26 Maret 2009

Internet, Kita, dan Masa Depan

KOMPAS/AMIR SODIKIN
Presentasi Pontus Sonnerstedt, Senior Director Business Development and Indonesia country lead, Yahoo! Souteast Asia (kiri) dan Suresh Subramanian, Deputy Managing Director TNS Indonesia, di Jakarta
.

Jumat, 27 Maret 2009 | Beberapa waktu lalu, Yahoo! dan TNS memublikasikan hasil riset Yahoo!-TNS Net Index tentang kebiasaan pengguna internet. TNS adalah grup yang bergerak dalam bidang pemahaman konsumen dan informasi pasar global di 80 negara, yang industri internetnya tumbuh pesat.

Yahoo! dan TNS mengklaim, riset itu yang pertama di Indonesia untuk studi nan mendalam. Studi ini menarik perhatian sebab mengungkap berbagai hal, terutama kebiasaan dan perilaku berinternet. Metode yang digunakan adalah tatap muka langsung dengan 2.000 responden untuk survei media umum dan 1.021 responden guna survei media internet.

Survei mencakup kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Bandung, Medan, Semarang, Palembang, dan Makassar. Kegiatan ini dikerjakan pada Desember 2008.

Lalu, apa kaitannya dengan MuDAers dan kaum remaja? He-he-he nyadar enggak sih kalau kalian ini sedang menjadi sorotan dalam bidang internet? Dalam bahasa lain, kaum muda dan kebiasaan berinternetnya merupakan informasi penting dan berharga.

Sadar enggak sih kalau kalian itu "aset"? Informasi kebiasaan kalian itu bisa dipelajari oleh berbagai perusahaan yang terkait dunia internet dan pemasaran guna menentukan langkah ekspansi pasar mereka. Apa kaitannya? Kalian adalah masa depan dari banyak perusahaan yang sedang bertarung memperebutkan pengaruhnya itu.

Kalian adalah generasi yang akan memegang kendali satu dekade ke depan, tak hanya untuk bangsa dan negara, tetapi juga kelangsungan berbagai merek atau dalam bahasa vulgarnya, untuk keberlanjutan "jualan berbagai produk".

Sadar enggak sih kalau perilaku kalian itu menarik untuk disurvei serius? Berbagai riset, seminar, dan lokakarya digelar untuk membahas perilaku kalian. Serius amat, ya? Yup, tak sekadar serius dalam penggarapan riset, tapi juga serius dalam menggelontorkan dana untuk memahami karakter dan keinginan kalian itu.

Hasil studi

Sekarang, kita intip bagaimana hasil studi tersebut. Beberapa temuan yang menarik adalah:

1. Sekitar satu dari tiga orang penduduk perkotaan di Indonesia mengakses internet dalam satu bulan terakhir.

2. Penetrasi internet pada segmen penduduk usia 15-29 tahun (ini rentang usia kalian kan?) paling tinggi dibandingkan segmen usia lain, 64 persen dari kalian menggunakan internet dalam satu bulan terakhir. Disusul usia 20-24 tahun sebesar 42 persen, usia 25-29 tahun sebesar 28 persen, usia 30-34 tahun sebesar 16 persen, usia 35-39 tahun sebesar 13 persen, usia 40-44 tahun sebesar 12 persen, dan usia 45-50 tahun sebesar 5 persen.

3. Pengguna internet tidak hanya di kota besar, tetapi juga menyebar di kota-kota lain.

4. Warung internet paling sering digunakan mengakses internet, 83 persen dari pengguna online menggunakan warnet dalam satu bulan terakhir. Disusul akses dari handphone, PDA, dan perangkat mobile lain sebesar 22 persen, dari kantor 19 persen, dari sekolah 17 persen, dan dari rumah 16 persen.

5. Enam dari 10 pengguna internet mengunjungi situs jaringan sosial setiap bulan. Itu benar-benar kalian banget kan?

6. Sebanyak 28 persen masyarakat perkotaan mengakses internet dalam satu bulan terakhir. Enam persen mengakses internet tiap hari.

7. Penggunaan internet yang tinggi tak hanya didominasi Jakarta, tetapi juga merata di banyak kota lain.

8. Aktivitas internet paling sering digunakan bukan untuk membuka berita online atau bertransaksi, melainkan untuk membuka e-mail berbasis web sebesar 59 persen, instant messenger 58 persen, membuka situs jaringan sosial 58 persen, mesin pencari 56 persen, membaca berita online 47 persen. Setelah itu baru untuk keperluan lain. Untuk membuka internet banking hanya 5 persen. Untuk transaksi online? Masih masuk deretan paling akhir, cuma 3 persen.

