mengaku sebagai makelar kasus palsu dalam tanyanan AKI pagi tanggal 24 Maret. Andris telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri.

Sebelumnya, sudah berlangsung petemuan antara Dewan Pers denan Polri. Rencananya setelah bertemu dengan Adris, Dewan Pers akan meminta keterangan TV One.-http://www.detiknews.com/read/2010/04/16/162313/1339834/10/dewan-pers-tak-akan-konfrontir-indy-andris

Raymond Teddy Masih Berstatus Tersangka (Gugatan Terhadap Pers)

Jakarta, Kompas - Berkas acara pemeriksaan dalam kasus perjudian dengan tersangka Raymond Teddy, yang biasa disingkat RM, hingga kini masih terkatung-katung di penyidik Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia. Proses hukum di kepolisian terhadap Raymond telah berjalan hampir dua tahun.

Raymond, melalui penasihat hukumnya, Togar M Nero, menggugat perdata tujuh media terkait pemberitaan penangkapan dirinya pada Selasa, 28 Oktober 2008. Penangkapan di Hotel The Sultan, Jakarta, itu diumumkan Mabes Polri pada hari yang sama.

Dalam pertemuan di Mabes Polri antara perwakilan tujuh media, yakni Kompas dan Kompas.com, Republika, RCTI, Warta Kota, Detik.com, Seputar Indonesia, dan Suara Pembaruan, dan Wakil Kepala Divisi Humas Polri Komisaris Besar Zainuri Lubis terungkap, BAP atas nama Raymond hingga kini belum diterima kejaksaan. Bahkan, BAP itu bolak-balik antara kepolisian dan kejaksaan hingga empat kali.

Menurut Zainuri, BAP Raymond terakhir kali diserahkan oleh penyidik Polri dan kemudian dikembalikan lagi oleh jaksa pada 24 Februari 2009. Hingga kini, polisi belum menyerahkan kembali BAP itu ke kejaksaan.

Penyidik yang menangani perkara Raymond adalah Inspektur Satu Langgeng Utomo. Jaksa yang menangani perkara itu adalah Maju Ambarita dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Tak bisa menggugat

Soal gugatan perdata dan pidana pihak RM terhadap tujuh media, Zainuri mengatakan, dalam logika hukum, sepatutnya seorang dengan status sebagai tersangka tak dapat mengajukan gugatan perdata atau pidana. Hak tersangka hanya mengajukan gugatan praperadilan terhadap kepolisian terkait proses penangkapan. Raymond menggugat tujuh media massa senilai 10 juta dollar Amerika Serikat hingga 36 juta dollar AS.

"Jika seorang tersangka ingin mempersoalkan materinya, harus terbukti dulu, dia tidak bersalah. Pengadilan yang membuktikan," kata Zainuri.

Maju Ambarita hingga kini tak dapat dihubungi. Maju pernah menjadi salah satu jaksa dalam perkara pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir.

Secara terpisah, seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, Togar mengakui, Raymond pernah ditahan oleh penyidik kepolisian. Saat ini, kliennya itu bebas dan tak ditahan karena masa penahanannya habis. Raymond juga belum mendapatkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Gugatan Raymond terhadap tujuh media berawal dari jumpa pers yang digelar Mabes Polri. Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Bachtiar Tambunan dan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira (saat itu) yang memberikan penjelasan pers. Bachtiar mengatakan, polisi memiliki bukti kuat, RM adalah salah satu pihak penyelenggara perjudian (Kompas, 4 Agustus 2009). (SF/fer) http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/17/03084684/raymond.teddy.masih.berstatus.tersangka

Simulasi Kebohongan Televisi

oleh: R Kristiawan

Salah satu masalah penting yang dihadapi masyarakat saat ini adalah mencari informasi yang mana yang benar-benar layak dipercaya. Informasi berseliweran saling mempertahankan validitasnya.

Belum kasus Bank Century terkuak, kita sudah menerima rentetan informasi beserta sayap-sayap konflik yang menyertainya. Publik bingung apakah Kapolri atau Susno Duadji yang bohong, Gayus Tambunan dan Sjahril Djohan makelar kasus pajak, dan masih banyak lagi.

Kognisi publik kelelahan mencerna informasi yang dibombardir media massa. Ribuan tanda (sign) menerpa kognisi publik setiap hari tanpa kerangka empirik yang jelas. Tanda-tanda itu melayang-layang saja tanpa makna (signified) yang jelas.

Dalam hiruk-pikuk lalu lintas tanda itu, ternyata televisi tidak sekadar berperan sebagai penyaji. Andris Ronaldi mengaku diminta TVOne menjadi narasumber palsu. Dia yang sebelumnya diminta sebagai narasumber terkait PJTKI dalam sebuah talk show tiba-tiba harus menjadi makelar kasus. Bicaranya pun dipandu melalui teks yang sudah disiapkan redaksi televisi (detiknews.com, Jumat, 9 April 2010). Televisi tidak lagi menampilkan opini Andris Ronaldi apa adanya, tetapi televisilah yang merekayasa dan menentukan Andris harus berperan sebagai makelar kasus. Reporter televisi sudah berubah menjadi sutradara realitas itu sendiri. Gila bukan?

Realitas dasar

Dalam pemahaman awam, tanda dianggap selalu berhubungan dengan realitas dasar. Kata-kata, gambar, dan suara yang diciptakan manusia merupakan cerminan realitas material. Berita televisi merupakan representasi kejadian sehari-hari dalam masyarakat. Kualitas kebermaknaan berita ditentukan oleh sejauh mana mampu merepresentasikan realitas dasar sehari-hari. Etika teknik jurnalistik menjadi pemandu kualitas itu.

Namun, rupanya pola itu sudah bergeser. Hasrat monolitik modernisme telah menyulap logika itu. Tanda-tanda direkayasa demi menampilkan makna yang diinginkan pembuatnya. Kode-kode iklan tidak lagi sekadar menceritakan produknya, tetapi merayu kognisi publik untuk mengonsumsi. Animasi-animasi telah membuai khayalan publik dengan menciptakan tanda yang tidak harus memiliki keterhubungan dengan realitas dasar. Tanda telah dicerabut dari realitas dasar.

Proses rekayasa tanda itu disebut simulasi. Simulasi itu bukan pura-pura sakit, tetapi menciptakan gejala sakit itu sendiri. Kerangka pikir simulasi adalah melilhat hubungan antara tanda dan realitas dasar.

Ada empat tahap simulasi. Pertama, tanda merupakan cerminan realitas dasar. Kedua, tanda merupakan topeng realitas dasar. Ketiga, tanda merupakan topeng ketiadaan realitas dasar. Keempat, tanda tidak memiliki hubungan sama sekali dengan realitas dasar. Tahap keempat ini disebut simulakra (simulacra) di mana tanda hanya mereproduksi tanda berikutnya tanpa perlu berhubungan dengan realitas dasar. Makna diciptakan dari proses tanda yang mereproduksi tanda yang lain. Disneyland merupakan contoh sempurna simulakra (Baudrillard, 1988). Batas antara kejujuran dan kebohongan bukannya tipis, tetapi tidak ada. Semuanya hanya bermain-main dalam simulasi tanda demi mengabdi kepentingan hasrat. Opini publik menjadi wilayah sangat lentur dalam dunia pemaknaan yang tanpa batas.

Pertarungan wacana yang sedang kita saksikan akhir-akhir ini berada dalam simulasi tahap kedua dan ketiga. Redaksi TV One diduga meminta Andris Ronaldi untuk menciptakan tanda yang tidak berhubungan dengan realitas dasarnya. Tanda itu menutupi realitas dasar bahwa dia bukan seorang makelar kasus. TV itu tidak mampu menghadirkan makelar kasus asli sehingga mereka membuat simulasi lewat produksi tanda berupa Andris Ronaldi.

