21 Desember 2008

Terobosan Teknologi, Antena Wajanbolic dari Bantul

Keterbatasan dana tidak membuat warga Desa Timbulharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, kehilangan akal untuk bisa mengakses internet. Mereka memanfaatkan antena wajanbolic sebagai penangkap jaringan internet. Karena bahannya dari wajan, biaya pun jauh lebih murah.

Berawal dari bantuan internet sebuah lembaga swadaya masyarakat kepada Radio Komunitas Angkringan tahun 2005, para pengelola radio mulai berpikir untuk menyebarkan koneksi tersebut.

"Kami melihat sangat mubazir bila yang mengakses internet hanya pengelola radio. Padahal, masih banyak yang membutuhkan. Banyak pelajar dan mahasiswa yang sering datang ke sekretariat radio hanya untuk mengakses internet," kata Jaswadi, anggota komunitas Angkringan Desa Timbulharjo, awal Desember.

Para pengelola pun berencana menyalurkan internet ke rumah-rumah warga. Awalnya pengelola tidak yakin dengan rencana itu karena biayanya pasti sangat mahal. Untuk membeli antena grid saja dibutuhkan dana Rp 750.000, belum lagi USB wireless dan peralatan pendukung lainnya. Mereka pun patah semangat.

Setelah mendengar informasi seputar teknologi wajanbolic di media cetak dan televisi, niat mereka kembali tergugah. Mereka pun mengumpulkan literatur tentang metode pembuatan wajanbolic. Meski harus melakukan trial and eror berkali-kali, mereka tetap bersemangat.

Pada tahun 2007, akhirnya terciptalah antena wajanbolic pertama dan langsung diujicobakan ke salah satu dusun. Hasilnya sangat memuaskan karena koneksinya sangat lancar.

Antena wajanbolic berfungsi sebagai pengganti antena grid. Artinya, dana bisa ditekan hingga Rp 750.000. Untuk membuat wajanbolic dibutuhkan wajan aluminium atau stainless, pipa pralon diameter sekitar 10 sentimeter, aluminium foil, dan kawat kuningan. Antena tersebut masih harus dilengkapi dengan USB wireless atau radio wireless. "Kalau USB jangkauan koneksi sekitar 15 meter, radio bisa mencapai 100 meter. Harga USB sekitar Rp 450.000, sementara radio Rp 800.000," katanya.

Menurut Jaswadi, sebagian besar yang dipasang di Desa Timbulharjo adalah jenis USB. Dengan teknologi tersebut, rumah-rumah yang letaknya kurang dari 15 meter dari antena tetap bisa memperoleh jaringan internet. Namun, praktik di lapangan, masih jarang rumah di sekitar antena yang memanfaatkan.

Para pengelola berharap antena wajanbolic bisa dimanfaatkan sebanyak mungkin rumah tangga. Pengelola pernah melakukan survei dan diketahui pemilik komputer tiap RT di Timbulharjo sebanyak 2-3 orang. Di desa tersebut ada 150 RT. Jadi, total komputer yang tersedia 300-450 unit.

Untuk tiang penyangga, warga memanfaatkan bambu karena harganya lebih murah. Ketinggian tiang sangat bergantung pada kondisi dusun. Bila lokasinya di daratan rendah, dibutuhkan tiang lebih tinggi. Di desa tersebut panjang tiang rata-rata 10-15 meter.

Dari total 16 dusun di Desa Timbulharjo, kini 13 di antaranya tersambung internet. Sebagian besar pengakses adalah kalangan pelajar, mahasiswa, dan perajin kecil. Pengelola berambisi segera memperluas jaringan internet ke tiga dusun lainnya. Namun karena kendala biaya, ambisi tersebut terpaksa kandas.

Petrus, perajin handicraft yang sudah memanfaatkan koneksi internet wajanbolic, selama setahun mengaku sangat senang dengan kehadiran teknologi tersebut. Awalnya, ia sama sekali tidak memanfaatkan dunia maya untuk membantu usahanya karena kendala biaya.

"Wilayah kami belum terakses Speedy sehingga kalau mau pasang internet terpaksa pakai broadband yang biayanya lebih mahal," katanya.

Setelah ada wajanbolic, Petrus mulai memanfaatkan komunikasi via e-mail untuk menghubungi pembeli. Ia juga menawarkan produk lewat internet. Selain mempermudah pekerjaan, teknologi internet juga menghemat biaya komunikasi. Sebelumnya, Petrus berkomunikasi dengan pembeli menggunakan telepon.

Petrus membayangkan seandainya teknologi wajanbolic tersebut diadopsi untuk desa-desa lain di Kabupaten Bantul, nasib perajin sepertinya pasti akan cukup terbantu. Apalagi di Bantul banyak desa yang menjadi sentra kerajinan, seperti Kasongan, Wukirsari, dan Krebet.

Server internet diletakkan di sekretariat Radio Angkringan di Balai Desa Timbulharjo. Pengelola tak menarik biaya langganan koneksi karena motivasi mereka bukan untuk bisnis, tetapi untuk membantu masyarakat dalam mengakses informasi.

Radio Angkringan dikelola 10 orang pemuda dan pemudi di Desa Timbulharjo. Komunitas tersebut lahir pada tahun 2000 karena latar belakang adanya gejolak sosial di tingkat masyarakat. "Sekitar tahun 1999, di desa kami sering terjadi konflik karena banyak program pemerintah desa yang tidak transparan. Kami pun berusaha menjembatani dengan membentuk komunitas Angkringan," kata Linangkung, anggota komunitas yang juga bekerja sebagai wartawan di salah satu media cetak lokal.

Menurut Linangkung, perhatian pemerintah daerah setempat selama ini sangat minim. Ia berharap ada bantuan peralatan untuk ketiga dusun yang belum tersambung tersebut.

Lewat radio komunitas, komunikasi antarwarga pun terjalin lebih erat. Radio yang mengudara pada frekuensi 107,8 MHz itu siaran pada pukul 19.00-23.00. Waktu siaran sengaja dipilih malam hari karena sebagian besar pengelola adalah pekerja.

"Kalau siang kami semua harus bekerja. Baru malam bisa siaran. Materi siaran biasanya seputar informasi pertanian, pemerintahan desa, dan hiburan," katanya.

Kehadiran teknologi internet seharusnya juga bisa memajukan radio komunitas. Lewat rumah masing-masing, warga bisa mengirimkan informasi via internet. Oleh radio komunitas, informasi itu lalu disebarluaskan saat menyapa pendengarnya. Alangkah mudahnya akses informasi bila hal itu bisa terwujud. (ENY PRIHTIYANI)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/22/02263965/antena.wajanbolic.dari.bantul

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Informasi selenngkapnnya bisa dilihat dalam versi video di Youtube. Bisa diklik disini http://www.youtube.com/watch?v=jjSMieDhQ5I