9. Yahoo adalah layanan e-mail berbasis web yang paling dominan, sedangkan Google dominan untuk mesin pencari. Kalau ini sih tidak usah disurvei, kita udah pada tahu ya?

10. Situs jaringan sosial memang sedang merajai (setuju banget), sebanyak 58 persen mengakses situs jaringan sosial dalam sebulan terakhir. Friendster masih menduduki urutan pertama di Indonesia, bukan Facebook ternyata. (Amir Sodikin)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/27/03024518/internet.kita..dan.masa.depan.

Yandra Tigor, Berat Badan

Salah satu pemeran dalam acara komedi situasi Suami-suami Takut Istri di TransTV, Sumaesi Djaitov Yandra (38), tengah resah. Naiknya popularitas dia justru menyebabkan berat badannya ikut naik sampai 9 kilogram.

Berat badan pemeran tokoh Bang Tigor ini membengkak dari 81 kg menjadi 90 kg. Ini terjadi setelah ia ganti profesi, dari binaragawan menjadi pemain drama.

"Dulu setiap hari aku fitness, kini hanya tiga kali seminggu karena harus shooting tiap hari. Sebagian makanan jadi lemak, sebab frekuensi latihan berkurang. Tapi, aku masih bisa memaksa diri latihan agar berat badan ini tak bengkak sampai 100 kilogram," kata Yandra, yang meraih medali perak cabang binaraga kelas 85 kg pada PON 2000 di Jawa Timur, saat senam aerobik bersama Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto di Taman Monas, Rabu (25/3).

Selain berolahraga, ia juga terus melatih logat Batak demi menjaga perannya sebagai Tigor. Bagi pria yang lahir di Balikpapan, dari ayah Sunda dan ibu Melayu ini, logat Batak harus dilatih terus-menerus demi perannya itu.

Hasilnya? Ia tetap berperan sebagai Tigor sampai 385 episode dari 520 episode Suami-suami Takut Istri. Teman dan tetangganya pun tak lagi memanggilnya "Yandra", tetapi "Tigor".

Ia juga menjadi bintang iklan makanan anak-anak dan produk elektronik. Kini ia juga ditawari main di beberapa acara komedi situasi. (ECA) -- http://cetak.kompas.com/namaperistiwa Jumat, 27 Maret 2009

24 Maret 2009

Peran Media Massa Membaik pada Pemilu 2009

Jakarta, Kompas - Jika dibandingkan dengan Pemilu 2004, Institut Studi Arus Informasi atau ISAI menilai posisi media massa, baik cetak maupun elektronik, jauh membaik dan mampu bersikap lebih netral dalam memberitakan berbagai persoalan yang terjadi seputar pemilu. Bahkan, bisa dikatakan media mampu menjalankan salah satu peran utamanya sebagai "anjing penjaga".

Temuan itu dipaparkan Direktur Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) Dodi Ambardi pada diskusi ISAI, Selasa (24/3) di Jakarta. Diskusi tentang media dan watchdog pemilu itu menampilkan pembicara wartawan senior Kompas Budiarto Shambazy dan Retno Shanti dari Metro TV.

Dalam catatan ISAI, sepanjang Februari 2009 media massa banyak menurunkan berita tentang sosialisasi tata cara memilih (119 berita), kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebanyak 309 berita, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebanyak 73 berita, logistik pemilu (263 berita), dan tahapan pelaksanaan pemilu sebanyak 184 berita.

Sepanjang Maret 2009, ISAI mencatat terdapat 111 berita sosialisasi pemilu, 223 berita tentang logistik pemilu, 270 berita terkait kinerja KPU, dan 54 berita kinerja Bawaslu. Pemantauan dilakukan di 11 surat kabar nasional, dua majalah, dan 11 stasiun TV nasional.

Budiarto menilai, seharusnya media massa bersikap mandiri, ketimbang sekadar bersembunyi di balik ketentuan untuk bersikap netral. Dengan bersikap independen, media massa dapat berpihak dengan berpegangan pada ketentuan harus berada di luar berbagai kepentingan, termasuk politik. (dwa)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/25/05351680/peran.media.massa.membaik.pada..pemilu.2009

Transisi di Asia -Media Tradisional Vs "New Media"

Oleh Myrna Ratna

Naiklah kereta bawah tanah di Tokyo. Sepuluh tahun lalu, hampir sebagian besar penumpangnya, baik tua dan muda, tepekur membaca buku, majalah, surat kabar, dan komik. Kini yang ada di tangan mereka adalah handphone, i-pod, note-book. Inilah generasi paperless….