Kasus Andris membuktikan bahwa ternyata televisi pun bisa terlibat dalam simulasi kebohongan. Televisi sebagai penyampai berita tidak peduli lagi pada kaidah representasi realitas dasar, tetapi merasa cukup hanya dengan bermain pada wilayah rekayasa tanda. Jika itu dilakukan pada program berita atau talk show, pada bahu siapakah opini publik kemudian disandarkan?

Di balik proses simulasi bersemayam keinginan memenuhi kehendak hasrat. Institusi-institusi dalam modernitas termasuk televisi pada dasarnya bekerja sebagai mesin hasrat (desiring machine, Felix Guattari & Gilles Deleuze, 1972) untuk memenuhi hasrat tertentu.

Hasrat terbesar televisi Indonesia saat ini adalah perolehan keuntungan sebesar-besarnya. Simulasi tanda dalam acara televisi merupakan keluaran struktur liberalisasi penyiaran yang menciptakan televisi yang serakah, tidak mau dikontrol, dan tak mau tahu kepentingan publik.

Sekarang publik benar-benar hidup dalam habitat kebingungan yang sempurna. Publik tidak hanya bingung mencari siapakah anggota DPR, jaksa, polisi, yang jujur atau bohong lewat tayangan televisi. Publik juga harus siap untuk bingung mencari manakah televisi yang jujur atau bohong. R Kristiawan Manajer Program Media dan Informasi, Yayasan Tifa, Jakarta - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/17/04314958/simulasi.kebohongan.televisi

Maju dengan Sekolah Bloger


Stefanus Osa Triyatna

Mungkin agak aneh terdengar, kalau bikin blog mesti ada sekolahnya. Akan tetapi, itulah bisnis blog yang dijadikan peluang oleh Asri Tadda, pemuda Luwu Timur, Sulawesi Selatan, untuk membangun semangat kewirausahaan mandiri tanpa harus memiliki kantor.

Kegetolan Asri Tadda (29) mampir di warung internet telah mengubah kehidupannya, bahkan mengubah arah cita-cita sebagai dokter sebagaimana diharapkan orangtuanya. Padahal, ke warung internet (warnet) itu dilakukan di sela-sela kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar.

Alasan sulitnya membiayai kuliah membuat pemuda kelahiran Pabeta, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, itu memulai bisnis online sejak awal tahun 2007. Asri menekuni aktivitas online sebetulnya sudah sejak akhir tahun 2005.

Menurut suami Dewi Hastuty Sjarief ini, kegemarannya mampir di warnet bikin kesal keluarganya. Karena menekuni bisnis online, kuliahnya sempat tersendat-sendat. Namun, beginilah cara Asri membiayai kuliahnya.

Maklum, Asri mengaku hanyalah seorang pengelola petak pertambakan air asin dan penggiling gabah. Itulah modal untuk membiayai kuliahnya.

Padahal, di warnet itulah Asri menghabiskan waktunya membaca kisah-kisah sukses pengusaha besar. Sampai-sampai, dirinya tertarik untuk bisa berwirausaha. Syukur-syukur bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain.

"Dari membaca-baca, terutama informasi masalah sosial, saya menulis berbagai opini di surat kabar lokal," kata Asri.

Awal tahun 2007 Asri mengenal bisnis blogging melalui program blog advertising. Perkenalannya dengan dunia blog dimulai dari aktivitas untuk menulis dan memublikasikan artikel, puisi, dan tulisan curahan hati alias curhat secara online pada media hosting blog gratis.

Karena rajin mencari informasi seputar bagaimana cara menghasilkan uang dari internet, akhirnya Asri menemukan titik terang dalam bisnis online hingga saat ini.

Asri mengakui, hambatan terbesarnya adalah keterampilan. Dia sama sekali tidak punya dasar pengetahuan tentang internet dan website sehingga awal perjalanan bisnis online-nya sangat lambat. Semua prosesnya otodidak.

"Saya hanya mahasiswa kedokteran biasa yang kebetulan tertarik dengan dunia blogging dan internet marketing," kata Asri.

Hingga saat ini dia memiliki sekitar 200 blog dengan berbagai tema dan semuanya disajikan dalam bahasa Inggris. Meskipun sibuk, Asri menyempatkan diri meng-update blog-blog tersebut. Bahkan, dia punya target membuat 2-3 blog baru setiap bulan. Semua ini sebenarnya menjadi investasi bisnis online ke depan.

Bisnis serius

Sejak April 2009, Asri bersama rekan-rekannya di AstaMedia Group meluncurkan AstaMedia Blogging School pada bulan Maret 2009 di Makassar. Namun, sekolah itu baru diluncurkan secara resmi ke publik pada 16 Mei 2009.

Tujuannya adalah berbagi peluang mendapatkan penghasilan dan membuka lapangan pekerjaan alternatif, khususnya bagi generasi muda. Di AstaMedia Blogging School, ada tiga program pelatihan, yaitu Blogging Basic untuk para pemula, Blogging Pro untuk mereka yang sudah fokus mengelola dan mengoptimalkan blog sebagai sumber penghasilan, dan Blogging for Professionals untuk mereka yang memiliki profesi tertentu, tetapi sangat ingin belajar blogging.

Asri menjamin, dalam masa maksimal tiga bulan setelah proses pendidikan dan pelatihan selesai, para siswa yang sudah lulus di Blogging Pro akan memiliki penghasilan dari blog-blog mereka. Apalagi, tenaga pengajarnya adalah para bloger senior yang sudah malang melintang dalam dunia blog advertising dan menghasilkan banyak uang dari blogging sehingga secara tidak langsung juga turut menumbuhkan motivasi bagi para siswa.

Target utama Blogging School ini adalah kalangan generasi muda. Namun, dirinya tidak menutup diri jika ada kalangan masyarakat umum. Saat ini ada sekitar 100 siswa dari berbagai latar belakang dan profesi. Sebagian besar di antara mereka kini sudah berpenghasilan di atas 250 dollar AS atau Rp 2 juta per bulan.

"Memang, mengajarkan blog kepada mereka yang sudah melek internet dan sedikit paham bahasa Inggris jauh lebih mudah ketimbang terhadap mereka yang sama sekali buta internet. Ini adalah tantangan kami di AstaMedia Blogging School," kata Asri, yang pernah juara kedua Wirausaha Muda Mandiri (WMM) tingkat nasional tahun 2008.

Dapat dikenal

Pengetahuan blogging diharapkan dapat dikenal oleh semua lapisan masyarakat Indonesia dan menjadi lapangan kerja alternatif yang minim modal, tetapi dengan potensi yang sangat besar.

Asri mengakui, ada beberapa orang yang menyangsikan bisnisnya karena ilmu blogging sesungguhnya sudah sangat berlimpah di internet. Hanya saja, tidak semua orang bisa belajar tanpa pendampingan. Buktinya, tingkat kesuksesan AstaMedia Blogging School kini mencapai 85 persen. Artinya, hanya sekitar satu orang dari setiap kelas yang menemui hambatan berarti dalam mencapai penghasilan online.

Saat ini Asri mengatakan sudah menghasilkan 12 angkatan alumni Blogging Pro dan 20 angkatan tingkat dasar. Siswa di AstaMedia Blogging School memang diberikan jaminan, dalam masa maksimal tiga bulan akan mendapatkan penghasilan online dari blog. Hal ini sudah dibuktikan pada semua angkatan alumni.

Bahkan, sebagian besar dari siswa sudah menghasilkan uang dari blog mereka pada akhir bulan pertama masa belajar atau malah ketika sedang mengikuti pelajaran kelas.- http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/17/03452069/maju.dengan..sekolah.bloger

14 April 2010

Priok Berdarah; Cicilan Belum Lunas, Motor Wartawan Indopos Dibakar Massa

Hery Winarno - detikNews

Wartawan Indopos, Sulistyo sedih bukan main. Sebabnya, motor yang selama ini dia gunakan untuk mencari berita dibakar massa saat meliput kerusuhan di Koja, Jakarta Utara.

"Saya parkir sekitar 500 meter dari Gapura makam Mbah Priok, pas saya mau pulang motor saya sudah tinggal joknya, kerangka besi gosong pun sudah dipreteli orang," ujar Sulistyo kepada detikcom melalui sambungan telepon, Rabu (14/4/2010) dini hari.

Momo, panggilan wartawan berkaca mata ini menuturkan, tidak hanya motor miliknya yang menjadi korban pembakaran, sebuah motor lainnya yang diparkir disamping motornya juga menjadi korban anarkisme.

"Ada juga motor GL Pro yang dibakar disamping motor saya," tambah Momo.

Saat keadaan memanas di Koja, massa memang melampiaskan kemarahan dengan membakar mobil dan motor. Namun dirinya tidak menyangka jika motor kesayangannya yang berplat polisi B 6497 BSL ikut dibakar massa.

"Padahal tinggal dua bulan lagi cicilannya lunas," keluh Momo. (rdf/rdf)- http://www.detiknews.com/read/2010/04/15/002808/1338545/10/cicilan-belum-lunas-motor-wartawan-indopos-dibakar-massa

Priok Berdarah; SBY Minta Media Akurat Tentang Korban Tewas

Anwar Khumaini - detikNews


Jakarta - Presiden SBY mengingatkan agar media massa benar-benar akurat dalam memberitakan korban tewas. Sebab, kesalahan pemberitaan pers bisa menimbulkan reaksi yang tidak tepat.

"Saya meminta media akurat. Jangan beritakan meninggal, kalau korban mengalami luka," kata Presiden SBY dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Rabu (14/4/2010) pukul 23.00 WIB.

SBY mengingatkan media untuk menyadari dampak apabila tidak akurat dalam memberitakan korban meninggal dunia. "Kesalahan pemberitaan pers bisa menimbulkan reaksi tidak tepat. Kita akan sedih bila ini memunculkan akibat baru. Tapi saya yakin media tidak menginginkan hal itu, pers tetap menjunjung kebenaran, karena itu tetaplah akurat," pesan SBY.

Sebelumnya, beberapa media elektronik memberitakan mengenai beberapa korban tewas pada siang hari tadi. Namun, setelah dikonfirmasi ke pihak terkait, tidak ada data korban tewas. Dua korban tewas baru diketahui dan ditemukan malam ini.

Investigasi Dilakukan Nanti


Dalam jumpa pers, SBY juga meminta agar investigasi untuk mengetahui duduk perkara aksi kekerasan atau benturan fisik yang terjadi, sebaiknya dilakukan kemudian. "Investigasi untuk mengetahui duduk perkara aksi kekerasan atau benturan fisik itu agar kita tahu latar bekajangnya siapa yang salah dan benar, nanti saja dilakukan. Yang penting, ditangani baik korban-korban luka terlebih dulu," jelas SBY.

SBY juga meminta gubernur DKI dan jajarannya untuk segera melakukan pertemuan-pertemuan dan pendekatan-pendekatan dengan berbagai pihak yang terkait untuk mencari solusi terbaik. SBY juga meminta tokoh masyarakat dan pemuka agama untuk menjalankan peran secara positif. (asy/gah) - http://www.detiknews.com/read/2010/04/14/235807/1338536/10/sby-minta-media-akurat-tentang-korban-tewas

CEO Google Yakin Bisnis Online Masa Depan Suratkabar

AP Photo/Russel A. Daniels
CEO Google Eric Schmidt

Ini angin segar buat para juragan suratkabar sejagad. CEO Google Inc. Eric Schmidt mengatakan dirinya masih yakin suratkabar di muka bumi ini masih bisa meraup fulus dari bisnis online seiring cepatnya perkembangan internet.

Schmidt menyampaikan pernyataan ini di depan American Society of News Editors, semacam kumpulan para editor berita. Selama ini, banyak praktisi suratkabar yang menuduh Google telah menyedot jumlah pembaca dan pengiklan di situs koran-koran.

Bagaimana pun, Schmidt menyadari peran suratkabar dalam demokrasi amatlah vital. Selain itu, situs suratkabar juga menyediakan sumber buat konten online. "Kami memahami betapa fundamental misi suratkabar," kata Schmidt.

Ke depan, Schmidt memprediksi bisnis berita online akan menemukan model bisnis yang menghasilkan duit. Aliran dana ke situs berita ini akan berasal dari kombinasi pemasukan iklan dan langganan.

Dia berharap Google dapat memfasilitasi upaya tersebut. Schmidt mengajak para editor berita agar berani melakukan eksperimen dalam segala hal di dunia maya mulai dari media jejaring sosial hingga konten yang lebih personal untuk memikat pembaca. "Teknologi membolehkan Anda untuk berbicara langsung dengan pemakai bisnis Anda," kata Schmidt.

Redaktur Eksekutif Miami Herald Anders Gyllenhall mengakui bila Google membawa banyak pengunjung di situs berita. Tapi, dia tidak yakin jika Google melihat pebisnis suratkabar sebagai partner sejati. "Kita sekarang berjalan di arah yang berbeda," kata Gyllenhall.

Sementara Editor Detroit News Jonathan Wolman menyikapi pernyataan Schmidt lebih positif. "Sungguh membesarkan hati mendengar seorang jenius di dunia internet menyebut konten situs berita sebagai suatu materi penting di dunia maya," kata Wolman. Nah, apa pendapat Anda? (KONTAN/Arief Ardiansyah) - http://tekno.kompas.com/read/xml/2010/04/15/0007412/CEO.Google.Yakin.Bisnis.Online.Masa.Depan.Suratkabar

Majelis Pertanyakan Status Hukum Raymond (Kebebasan Pers)

Jakarta, Kompas - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (14/4), mempertanyakan perkembangan status hukum Raymond, tersangka dalam dugaan tindak pidana perjudian di Hotel The Sultan, Jakarta, tahun 2008.

Pertanyaan itu disampaikan Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Selatan Haswandi kepada saksi Gardi Gazarin, wartawan Suara Pembaruan, dalam sidang gugatan perdata terhadap harian Republika dan Detik.com di PN Jakarta Selatan, Rabu.

"Apakah (Raymond) ditangkap waktu itu," tanya Haswandi. Gardi pun menjawab, Raymond ditangkap aparat kepolisian pada 28 Oktober 2008.

Haswandi bertanya lagi, apakah Raymond pernah ditetapkan sebagai tersangka dan disidik. Atas pertanyaan itu, Gardi menjawab Raymond pernah ditetapkan sebagai tersangka dan disidik. "Apa sampai di pengadilan?" tanya Haswandi.

"Belum," ungkap Gardi.

"Mengapa?" tanya Haswandi.

Menurut Gardi, tersangka Raymond belum disidangkan karena berkas pemeriksaan belum dinyatakan lengkap oleh kejaksaan. "Bolak-balik (kejaksaan dan kepolisian)," katanya.

"Apakah sudah di-SP3 (surat perintah penghentian penyidikan)," kata Haswandi. Gardi menjawab, "Belum".

Belum mendapat SP3

Seperti diberitakan, polisi menangkap Raymond, buron tersangka perjudian di kamar suite 296 Hotel The Sultan, Jakarta Selatan. "Raymond salah satu dari penyelenggara acara perjudian tersebut," kata Wakil Direktur I Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Besar Bachtiar Tambunan (Kompas, 29/10/2008).

Raymond Teddy (penggugat) melalui kuasa hukumnya, Togar M Nero, menggugat tujuh media massa (tergugat) terkait pemberitaan dugaan kasus perjudian dengan tersangka Raymond. Ketujuh media massa itu adalah RCTI, Kompas dan Kompas.com, Warta Kota, Suara Pembaruan, Republika, Detik.com, dan Seputar Indonesia.