Media tradisional, khususnya cetak, sedang menghadapi cobaan berat. Kehadiran media baru (new media), seperti internet, telepon genggam, i-pod, radio satelit, dan munculnya sebuah generasi yang berbeda dalam mengonsumsi informasi telah memaksa media cetak untuk berpikir keras menata kembali posisinya agar tetap relevan bagi konsumennya.

Datangnya era jurnalisme warga (citizen journalism) juga memaksa media tradisional mengubah pola pikir sebagai satu- satunya alternatif penyampai "kebenaran". Namun, tantangan terberat berikutnya adalah datangnya krisis ekonomi global. Bagi media cetak, harga kertas impor terus membubung, pemasukan iklan menurun drastis, dukungan distribusi semakin mahal, sementara sirkulasi umumnya stagnan, kalau tidak anjlok.

Bila dianalogikan dengan badai, inilah "badai sempurna" (perfect storm) bagi industri media cetak ketika tiga gelombang menghantam sekaligus. Korban pun berguguran. Bangkrutnya sejumlah surat kabar besar di Amerika Serikat menjadi sinyal yang memilukan. Semua ini memunculkan pertanyaan, akan seperti apakah nasib media tradisional, khususnya media cetak Asia. Yang lebih penting lagi, akan seperti apakah wajah jurnalisme di masa depan.

Inilah salah satu topik hangat yang dibahas dalam Simposium Wartawan Asia yang berlangsung di Tokyo, 18 Maret lalu, yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri Jepang dan disponsori Televisi Publik NHK serta harian Yomiuri Shimbun. Simposium yang bertajuk "Development of Fundamental Values and Journalism: Past, Present and Future, Achievements and Prospects of the Media", itu dihadiri panelis dari India, Korea Selatan, Jepang, dan Indonesia, dengan ketuanya Toshiyuki Sato dari Japan Broadcasting Corporation NHK, serta pembicara utama Dr Isami Takeda dari Universitas Dokkyo.

Di negara-negara Asia yang mayoritas penduduknya sudah akrab dengan teknologi tinggi, seperti Jepang dan Korea Selatan, kekhawatiran bahwa media cetak akan ditinggalkan mulai terasa. Terlebih di Jepang yang senantiasa berkiblat pada fenomena yang terjadi di Barat, walaupun sebetulnya tingkat sirkulasi media cetaknya sampai saat ini masih luar biasa. Oplah Yomiuri Shimbun misalnya, sekitar 10 juta eksemplar. Namun, menurut Editor Senior Yomiuri Shimbun Akira Fujino, saat ini pemasukan iklan untuk media-media cetak di Jepang umumnya turun 10-20 persen.

Tak sederhana

Meski demikian, masa depan media cetak di Asia tak bisa disimpulkan secara sederhana karena masing-masing negara memiliki kondisi sosial sekaligus perjalanan sejarah persnya yang unik. Di Indonesia, misalnya, tantangan industri pers sampai tahun 1998 adalah memperjuangkan kebebasan dirinya. Tonggak kebebasan itu ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.

Media ikut berperan dalam penetapan agenda-setting perjalanan demokrasi di Indonesia. Dan, menjaga apa yang telah diraih dalam proses reformasi, seperti: memberi peran yang lebih besar bagi masyarakat madani, mencegah militer kembali ke panggung politik, menjamin proses checks and balances di antara tiga pilar kekuasaan, menjunjung penegakan hukum dan penghormatan pada HAM—semua itu menjadi prioritas utama pers Indonesia.

Hal yang sama juga terjadi di Korsel dan India. Perjuangan terhadap kebebasan pers di Korsel berpuncak setelah rezim militer tumbang tahun 1992. Sedangkan di India yang sudah lebih lama memiliki tradisi pers yang demokratis, kontribusi media cetak begitu dominan dalam menentukan arah kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, di sejumlah negara di Asia, roh jurnalisme begitu erat dengan pembangunan demokratisasi.

Sehingga, bisa jadi persepsi tentang "ancaman" terhadap industri pers berbeda dari satu negara dengan negara lainnya. Misalnya saja, mengenai penetrasi new media. "Di India, media internet belum mengancam dominasi media cetak. Bahkan, survei nasional mengenai tingkat keterbacaan justru menunjukkan lonjakan signifikan untuk surat kabar-surat kabar India," kata Unni Rajen Shanker, Editor Eksekutif The Indian Express yang berbasis di New Delhi.

Alasannya mungkin lebih kurang sama dengan situasi di Indonesia. Kedua negara ini masih berjuang melawan tingkat buta huruf. Di Indonesia jumlahnya masih sekitar 11 juta orang, dengan usia 15 tahun ke atas. Di India yang penduduknya lebih dari 1 miliar, angkanya lebih tinggi. Tingkat akses terhadap internet di India maupun Indonesia pun masih rendah. Hanya sekitar 25 juta orang di Indonesia saat ini yang memiliki akses terhadap internet atau sekitar 11 persen dari populasi yang berjumlah 228 juta orang. Dengan kata lain, kalaupun saat ini media cetak dan televisi kondisinya sedang "berdarah-darah", hal itu lebih dikarenakan faktor resesi ekonomi.

Meski demikian, tidak berarti tren "going digital" bisa diabaikan. Setidaknya hal itu terekam dari jumlah kunjungan terhadap website Kompas.com yang diluncurkan sejak tahun 1995. Berdasarkan data Februari 2009, setiap bulan situs Kompas.com dikunjungi 66 juta kali, sementara page-view mencapai hampir 200 juta kali. Fakta ini menyiratkan bahwa di masa depan new media akan semakin berperan, dengan partisipasi masyarakat yang semakin besar. Namun, tidak berarti media cetak akan "mati"

Etika jurnalisme

Pengalaman Yeon Ho Oh, CEO dari OhmyNews.com, menarik untuk disimak. OhmyNews adalah media online yang kontributornya atau "reporter"-nya 100 persen pembaca, dan memiliki slogan bahwa warga biasa bisa menjadi reporter, penulis, pencetak, sekaligus pendistribusi berita. Pembiayaan produksinya selain dari iklan juga dari donasi pembaca. Laman ini muncul sebagai "perlawanan" terhadap media arus utama yang dianggap oportunis terhadap pemerintah dan tidak menyampaikan suara rakyat yang sebenarnya. Kehadiran OhmyNews di Korsel memang fenomenal karena menjadi simbol "demokratisasi pers" .

Namun, media berbasis warga maya (netizen) ini belakangan juga sulit melawan hantaman resesi. Pemasukan keuntungan secara konsisten menurun sejak tahun lalu sehingga menuntut manajemennya berpikir keras untuk membangun sebuah model bisnis baru.

Tapi yang lebih mendasar adalah gugatan terhadap produknya. Bagaimana menguji akurasi kebenaran sebuah berita? Bagaimana meyakini bahwa prinsip-prinsip etika jurnalisme tetap dipegang? Apakah pembaca hanya akan disuguhi berita-berita yang hanya ingin mereka dengar dan hanya pro terhadap kepentingan mereka? Bagaimana dengan tingkat kapabilitas "reporter" dalam mengulas persoalan-persoalan khas semacam krisis ekonomi, perubahan iklim, dan konflik hukum?

Kata kuncinya adalah sinergi. Kelemahan di satu media dijembatani oleh media lainnya. Media internet memiliki kelebihan dalam menyuguhkan berita secara "real-time", yang menjadi kebutuhan nyata pelanggan. Bukan hanya itu, pelanggan pun ingin berpartisipasi, ingin bersuara, dan menyatakan pendapatnya. Semua kebutuhan ini bisa difasilitasi dan dieksploitasi oleh media digital yang memiliki space tak terbatas. Muncullah komunitas blogger, forum pembaca, dan sebagainya.

Toh, itu saja tak cukup. Pelanggan pun tetap membutuhkan berita yang memiliki kedalaman dan konteks. Berita yang menjawab semua keingintahuan mereka, dan disajikan secara sistematis, profesional, akurat, dan kredibel. Di sinilah kontribusi media cetak.

Tantangan terberat memang berada di pihak media cetak. Tapi ini bukan hal baru. Ketika era media elektronik (radio dan televisi) hadir dengan kemampuan penyajian berita selama 24 jam, nasib media cetak pernah diramalkan akan "habis". Kini kehadiran new media juga memunculkan ramalan serupa.