Sehari sebelumnya, beberapa saksi dari tergugat, yaitu dari PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), PT Kompas Cyber Media (Kompas.com), dan PT Kompas Media Nusantara (Kompas), dan PT Metro Gema Media Nusantara (Warta Kota), memberikan kesaksian di PN Jakarta Barat.

Selain di PN Jakarta Barat dan PN Jakarta Selatan, penggugat juga menggugat harian Suara Pembaruan di PN Jakarta Timur dan harian Seputar Indonesia di PN Jakarta Pusat.

Seusai sidang, Togar M Nero, penasihat hukum Raymond Teddy sebagai penggugat, mengakui, Raymond pernah ditahan oleh penyidik dari kepolisian. Namun, saat ini, Raymond bebas dan tidak ditahan karena masa penahanan sudah habis.

Ia menambahkan pula, Raymond memang belum mendapatkan SP3. (FER) - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/15/03122855/majelis.pertanyakan.status.hukum.raymond

Ideologi Media Massa

Oleh: NOVEL ALI

Media massa hampir selalu berada dalam impitan dua kepentingan. Kepentingan pertama, bisnis. Kepentingan kedua, idealisme.

Di tengah dua kepentingan itu sangat sulit bagi konsumen pers mengharap sajian media massa yang tidak berpihak. Sajian pers Indonesia pun tidak terlepas dari kapitalisme media di satu sisi, dan euforia publik di sisi lain. Euforia publik dan kapitalisme media itu dibentuk oleh terpaan globalisasi dan hedonisme, yang mengakibatkan kesenjangan komunikasi antara pengelola lembaga media, dengan berbagai pemangku kepentingannya.

Perbedaan mindset antara pemilik dan pengelola pers dengan konsumen pers merupakan embrio kegagalan media massa membangun human dignity di tengah kehidupan individu dan masyarakat. Salah satu dampaknya adalah lubernya aksesibilitas pers dalam membentuk, mengarahkan, dan mengendalikan opini publik, yang tak diimbangi akuntabilitas eksternal media massa sebagaimana seharusnya.

Konsumen pasrah saja

Dalam konteks ini, sajian pers nasional kita kurang mampu menyeimbangkan pemenuhan kepentingan produsen informasi dan konsumen informasi. Pengelola pers sering menyajikan informasi, yang mengesampingkan kepentingan ideologi media massa, akibat kuatnya dorongan pemenuhan kepentingan bisnis pers. Sebaliknya, konsumen pers pasrah kepada sajian apa pun yang diberikan oleh produsen informasi publik tersebut.

Dorongan prioritasi ideologi media dalam sajian pers mengakibatkan eksploitasi kepentingan manusia. Salah satu bentuk konkretnya adalah depersonilisasi dan desakralisasi simbol kemanusiaan dalam sosok perorangan atau kelompok. Selain itu, sajian media massa kuat bukan dalam sosok kultur, melainkan struktur. Akibatnya, tanpa disadari oleh konsumen pers pada umumnya, di samping tanpa kesengajaan pengelola pers itu sendiri, muncullah desakralisasi kepentingan pribadi manusia sebagai individu, bersamaan dengan munculnya sakralitas kepentingan kelompok manusia sebagai sebuah struktur.

Ideologi media massa semakin memperkuat kecenderungan kapitalisasi informasi publik dalam berbagai format. Baik format sosial, format politik, maupun format kebudayaan, dan lain-lain. Kapitalisasi informasi publik ini dikelola dalam modus jurnalistik yang mampu memosisikan kepentingan simbol tertentu menjadi "tidak layak dijual", padahal sebetulnya simbol-simbol itu memenuhi syarat nilai berita.

Pemberitaan pers nasional kita yang sarat konflik antara tuntutan ideologi dan kapitalisme pers mengakibatkan informasi di dalam media massa hampir selalu dipertimbangkan dari aspek "nilai jualnya". Informasi tertentu, sekalipun sarat nilai berita, sejauh dipandang kurang/tidak layak jual akan cenderung disingkirkan di lembar media massa cetak atau durasi media radio dan televisi.

Kapitalisme pers

Ideologi media massa yang takluk di bawah cengkeraman kapitalisme pers membentuk sikap dan perilaku pekerja pers yang memosisikan informasi semata-mata sebagai komoditas. Informasi tanpa bobot komoditas dinilai jauh dari rasa ingin tahu (sense of curiosity). Padahal, pemenuhan keingintahuan manusia itu pada umumnya sangat bergantung kepada kemauan baik pengelola lembaga media massa dalam menyajikan informasi.

Konflik kapitalisme pers dan ideologi media massa mengakibatkan buramnya nilai-nilai pragmatisme dalam pers. Salah satu risikonya adalah pemberitaan pers yang cenderung tidak bertanggung jawab terhadap berbagai dampak pemberitaannya. Itu sebabnya tidak mengherankan bila tanggung jawab sosial pers lantas nyaris tidak dihiraukan oleh pekerja pers. Pada gilirannya, pertanggungjawaban pers berada di luar kerangka profesionalisme media massa dan tanggung jawab kemanusiaan.

Impitan kepentingan komersial dan ideal dalam pers mempersulit peran publik di dalam ikut menentukan warna media massa yang dipilihnya (untuk dibaca, didengar, dan dipirsa). Di tengah kecenderungan demikian, sulit bagi kita mengharapkan sajian pers bermoral. Terutama pers yang berupaya memprioritaskan kepentingan obyektif, bila secara komersial merugikan. Atau pers yang memparadigmakan kepentingan orang-orang tertindas, tetapi bertentangan dengan ideologi media massa yang bersangkutan.

Novel Ali Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip -- http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/15/04533157/ideologi.media.massa

13 April 2010

PROGRAM BARU TRANS TV APRIL 2010

Siaran Pers


TRANS TV senantiasa berupaya memberikan yang terbaik bagi pemirsa Indonesia dengan menghadirkan program-program terbaru. Rangkaian program in-house yang variatif, inovatif dan berkualitas hadir mulai Bulan April 2010.

 

Pada bulan April ini, tiga program baru yang hadir menyapa keluarga Indonesia adalah STUDIO 1 setiap hari Jumat pkl. 19.00 WIB, THE CAMP setiap hari Sabtu pkl. 16.00 WIB, dan UNTUNG 1000x  setiap hari Minggu pkl. 14.00 WIB.

 

STUDIO 1, sebuah program variety show berupa sketsa parodi yang meneruskan kesuksesan EXTRAVAGANZA dengan format yang lebih segar dan deretan pemain baru. STUDIO 1 hadir setiap Jumat pkl. 19.00 WIB menampilkan Luna Maya, Ronald Surapraja, Aming, Indra Birowo, Sandra Angelia, Nino Fernandez, Melanie Ricardo Icha Sasmita dan Gilang. Sketsa-sketsa komedi lebih segar yang akan menambah keceriaan keluarga. 

 

Apa jadinya bila orang sipil yang tak pernah bersentuhan dengan dunia militer harus menghadapi keras dan disiplinnya kehidupan ala militer. Hanya di THE CAMP semuanya bisa terjadi, setiap hari Sabtu pkl. 16.00 WIB. Tiap episodenya THE CAMP akan menampilkan talent selebritis yang berbeda-beda. THE CAMP program dengan konsep dokureality dan gameshow yang akan mengekplorasi kejadian spontan seru dan dramatik, serta menggali informasi tentang kesatuan militer. Gameshow yang terdiri dari 2 tim ini akan berlomba memperebutkan hadiah di sebuah camp militer. Mereka akan di beri pengetahuan dasar militer selama 2 hari dan kemudian di lepas pada sebuah sirkuit yang dipenuhi aral rintang selama 3 hari. Tak hanya  games, peserta juga akan menghadapi tantangan fisik dan mental.