Namun yang sering dilupakan di sini adalah cetak, elektronik, ataupun internet hanyalah sarana. Yang jauh lebih penting adalah menjaga spirit jurnalisme. Akurasi, integritas, kredibilitas, keseimbangan, dan profesionalitas adalah roh jurnalisme yang tak akan lekang oleh waktu. Hal itu hanya bisa diperjuangkan oleh para jurnalis yang memiliki etika, kejujuran, dan mau bekerja keras.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/25/04444368/.media.tradisional.vs.new.media

Kecewa Kelapa Gading Square - Hanya Boleh Berlangganan TV Kabelsiar

Kecewa Kelapa Gading Square

Saya merasa tidak nyaman dan kecewa tinggal di Apartemen Kelapa Gading Square (KGS) Grup Agung Podomoro. Kami hanya boleh berlangganan TV Kabelsiar yang berbasis di Central Parabola WTP, Kompleks Alam Sutera, Serpong, Tangerang.

Kualitas gambarnya buruk. Berkali-kali saya meminta agar kualitas gambar diperbaiki. Tak ada perbaikan. Akhirnya saya berhenti berlangganan Kabelsiar dan berniat mencari provider lain. Namun, pengelola KGS City Home tidak memberi izin dengan berbagai alasan dan memaksa saya berlangganan Kabelsiar.

Ketika saya minta pihak keamanan melihat ke atap, ternyata di sana sudah terpasang banyak parabola TV berlangganan lain. Lalu saya berlangganan Indovision. Sebulan kemudian siaran Indovision saya terputus. Saya telepon teknisi Indovision untuk datang memeriksa. Bersama tek- nisi Indovision, saya dan teknisi KGS ikut dalam pemeriksaan. Kabel rupanya diputus oleh orang KGS yang punya akses memasuki ruang kabel.

Masalah lain selama tinggal di KGS: penghuni yang memiliki kendaraan harus membayar parkir mahal, padahal seharusnya parkir sudah menjadi fasilitas penghuni apartemen. Penghuni juga diperlakukan layaknya pengunjung Mall of Indonesia. Meski sudah terpasang stiker, mobil kami harus diperiksa selama Mall of Indonesia buka. Ini membuat antrean panjang di jalan dan bikin macet tak keruan. Pintu masuk ke mal dan apartemen digabung.

Setiap kali kami menghadapi masalah, manajemen selalu tidak pernah ada di tempat dan stafnya selalu saling melempar tanggung jawab. Itulah wajah Agung Podomoro/Agung Sedayu. IRENE FELICIA San Francisco Bay Unit 1003 City Home Kelapa Gading Square, Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/25/04501649/redaksi.yth

iNews dan E-book Selamatkan Koran?

Oleh NINOK LEKSONO

Surutnya era surat kabar di berbagai penjuru dunia telah banyak diwacanakan, antara lain ditandai oleh surutnya pendapatan iklan dan jumlah pelanggan, lebih-lebih dari kalangan muda. Tak bisa disangkal lagi bahwa generasi muda yang juga dikenal sebagai Generasi Digital atau Generation C lebih menyukai peralatan (gadget) untuk mendapatkan informasi.

Menghadapi era transisi atau era baru ini, berbagai pendapat masih saling adu kuat, antara yang masih percaya akan kelangsungan hidup surat kabar dan yang yakin bahwa media yang pernah sangat berpengaruh ini satu hari nanti akan punah.

Hari-hari ini, tokoh besar media seperti Rupert Murdoch berada dalam kebimbangan besar. Sesaat sebelum resesi marak, Murdoch membeli Dow Jones yang menerbitkan koran The Wall Street Journal senilai 5 miliar dollar AS (sekitar Rp 60 triliun). Itu karena Murdoch dikenal sebagai sosok yang punya kelekatan kuat terhadap surat kabar (meski ia juga diakui sebagai mogul multimedia abad ke-21). Tetapi, kini ketika surat kabar mengalami kemunduran paling buruk semenjak Depresi (Besar tahun 1930-an), analis media di Miller Tabak, David Joyce, sempat mendengar dari para investor bahwa News Corp (konglomerasi media milik Murdoch) boleh apa saja, kecuali koran (IHT, 24/2).

Tantangan terhadap media cetak memang sungguh hebat. Orang membandingkan, mengapa media ini tak setahan TV, misalnya. Bahkan, ketika orang sudah banyak menghabiskan waktu di depan layar internet, atau juga di layar video, tidak sedikit pula yang masih terus bertahan di depan layar TV. Sayangnya, dalam pertempuran di antara layar-layar tersebut, media cetak tertinggal di belakang (Print media losing in a world of screens, IHT, 9/2).

Berbagai ide dan upaya telah dilontarkan untuk menyelamatkan surat kabar. Satu problem yang disadari ketika surat kabar masih diharapkan terus menjadi sumber keuntungan adalah bahwa akan ada kesulitan yang melilit. Penjelasan ini bahkan muncul ketika versi online koran sangat berpengaruh seperti The New York Times sudah amat maju, dengan pengakses unik 20 juta. Penyebabnya adalah penghasilan dari online hanya mampu mendukung 20 persen kebutuhan stafnya.

Menghadapi defisit ini, diusulkan ada pengerahan dana abadi (endowment) bagi institusi media cetak sehingga mereka terbebaskan dari kekakuan model bisnis, dan dengan itu media cetak tetap punya tempat permanen di masyarakat sebagaimana kolese dan universitas. (Lihat pandangan David Swensen, Chief Investment Officer di Yale, dan Michael Schmidt, seorang analis finansial, di IHT, 31/1-1/2.)

Dukungan teknologi

Sebelum ini, salah satu pemikiran yang banyak dikemukakan untuk meloloskan media cetak dari kepungan media baru adalah dengan bergerak ke arah multimedia sehingga berita tidak saja disalurkan untuk koran, tetapi juga untuk media lain, dari radio, TV, hingga internet dan mobile/seluler. Ini selaras dengan realitas baru, di mana pencari berita memang dari kalangan pengguna media noncetak dan media baru. Paham pun beranjak dari pembaca (readership) ke audiens. (Ini pada satu sisi juga akan membebaskan pengelola surat kabar dari tekanan meningkatkan oplah yang semakin sulit.)

Dalam kaitan ini pula muncul sejumlah inisiatif yang diharapkan mampu mempertahankan eksistensi surat kabar. Dua di antara inisiatif teknologi yang dimajukan untuk berkembang, dan seiring dengan itu bisa membantu surat kabar, adalah iNews (berita melalui perangkat internet) dan e-book (buku elektronik).

iNews

Sebelum ini, salah satu model bisnis untuk mengangkat industri musik adalah melalui apa yang dilakukan Apple dengan toko musik online-nya yang terkenal, iTunes, yang tahun lalu menjual 2,4 miliar track (lagu).

Yang disediakan oleh Apple kemarin ini adalah antarmuka pengguna yang mudah digunakan dan kerja sama luas dengan perusahaan musik. Dengan itu, petinggi Apple, Steve Jobs, bisa membantu bisnis (industri musik) yang nyaris ambruk akibat maraknya aktivitas bertukar lagu (file sharing). Memang dengan itu Apple dituduh mengerdilkan merek besar. Tetapi, itu tetap ada baiknya karena toh perusahaan musik yang dikerdilkan tadi masih tetap hidup sampai kini.

Pengelola bisnis surat kabar pun bisa waswas bahwa Apple bisa melakukan hal yang sama terhadap mereka. Caranya juga sama, meyakinkan jutaan pembaca yang tertarik, yang selama ini mendapatkan berita secara gratis melalui situs surat kabar—seperti kompas.com—untuk membayar.

Pilihan ini memang tampak lebih ditujukan untuk menyelamatkan institusi pers karena manakala pendapatan merosot, yang terancam bukan hanya perusahaan yang memiliki koran, tetapi juga berita yang dihasilkannya (David Carr, Could an iNews rescue papers?, IHT, 13/1)

Ide mencari bantuan juga dilakukan sejumlah media lain karena jelas "gratis bukan sebuah model (bisnis)". Cook's Illustrated yang punya resep segudang dilanggan oleh 900.000 orang dan ecerannya mencapai 100.000. Selain itu, perusahaan ini punya 260.000 pelanggan online yang membayar 35 dollar AS per tahun. Pertumbuhannya mencapai 30 persen tahun 2008.

Di luar itu, tetap harus diakui, paham gratis masih dominan di dunia maya. Yang piawai tentu Apple, yang bisa membujuk pembeli gadget-nya untuk mau membayar musik yang dibeli. Jobs melihat musik sebagai bisnis perangkat lunak untuk memacu penjualan iPod dan iPhone. Bisnis musik tidak sepenuhnya senang dengan itu, tapi terbukti bisa membujuk pendengar membayar isi (lagu) untuk perangkatnya.

Dengan alam pikir ini pula dipikirkan gadget yang juga bisa diterapkan untuk koran. Misalnya iPod touch yang akan diluncurkan musim gugur tahun ini, dengan ukuran layar 18 sampai 23 cm.

Untuk e-book ada strategi lain. Amazon, yang sebelum ini telah membuat alat pembaca buku elektronik bernama Kindle, belum lama ini mengatakan bahwa selain dengan Kindle, buku elektronik juga akan bisa dibaca dengan smart-phone. Plastic Logic, pembuat alat e-reader lain, kini juga telah membuat persetujuan dengan sejumlah majalah dan surat kabar (The Economist, 14-20/2).