 

UNTUNG 1000x sebuah program reality show yang menantang peserta untuk membentuk jiwa entrepreneurship agar bisa bertahan hidup dan membangun masa depan. UNTUNG 1000x tayang setiap hari Minggu pkl. 14.00 WIB. UNTUNG 1000x yang dipandu oleh Jinggo akan memberikan modal awal Rp. 500,000,- kepada 2 orang berbeda yang benar-benar berkeinginan untuk berusaha. Mereka dikompetisikan untuk menghasilkan laba sebanyak-banyaknya dan balik modal dalam jangka waktu 2 hari saja. Program ini bertujuan memberikan edukasi kepada penonton untuk selalu kreatif dan gigih dalam berusaha.

 

A. Hadiansyah Lubis

Head Of Marketing Public Relations

12 April 2010

TVone Akui Kesalahan, Tak Lakukan Cover Both Sides

Ramadhian Fadillah - detikNews
Dalam mediasi yang difasilitasi Dewan Pers, TVone mengaku melakukan kesalahan soal penayangan markus palsu. Redaksi TVone mengaku tidak melakukan konfirmasi pada dua sisi atau cover both sides.

"TVone menyadari hal-hal yang kurang sempurna. Tidak melakukan cover both sides," ujar Ketua Dewan Pers, Bagir Manan di kantornya, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (12/4/2010).

Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo pun menyayangkan hal ini. Seharusnya agar pemberitaan adil, pihak TVOne juga melakukan konfirmasi pada pihak kepolisian.

"Ini kan dari satu sisi saja. Sehingga seolah-olah di kepolisian begitu banyak markus, tetapi kepolisian tidak bisa menjawabnya," terang Agus.

Agus menjelaskan Dewan Pers masih memerlukan waktu untuk menyelesaikan masalah ini. Namun jika salah, TVone tentunya akan diberikan sanksi.

"TVone harus memuat hak jawab dari polisi, serta meminta maaf pada polisi," tegas dia. (rdf/ndr)-- http://www.detiknews.com/read/2010/04/12/191720/1336933/10/tvone-akui-kesalahan-tak-lakukan-cover-both-sides


Dewan Pers: Karni yang Tanggung Jawab, Bukan Indy
Ramadhian Fadillah - detikNews

Presenter Indy Rahmawati disorot publik terkait penayangan markus palsu di TVone. Dewan Pers pun menegaskan masalah ini bukan masalah Indy, tetapi masalah pemimpin redaksi TVone Karni Ilyas beserta jajarannya.

"Karni Ilyas atau yang mewakilinya. Seperti misalnya saat ini, Karni diwakili oleh GM News-nya," ujar anggota Dewan Pers Agus Sudibyo.

Hal tersebut dikatakan Agus usai melakukan mediasi dengan TVone di Kantor Dewan Pers, Senin (12/4/2010).

Agus menambahkan penanggungjawab tayangan tersebut adalah redaksi TVone. Sehingga jika ada permasalahan, maka yang harus bertanggungjawab adalah pemimpin redaksi.

"Ini masalah TVone, bukan masalah Indy seorang," tegas dia. (rdf/ndr) -- http://www.detiknews.com/read/2010/04/12/204506/1336980/10/dewan-pers-karni-yang-tanggung-jawab-bukan-indy

Setelah TVOne, Giliran Polri yang Diperiksa Dewan Pers

Ramadhian Fadillah - detikNews


Jakarta - Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang tiba di Gedung Dewan Pers. Kedatangannya untuk melakukan mediasi terkait dugaan kasus markus palsu yang ditayangkan di TVOne.

Edward tiba pukul 16.25 WIB, Senin (12/4/2010). Edward tampil dengan mengenakan baju dinas Polri lengkap.

"Saya kan melaporkan ke Dewan Pers. Ya datang ke sini karena itu," ujar Edward.

Ketua Dewan Pers Bagir Banan mengatakan kedatangan Edward untuk memperjelas kasus tersebut. "Kita kan harus cover both side. Tadi dengan TVOne sekarang dengan Kepolisian," kata Bagir.

Mantan Ketua MA ini menegaskan tidak ada konfrontir antara kepolisian dan TVOne. Keduanya akan ditemukan dalam jumpa pers usai Dewan Pers mendengar keterangan dari Polri.

Saat TVOne keluar pukul 16.30 WIB, Edward sudah di Dewan Pers. Namun mereka tidak bertemu dan akan bertemu dalam jumpa pers nanti.  (nik/anw)- http://www.detiknews.com/read/2010/04/12/164559/1336814/10/setelah-tvone-giliran-polri-yang-diperiksa-dewan-pers

11 April 2010

Pelayanan YesTV Mengecewakan (Surat Pembaca)

Saya pelanggan YesTV (nomor Smart Card: 41046175141). Pada 6 Maret 2010, saya mengisi tiga voucher Olahraga Premier (Liga Inggris), dan berhasil.

Sesuai promosi YesTV, seharusnya saya mendapat bonus "Dunia Sinema" selama satu bulan, tetapi ternyata saya mendapat paket "New Pelangi", yang mestinya untuk pelanggan Telkomvision.

Saya telah melapor ke pusat layanan Telkom 147 pada hari yang sama (6/3), dan disusul dengan lima laporan berikutnya. Saya juga telah mengirim e-mail komplain ke customer care YesTV di ccare@yestv.co.id. Namun, semua hanya memperoleh jawaban yang sama, "telah dilaporkan". Tanpa ada penyelesaian lebih lanjut.

Kekecewaan bukan hanya pada kesalahan pengaktifan paket bonus, yang merupakan faktor utama saya membeli tiga voucher sekaligus, tetapi lebih pada tidak profesionalnya pihak Telkomvision (YesTV) yang tidak pernah memberi tanggapan atau jawaban jelas ataupun penyelesaian konkret atas komplain pelanggan.
EDWARD H SIPAHUTARJ alan Tempuling Nomor 118, Sidorejo Hilir, Medan - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/12/04411166/redaksi.yth

Nasib Pers bila Diktator Muncul Lagi (Opini Atmakusumah)

Ada pertanyaan paling unik diungkapkan oleh anggota delegasi Uganda dalam diskusi tentang "Media bebas, independen, dan pluralistik: Peranan yang dapat dilakukan Negara" di Paris, baru-baru ini. Ia bertanya kepada para panelis: "Apa yang akan terjadi dengan media pers jika muncul diktator baru di suatu negara yang belum lama menikmati kebebasan pers dan berekspresi?"

Saya harus menjawab pertanyaan ini sebagai salah seorang dari tiga panelis di depan sidang ke-27 delegasi 39 negara anggota Intergovernmental Council untuk International Programme for the Development of Communication (IPDC) UNESCO yang diselenggarakan pada 24-26 Maret. Dua panelis lainnya adalah Lumko Mtimde, direktur eksekutif Media Development and Diversity Agency di Afrika Selatan; dan Gabriel Kaplun, Dekan Communication Sciences Faculty pada Universidad de la Republica di Uruguay.

Diktator sulit muncul lagi

Jawaban saya bagi pertanyaan itu adalah bahwa sangat sulit bagi seorang diktator baru untuk muncul dan berkuasa di suatu negara setelah masyarakat secara luas menikmati dan menghargai kebebasan, termasuk kebebasan berekspresi—yang mencakup pula kebebasan pers dan menyatakan pendapat. Di Indonesia sekarang boleh dikatakan setiap orang dapat mengutarakan keluhan dan pengaduan.

Akan tetapi, sebaliknya, media pers harus terus-menerus melakukan upaya untuk meningkatkan mutunya agar tidak ada alasan bagi pemerintah dan publik untuk menindas kebebasan pers dan berekspresi.

Sejak awal Dewan Pers independen berdiri pada April 2000, para anggotanya memandang sangat penting berkembangnya pemahaman publik terhadap makna kebebasan pers dan berekspresi. Publik bukan hanya masyarakat luas di luar kekuasaan negara, melainkan juga pejabat pemerintah—yang sama-sama terperanjat menyaksikan kelahiran media pers yang demikian cepat dan sangat bervariasi.

Dalam pernyataannya yang pertama pada 22 Mei 2000, Dewan Pers menunjukkan kerisauan terhadap timbulnya konflik antara media pers dan kelompok masyarakat yang tidak menyenangi atau merasa dirugikan oleh pemberitaan tentang mereka atau pemimpin mereka. Selama beberapa tahun pada awal masa Reformasi, kantor media pers di beberapa kota didemonstrasi, diduduki, dan malahan ada pula yang dirusak.

Ini mencerminkan ketidakpahaman di kalangan sebagian masyarakat terhadap makna kebebasan pers. Ketidakpahaman juga terjadi di kalangan para penegak hukum karena polisi kadang-kadang seolah-olah "lepas tangan" dalam menghadapi peristiwa kekerasan terhadap pers dan wartawan dengan tidak melindungi kantor media pers yang diduduki atau dirusak oleh para demonstran. Malahan polisi di Medan akan menuntut para pengelola satu surat kabar karena memuat karikatur yang digugat oleh sejumlah demonstran.

Tidak takut berekspresi

Baik para politisi dan para pejabat negara, termasuk penegak hukum, maupun perundang-undangan sebaiknya mendukung dekriminalisasi—atau tidak mengkriminalkan—pikiran-pikiran kreatif yang muncul dalam berbagai forum dan media, misalnya, karya jurnalistik dalam media pers, pernyataan pendapat yang kritis dalam pertemuan terbuka, serta ekspresi yang keras sekalipun dari publik dalam demonstrasi atau forum lain, seperti surat pembaca di media massa dan media internet.

Seandainya pernyataan dan ekspresi itu melanggar hukum, tersangka dapat diproses melalui jalur hukum perdata, bukan dengan menggunakan hukum pidana yang mengkriminalkan karya atau pernyataan mereka. Akan tetapi, jalur hukum apa pun yang ditempuh, perdata ataupun pidana, hendaknya tidak berakhir dengan vonis berupa hukuman badan atau penjara, melainkan ganti rugi (dalam kasus perdata) atau denda (dalam kasus pidana) yang proporsional.

Ganti rugi atau denda proporsional, yang sekarang semakin menjadi perhatian para pengamat hukum di berbagai negara demokrasi, dimaksudkan agar terhukum tidak mendapat kesulitan ekonomis karena pembayarannya disesuaikan dengan kemampuan finansial mereka. Sama pentingnya adalah bahwa mereka tidak mengalami tekanan batin akibat beban pembayaran ganti rugi atau denda yang sangat berat, atau eksesif, sehingga tidak lagi memiliki keberanian untuk menyuarakan isi hati nuraninya.

Lembaga Bantuan Hukum untuk Pers (LBH Pers) pada 23 Juli 2008 sudah mengajukan usulan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi untuk menghapus beberapa pasal hukum yang dapat membelenggu kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Akan tetapi, sejauh itu, Mahkamah Konstitusi masih menolak usulan ini. Alasannya bahwa tuntutan warga yang merasa dirugikan oleh suatu pernyataan, misalnya yang dianggap mencemarkan nama baik, adalah konstitusional atau dilindungi oleh UUD kita.

Pada peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia tahun lalu, 3 Mei 2009, yang diadakan di Doha, Qatar, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB, UNESCO, menyerukan agar negara anggotanya "menyingkirkan pasal hukum pencemaran nama baik atau penistaan dari undang-undang pidana."

Kebebasan media eksesif

Pernyataan lainnya yang menarik dalam diskusi di Paris adalah kekhawatiran terhadap apa yang disebut "kebebasan media yang eksesif, yang dapat mengganggu kestabilan negara". Ini merupakan pandangan klasik yang juga beredar luas di Indonesia.

Saya menanggapinya dengan mengemukakan pengamatan selama ini di Indonesia bahwa upaya untuk "mengontrol" media massa oleh lembaga-lembaga seperti Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, dan media watch dapat memperkecil sensasionalisasi pemberitaan dan penyiaran. Lebih penting lagi adalah upaya selama satu dasawarsa terakhir oleh Dewan Pers untuk mengembangkan "melek media" di kalangan masyarakat, termasuk para penegak hukum, dengan mengadakan diskusi bersama mereka tentang makna dan manfaat kebebasan pers dan berekspresi. Program ini kemudian diikuti oleh LBH Pers yang lebih memusatkan kegiatannya pada pendekatan kepada para penegak hukum.

Pemahaman publik terhadap profesionalisme pers sangat penting karena merekalah yang menjadi penguji terakhir bagi kelangsungan kehidupan media massa. Selama masa euforia kebebasan pada awal Reformasi pernah beredar 1.200 media pers cetak—surat kabar harian dan mingguan, tabloid, dan majalah. Namun, separuhnya, sekitar 600, hanya berumur kurang dari satu atau dua tahun karena, antara lain, ditinggalkan oleh para pembaca.

Program-program yang dijalankan oleh Dewan Pers, baik dalam pengembangan "melek media" maupun sebagai mediator antara publik dan media pers dalam konflik akibat pemberitaan, mendapat perhatian pengamat pers internasional. Beberapa bulan yang lalu, Aiden White, Sekretaris Jenderal International Federation of Journalists (IFJ) di Brussels, Belgia, menyebut Dewan Pers Indonesia sebagai salah satu dewan pers yang terbaik di dunia.

Dalam pengamatan selama ini, saya tidak melihat terjadinya gejala buruk dari kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia yang dapat mengganggu kestabilan negara. Sebaliknya, para pemimpin negara memperoleh banyak informasi dari pemberitaan pers yang terbuka dan jujur sehingga dapat lebih mudah memahami aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.

ATMAKUSUMAH Pengamat Pers dan Pengajar Jurnalisme Lembaga Pers Dr Soetomo - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/12/04431732/nasib.pers.bila.diktator.muncul.lagi

Menonton Video Lewat Ponsel

Buyung Wijaya Kusuma dan Bambang Sigap

Setelah membuka video raflesia, pembaca Kompas bernama Winahyu Budi Satrya berkata, "Terima kasih infonya, kami jadi semakin paham perbedaan bunga bangkai dengan bunga raflesia".

Peningkatan pemakaian internet melalui komputer dan telepon seluler seyogianya direspons dengan tepat oleh mereka yang bergerak di bidang media cetak.

Komentar Winahyu itu muncul setelah membaca berita Kompas berjudul Jelajah Musi, "Rafflesia Arnoldii" di Mata Air Musi (Kompas, 7/3). Dalam berita versi cetak itu juga dicantumkan alamat untuk membuka video tentang bunga rafflesia arnoldii di hutan lindung hutan Bengkulu yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan. Video yang berdurasi lebih dari 4 menit itu menggambarkan perjalanan tim Jelajah Musi Kompas masuk hutan dan menemukan tunas raflesia, gambar dimensi tentang pertumbuhan tanaman tersebut, dan perbedaannya dengan bunga bangkai.

Bila memakai komputer yang terhubung internet, gambar video bisa dibuka dengan alamat vod.kompas.com/rafflesia. Mengantisipasi pemakaian telepon seluler (ponsel) online yang kini makin banyak, kita juga menonton video dengan memotret QR (quick response) code atau dekode Kompas, semacam barcode yang sering dipakai untuk menyimpan data barang konsumsi.

Memang, umumnya QR dipakai untuk menyimpan berbagai data tentang barang konsumsi, misalnya papan sirkuit elektronik komputer, dan barang-barang logistik. Harian Kompas memakai QR code guna memperkaya wawasan informasi pembaca yang kadang sangat dibatasi oleh halaman koran. Melalui dekode Kompas, pembaca akan memperoleh tambahan foto, data dan grafis, informasi yang terkait dan yang paling mutakhir sekarang ini video tentang berita tersebut.