Skenario serupa seperti diuraikan di atas untuk iNews—yakni dengan pembundelan pemasaran antara alat dan isi (content) diharapkan bisa diterapkan—untuk alat-alat pembaca e-book ini. Dengan itu, meski koran dalam wujud tradisionalnya surut, lembaganya diharapkan bisa tetap lestari.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/25/05073081/inews.dan.e-book.selamatkan.koran

23 Maret 2009

Penguasa, Capres, dan "New Media" Oleh Lily Yulianti Farid

Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengumumkan peluncuran blog-nya pada 14 Agustus 2006 dan laporan media menyebutkan partisipasi di online voting blog tersebut melampaui angka 12.000 pada hari pertama. Dan, ketika berita ini tersebar ke seluruh penjuru dunia, banyak yang mengeluh tak bisa mengakses blog tersebut saking padatnya kunjungan warga maya (netizen).

Keputusan tokoh dunia yang kencang mengkritik AS dan Barat ini untuk menyapa dunia melalui blog memang jadi berita kala itu. Ada yang memuji, tapi tak sedikit yang mengkritik, bahkan mencurigai. Aktivis hak asasi manusia (HAM) di Barat yang mengecam kontrol ketat atas media di Iran, termasuk terhadap blogger, mencibir dan mengatakan blog Ahmadinejad itu propaganda terselubung rezim yang dipimpinnya.

Meski tak banyak tulisan yang diposting Ahmadinejad dalam tiga tahun terakhir dan bahkan tak ada artikel sepanjang tahun 2008, ia setidaknya telah menunjukkan upaya komunikasi personal kepada dunia. Blog yang tersaji dalam empat bahasa: Persia, Arab, Inggris, dan Perancis itu diawali dengan biografi panjang. Ketika respons pengunjung memuncak sementara postingannya semakin gersang, Ahmadinejad menjelaskan bahwa ia tetap teguh pada janjinya meluangkan waktu 15 menit per minggu (ya betul, hanya 15 menit per minggu!) memeriksa semua pesan. Ia dibantu sejumlah mahasiswa melakukan tabulasi pesan yang disebutnya sebagai masukan penting yang perlu ditindaklanjuti.

Dengan alokasi waktu yang superminim untuk memelihara blog-nya, pada pengujung tahun 2007, Ahmadinejad mengumumkan bahwa ia memutuskan untuk memanfaatkan waktu itu untuk membaca pesan yang masuk daripada menulis postingan baru. "Semua pesan saya baca, termasuk pesan yang dibuka dengan kalimat: saya tahu bahwa presiden tidak akan membaca pesan ini...."

Blog ini sudah lama tidak diperbarui, tapi Ahmadinejad menangguk untung: pesan tetap terus mengalir dan ia memiliki "kolam ide" berkat komentar dari segala penjuru dunia.

Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat diikuti aktivitasnya di situs www.presidensby.info. Tapi ini media resmi, bukan sebuah kanal komunikasi yang didesain agar sang presiden bisa bercakap-cakap secara lebih personal dengan publik. Yang jadi berita heboh pekan ini justru blog Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sejak Rabu (4/3) mengisi lahan blogger tamu Kompasiana. Postingan pertama berjudul "Assalamu Alaikum", tulisan dua paragraf sebagai salam pembuka, yang langsung disambut riuh komentar pembaca. Beberapa jam sebelumnya, Ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto juga menulis blog di Kompasiana. Postingan pertama Prabowo berjudul "Pengalaman Singkat Saya Bermilis" ditayangkan di laman public blogger. Ia pun juga panen puluhan komentar dan meroket sebagai salah satu tulisan terpopuler.

Menarik perhatian

 

Respons yang tumpah ruah bagi Kalla dan Prabowo bukan hal yang mengejutkan. Pejabat, politisi, dan newsmaker lain yang memutuskan membuat media personal pastilah menarik perhatian. Publik ingin tahu, bagaimana sosok yang selama ini diberitakan, kini mengabarkan diri atau menyajikan pikirannya sendiri. Bagi sang tokoh, membuktikan bahwa tulisan itu karya sendiri adalah tantangan awal untuk menumbuhkan kepercayaan audiens meski tentunya agak sulit meyakinkan audiens bahwa capres dan wapres yang supersibuk bakal punya waktu membaca semua komentar.