Jumlah pengguna ponsel pada tahun 2009 diperkirakan 140 juta, tahun ini sejalan dengan membaiknya perekonomian, pemilik ponsel tentu sudah jauh lebih tinggi. Karena itu, tidak mengherankan, Chief Executive Officer of Serious Group John Fong, vendor dekode Kompas, mengatakan, lalu lintas data melalui dekode Kompas terus meningkat rata-rata 20 persen sejak diluncurkan Juni tahun lalu (Kompas, 8/4).

"Hal ini jelas membuktikan bahwa mobile internet semakin populer di Indonesia. Dekode menyediakan para penerbit untuk melakukan apa yang mereka inginkan tanpa khawatir dengan kerumitan untuk mengurusi sistem teknologi informasi. Dengan mengombinasikan tracking yang kuat dan management tool lainnya, para advertiser bisa melakukan analisis dan mendapatkan feedback mengenai kampanye iklan mereka," kata Fong.

"Statistik menunjukkan, pembaca kami secara konsisten menggunakan QR code untuk mengetahui lebih banyak informasi dan untuk berinteraksi dengan newsroom kami," kata Wakil Pemimpin Perusahaan Kompas Cetak Edi Taslim.

Kode matriks

QR code berfungsi sebagai "jembatan" penghubung secara cepat antara konten offline dan konten online. Kode ini memungkinkan audiens berinteraksi dengan media yang ditempelinya melalui ponsel secara efektif dan efisien. QR code bertindak seolah-olah hyperlink fisik yang dapat menyimpan alamat web (URL), nomor telepon, teks, serta SMS.

Untuk dapat memanfaatkan teknologi QR code, ponsel wajib memiliki akses internet. Dengan bantuan ID (nomor digit), QR code tidak hanya dapat dibaca lewat ponsel berkamera, tetapi juga dengan ponsel tanpa kamera. Pada ponsel berkamera, QR code bisa dibaca melalui aplikasi jenis QR code reader. Khusus ponsel keluaran Nokia seri N & E, aplikasi reader ini sudah tersedia (pre-installed) dan langsung bisa digunakan.

Untuk ponsel lain, seperti BlackBerry, aplikasi reader wajib diinstalasikan. Di internet tersedia berbagai aplikasi reader yang bisa diunduh cuma-cuma. Kita dapat mengunduh lewat sarana yang disediakan kompas.com, di alamat http://dakode.mobi. Jenis ponsel akan dideteksi secara otomatis dan kemudian sistem akan memberikan pilihan beberapa aplikasi reader, unduh salah satu aplikasi dan instalasikan di ponsel yang kita pakai.

Jika ingin membaca QR code, jalankan aplikasi reader dan arahkan kamera ponsel ke letak QR code. Dengan cara memotret barcode dua dimensi itu, kita akan mendapatkan konten digital yang relevan. Hal ini merupakan pengayaan berita kalau QR code ditempelkan dengan berita. Konten situs jaringan tersebut bisa berupa berita lebih lengkap, grafis, foto-foto tambahan, dan video. Lebih dari itu, kita juga dapat berinteraksi dengan menyampaikan respons berupa masukan atau opini kepada editor. http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/12/04235882/menonton.video.lewat.ponsel

Cerita di Balik Panggung Program Komedi Opera Van Java Tayang Sejam, Syuting Berjam-jam

Tayang Sejam, Syuting Berjam-jam

Bermula dari tayang seminggu sekali, lalu meningkat seminggu dua kali, kini program komedi Opera Van Java (OVJ) muncul lima kali dalam sepekan. Itu menandakan acara milik Trans7 tersebut makin digemari pemirsa. Seperti apa pembuatan tayangan yang mengandalkan kepiawaian melucu Parto, Sule, Azis Gagap, Nunung, juga Andre Taulany itu?

---

YANG suka nonton OVJ pasti kenal dengan pantun ini. "Di sana gunung, di sini gunung, di tengahnya Pulau Jawa. Wayangnya bingung, lha dalah dalangnya juga bingung, yang penting bisa ketawa. Ketemu lagi di Opera Van Java. Yaa... Eeee...!"

Pantun khas tersebut selalu diucapkan oleh Ki Dalang Parto ketika mengawali pertunjukan. Setelah itu, keluarlah suara merdu sinden cantik yang membawakan lagu-lagu masa kini diiringi musik gendang dan gamelan.

Kamis lalu (8/4), Jawa Pos bertandang ke Studio Guet di daerah Pancoran. Di studio tersebut, tayangan OVJ dibuat. Mengenakan beskap berwarna biru, Parto memulai pertunjukan seperti wayang orang Jawa tersebut. Waktu itu mereka memainkan cerita berjudul Kawin Kontrak. Ketika pengambilan gambar, di dalam studio banyak penonton yang sengaja datang untuk melihat secara langsung.

Syuting OVJ dilakukan seminggu tiga kali, Selasa sampai Kamis. Mulai siang sampai tengah malam. Setiap kali syuting, mereka memproduksi tiga cerita. Kamis itu, menurut jadwal, syuting dimulai pukul 12.00 WIB. Tapi, sampai waktu yang ditentukan, syuting belum dimulai. Pendukung acara belum datang semua. "Itu kan syuting terakhir. Jadi, wajar kalau sedikit telat. Soalnya, syuting kemarin (Rabu, 7/4) sampai malam," tutur salah seorang kru.

Sambil menunggu, Jawa Pos melihat ruang brifing dan kostum. Ternyata, para artis dan kru berebut jam tangan plastik. Ada Andre, Sule, Azis, dan beberapa kru. Rupanya, salah seorang kru membawa satu tas jam tangan plastik berbentuk robot untuk dijual. "Ya begini ini keadaannya. Nggak artis, nggak kru, sama saja kacaunya," ucap Bremoro Kunto, asisten produser OVJ.

Syuting hari itu molor, sekitar pukul 15.00 WIB baru dimulai. Beberapa menit sebelum syuting, para artis membaca naskah cerita yang akan mereka mainkan. Bukan skenario utuh, hanya garis besarnya. Menurut Sule, mereka hanya perlu baca sebentar naskah tersebut, setelah itu semuanya mengalir begitu saja. "Baca naskah ya pas begini ini. Baca sebentar, saya jadi apa di sini. Misal, saya jadi pemuda. Ya pemuda yang lagi ngapain. Soalnya, nanti ada Mas Parto yang jadi dalang. Jadi, dia lebih tahu ceritanya," katanya.

Di OVJ, para pemain memang dibebaskan berimprovisasi. "Misalnya, awalnya jadi tukang dagang, setelah itu jadi tukang lain. Bebas. Yang penting tahu benang merahnya. Jadi, bisa tek tok dengan dalang. Kalau dalang nyuruh, kami sudah hafal," ucap Sule.

Karena diberi kebebasan itu, Parto, Sule, Azis, Andre, maupun Nunung sering ngelantur ke mana-mana. Bremoro mengatakan, salah satu kekuatan OVJ memang itu. Kebebasan. "Sudah biasa deh, durasi tayang satu jam, syuting sampai berjam-jam. Jalan ceritanya sampai ke mana-mana. Lawakan mereka juga sudah nggak keruan. Nggak masalah sih. Memang kami membiarkan mereka. Terserah deh mau ngapain. Mau berapa lama di atas panggung juga terserah. Yang penting, kami kasih tahu. Woi, sudah sepuluh menit. Woi, sudah 20 menit. Gitu saja," tutur Bremoro.

Justru lanturan para pelawak itu menguntungkan kru. Sebab, saat pengeditan, ada lebih banyak pilihan. Makin lama dibiarkan, tingkah lima sekawan tersebut makin aneh-aneh. "Kami yang ngedit kan jadi enak. Oh, yang ini lucu, ini juga, jadikan satu," lanjut dia.

Bremoro menjelaskan, para komedian tersebut memang memiliki talenta alami dalam melawak.

"Mereka, mau di panggung ataupun keseharian, sama saja. Kalau saya bilang, mereka bukan kategori orang lucu lagi, melainkan orang stres," papar dia lantas terbahak. Melihat para komedian tersebut mengobrol pun, terang dia, bisa mengundang tawa. Sebab, mereka sering membicarakan hal yang tidak penting, tapi membahasnya dengan serius. "Pokoknya, dari sononya memang sudah lucu orang-orang itu," lanjutnya.

Mereka juga punya keunikan sendiri-sendiri di lokasi syuting. Jika dibandingkan dengan yang lain, Parto terkesan lebih anteng. Tapi, celotehan dia paling sering membuat orang tertawa. Sementara itu, Sule adalah personel OVJ yang paling lincah dan energik. "Kalau Azis, gimana ya? Dia absurd banget. Paling aneh lah. Tiba-tiba ramai, bentar kemudian dia menyendiri di pojok," imbuh Bremoro lantas tertawa. Sedangkan Andre dikenal sebagai orang yang sangat ceria. Sepertinya, tak pernah ada beban pada hidupnya. Tapi, Andre sering terlambat datang ke lokasi syuting. "Dia paling ceria, tapi juga paling suka telat," tegasnya. (jan/c11/ayi) --http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=127647

31 Nama Calon Anggota KPI Pusat Ikuti Uji Kelayakan dan Kepatutan

27 ditambah 4 nama calon anggota KPI Pusat periode 2010-2013 yang akan mengikuti fit and propertest (uji kelayakan dan kepatutan) telah dikeluarkan tim seleksi administrasi. Rencananya, uji kelayakan dan kepatutan tersebut akan diselenggarakan secepatnya oleh Komisi I DPR RI.

Ke 31 nama tersebut dimulai dari empat anggota KPI Pusat periode 2007-2010 yakni Amar Ahmad, Yazirwan Uyun, Fetty Fajriati dan Mochamad Riyanto.

Kemudian nama-nama calon lainnya yakni:

1. Bahrul Alam
2. Anita Rahman
3. Iskandar Siahaan
4. Ezki Tri Rezekin
5. Leo Batubara

6. Iswandi Syahputra
7. Abdullah Alamudi
8. Inke Maris
9. Yasmin Muntaz
10. Renaldi Zein

11. Nina Mutmainnah
12. Susanto
13. Bunga C Kejora
14. Fajar Arifianto
15. Samsul Muarif

16. Yudhariksawan
17. Idy Muzzayyad
18. Rommy Febri
19. Azimah
20. Henny Saptatia

21. Nunuk Parwati
22. Sofyan Pulungan
23. Dadang Rahmat
24. Chelsia

25. Hery Wiryawan
26. Syaid Fadhil
27. Gatot Sriyono.

http://www.kpi.go.id/?etats=detail&nid=1890

Mabes Polri Tunggu Hasil dari Dewan Pers

jakarta, kompas - Kepolisian RI menunggu hasil mediasi antara Tv One dan pihaknya terkait pengaduan Polri soal tayangan markus palsu di televisi tersebut. Demikian penjabat sementara Kepala Bidang Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Zulkarnain, Sabtu (10/4).

Sebelumnya, Mabes Polri mengadukan kasus tersebut kepada Dewan Pers secara tertulis. Pengaduan terkait dengan tayangan Tv One mengenai seorang makelar kasus (markus) yang mengaku beroperasi di Mabes Polri dalam acara "Selamat Pagi Indonesia" pada 24 Maret lalu. Belakangan, Andris Ronaldi (37), orang yang mengaku markus, diduga bukan markus yang sebenarnya. Andris ditangkap polisi pekan lalu.

Menurut Zulkarnain, Jumat lalu dia mengecek ke Sekretaris Dewan Pers yang menyatakan, Senin (12/4) akan diadakan mediasi antara Tv One dan Mabes Polri.

"Tentu polisi dalam hal ini harus memanfaatkan lembaga tersebut. Jadi, kami tidak serta-merta menegakkan hukum itu," ujar Zulkarnain.

Polisi akan menggunakan hasil mediasi sebagai bahan evaluasi untuk melangkah lebih lanjut. Ditanya apa langkah Polri jika ada indikasi tayangan itu melanggar UU Pokok Pers dan UU Penyiaran serta mengarah ke pelanggaran pidana, Zulkarnain mengelak menjawab secara tegas. "Kita tunggu dulu dari Dewan Pers," tuturnya.

Merasa dijebak

Sementara itu, Andris Ronaldi alias Andis, pria yang mengaku sebagai markus di tayangan Tv One, mengaku merasa dijebak.

"Seribu persen saya merasa dijebak. Sehari sebelum shooting di Tv One, saya dihubungi untuk bicara soal TKI dan hanya diambil suara saja tanpa di-shooting. Tahu-tahu setiba di studio saya diberi topeng, jaket, dan dikenalkan sebagai makelar kasus di Mabes Polri," ujar Andris di Mabes Polri, Jumat (9/4).

Saat jeda iklan, Andis mengaku diberi pengarahan oleh pembawa acara Indy Rahmawati tentang apa yang harus dijawab dalam talk show tentang makelar kasus di Mabes Polri dalam acara "Selamat Pagi Indonesia" tanggal 24 Maret 2010 itu.

Andis mengatakan, dirinya ditelepon pukul 06.00 hingga pukul 06.40 oleh Indy Rahmawati yang memintanya segera datang ke studio di Wisma Nusantara. Ketika itu, ada anggota Satgas Anti-Mafia Hukum, Denny Indrayana.

Seusai shooting, dia melarikan diri dan berkomunikasi dengan Indy Rahmawati. Indy memintanya untuk sementara waktu "tiarap" dan akan dibela sampai titik darah terakhir oleh Indy.

Menurut Andis, Eksekutif Produser Tv One Alvito Deanova dalam komunikasi teks Blackberry Messenger, "Begitu Anda sudah dibayar Anda sudah tahu risikonya".

Selama buron, Andis mendapati polisi memperlakukan keluarganya dengan baik. Dia akhirnya memilih menyerah ketika polisi mendatangi rumahnya, Selasa (6/4).

Andis menerangkan, dirinya belum pernah masuk Mabes Polri. Sementara, keterangan tentang ruang di sebelah tempat kerja Kapolri yang disebut sebagai tempat markus berkumpul dan membagi uang tidak benar.

Tv One menuntut balik

Jumpa pers Tv One untuk klarifikasi berita rekayasa markus menyatakan menuntut balik Andris. GM News dan Sports Totok Suryanto menegaskan, pihaknya tidak pernah dan tidak akan merekayasa berita. Tv One menilai apa yang disampaikan Andris sebagai fitnah dan pencemaran nama baik mereka.

"Dia sudah pernah tampil dalam beberapa tayangan sebagai markus. Kami sudah verifikasi siapa dia. Sebelum acara juga sudah dilakukan interview. Saya juga tidak pernah mengarahkan," ujar Indy Rahmawati dalam jumpa pers Tv One.

Komisaris Besar Zulkarnain dalam jumpa pers mengatakan, pihaknya belum memanggil personel Tv One terkait tayangan berita markus yang dinilai sebagai rekayasa.

Tayangan televisi yang berisi fitnah kebohongan, menurut undang-undang, dapat dipidana lima tahun atau denda maksimal Rp 10 miliar.

Menurut Zulkarnain, Andris Ronaldi berstatus saksi dan mendapat pendampingan hukum dari tiga pengacara. (ONG/TRI) --http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/11/03360265/mabes.polri.tunggu.hasil.dari.dewan.pers