Perilaku warga maya, menurut Dan Gillmor dalam We the Media (2004), adalah cerminan rakyat "dunia nyata" yang bila memiliki akses berdialog dengan tokoh publik akan memanfaatkan peluang itu sebaik-baiknya. Yang membedakan, karena rakyat dunia maya adalah audiens yang bisa langsung merespons secara kritis dan menempatkan diri setara dengan siapa saja. Mereka adalah representasi warga yang sadar akan haknya dan tak mudah digiring untuk percaya pada suatu pandangan.

Gelombang New Media tak pelak menuntut perubahan model komunikasi pejabat pemerintah, politisi, korporat, dan media mainstream, empat elemen yang selama ini menguasai kanal informasi dan publikasi. Sekarang ada arus We Media, yakni orang- orang biasa yang aktif bercakap di dunia virtual melalui media alternatif yang mereka ciptakan dan isi sendiri. Topik yang mereka bahas terbentang dari hal terpenting hingga yang paling remeh, termasuk kiprah penguasa dan politisi korup, perusahaan yang menipu konsumen, dan media besar yang kehilangan independensi. Suara warga dunia maya ini begitu kencang.

Pada Pemilu 2009, peran New Media jelas semakin signifikan. Preseden gemilang telah dicatat Barack Obama dalam Pilpres AS, ketika barisan pendukung dan relawan yang direngkuhnya tumbuh pesat berkat Web-based organizing campaigns. Di Tanah Air, politisi ramai-ramai mengikuti jejak Obama, merambah blog dan SNS (social network system), seperti Facebook dan Youtube. Tak cukup beriklan di media mainstream, tim komunikasi caleg dan capres pun terjun ke media alternatif.

Sayangnya, penguasa dan politisi yang terbiasa dirubung staf, banyak yang terlambat menyadari kekuatan media baru ini. Bagi Jusuf Kalla, Prabowo, atau capres lain yang menemui publik lewat blog adalah penting mengingat bahwa netizen memiliki ekspektasi untuk menemukan the real you, sosok yang mendengarkan dan meladeni percakapan yang dinamis dan kritis, tanpa mendelegasikannya. Ini merepotkan, tapi tak mustahil. Meski hanya 15 menit sepekan, seperti yang pernah dilakukan Ahmadinejad.

Lily Yulianti Farid Aktif Mengembangkan Citizen Journalism di www.panyingkul.com

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/24/05094018/penguasa.capres.dan.new.media


Perangi Jurnalistik yang Tidak Etis

JAKARTA, KOMPAS - Dewan Pers berharap masyarakat, terutama pemerintah daerah, di seluruh Indonesia dapat membantu memerangi praktik-praktik jurnalistik tidak etis demi penegakan kemerdekaan pers. Sebab, akhir-akhir ini Dewan Pers menerima sejumlah pengaduan dan keluhan dari berbagai pihak mengenai penyalahgunaan profesi wartawan.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara dalam siaran pers tentang Surat Terbuka Dewan Pers kepada Pemerintah Daerah di Seluruh Indonesia, yang diterima hari Minggu (22/3). "Mereka yang mengaku wartawan itu memeras, memaksa, atau mengancam narasumber," katanya.

Sabam Leo Batubara menjelaskan, pelanggaran etika itu memanfaatkan kemerdekaan pers dengan menyalahgunakan prinsip-prinsip kemerdekaan pers untuk keuntungan atau kepentingan individu. Dengan menyalahgunakan kartu pers, organisasi wartawan, atau institusi pers, sejumlah individu mengidentifikasi diri sebagai "wartawan" untuk mencari keuntungan tidak etis.

Menurut Leo, Dewan Pers tanggal 5 Maret 2008 mengeluarkan pernyataan tentang Praktik Jurnalistik yang Tidak Etis. Pernyataan yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Prof Dr Ichlasul Amal MA memuat empat poin.

Pertama, wartawan wajib menegakkan prinsip-prinsip etika, sesuai dengan kode etik jurnalistik (KEJ). Wartawan tidak melakukan pemaksaan dan klaim sepihak terhadap informasi yang ingin dikonfirmasikan

Kedua, wartawan tidak boleh menerima suap (amplop) dari narasumber. Ketiga, masyarakat berhak menanyakan identitas wartawan dan mengecek kebenaran status media tempatnya bekerja. Masyarakat berhak menolak melayani wartawan.

Keempat, Dewan Pers mengimbau agar komunitas wartawan dan pers bahu-membahu bersama masyarakat memerangi penyalahgunaan profesi wartawan dan melaporkan ke polisi. (NAL)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/23/16520924/perangi.jurnalistik.yang.tidak.etis