03 April 2009

Berita Tak Seperti Peluru (Pemilu 2009)

Hasil survei Pemilu 2009 menunjukkan cukup besarnya proporsi pemilih yang berencana memilih partai yang berbeda dibandingkan dengan pilihan mereka pada pemilu sebelumnya. Perubahan pilihan politik semacam ini secara langsung atau tidak langsung terkait dengan peran media massa. Yohanes Krisnawan

Sejak jauh hari, media massa baik cetak maupun elektronik tampak begitu antusias memberitakan berbagai peristiwa hajatan politik nasional pemilu. Harian ini, misalnya, mengalokasikan halaman khusus "Mandat Rakyat". Kemudian harian Seputar Indonesia menampilkan "Road To Pemilu 2009", Media Indonesia memilih "Election Media", dan media cetak lainnya yang menampilkan beragam rubrikasi khusus pemilu.

Media penyiaran seperti stasiun televisi juga tidak ketinggalan. TVRI memiliki program "Siaran Khusus Pemilu", Metro TV punya "Election Update", dan TV One dengan "Kabar Pemilu". Singkatnya, wacana Pemilu 2009 masuk dalam agenda media untuk ditawarkan kepada khalayak ramai sebagai agenda publik. Persoalannya kemudian, seberapa jauh penetrasi media, khususnya terkait dengan pemberitaan pemilu, menyentuh ruang kesadaran para pemilih pemilu kali ini?

Konsumsi media

Berdasarkan hasil survei, terungkap bahwa sekitar tiga perempat bagian responden (76,8 persen) mengaku mengandalkan televisi sebagai sumber informasi tentang Pemilu 2009. Sementara yang menggunakan surat kabar sekitar 6,4 persen dan radio 5,5 persen. Internet masih di bawah 1 persen pengguna. Bagaimana pun, televisi memang media yang paling populer di masyarakat, baik di perkotaan maupun pedesaan. Berbagai acara siaran televisi bukan hanya mudah dan murah untuk diakses oleh segala lapisan masyarakat. Lebih dari itu, menonton televisi sudah menjadi bagian dari rutinitas kegiatan sehari-hari. Baik secara langsung maupun tidak langsung, media massa memiliki pengaruh dalam proses pembentukan sikap politik masyarakat. Apalagi, jika khalayak media menjadikan berbagai informasi tentang kemaslahatan publik melalui media sebagai sumber referensi.

Di sisi lain, pengaruh media dalam membentuk opini publik amat dipengaruhi latar belakang masing-masing individu. Terkait dengan sikap politik dalam pemilu kali ini, setidaknya terdapat dua kelompok responden yang secara umum memiliki karakteristik yang berbeda khususnya dalam pola konsumsi media. Kelompok pertama merupakan kalangan yang mudah berubah dalam pilihan politik atau kalangan yang tidak loyal. Adapun kelompok kedua merupakan kalangan yang tergolong loyal, tidak mudah berubah pilihan politiknya.

Hasil survei menunjukkan, sekitar 61,7 persen responden akan memilih partai yang sama seperti yang mereka pilih pada Pemilu 2004. Kelompok yang tergolong loyal ini bermukim di pedesaan, rata-rata memiliki tingkat pendidikan rendah hingga menengah. Mereka senang menonton televisi, terutama acara yang bersifat hiburan dan jarang mengonsumsi pemberitaan surat kabar. Berbagai acara yang bersifat ringan atau hiburan, seperti infotainment, musik, apalagi sinetron, merupakan tayangan favorit mereka. Demikian pula halnya dengan berbagai macam media luar ruang, seperti spanduk, baliho, bendera, dan poster, mengenai partai politik juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi.

Kondisi berbeda ditunjukkan oleh reponden yang tidak tergolong loyal. Umumnya, kalangan ini bermukim di perkotaan. Dalam mengonsumsi media, misalnya, kelompok ini lebih sering membaca surat kabar. Karakter mereka yang semakin sering membaca surat kabar ternyata lebih tertarik pada jenis informasi atau berita yang mengangkat persoalan publik, dibandingkan minat mereka pada informasi hiburan. Dalam memutuskan pilihan politik pada pemilu, kelompok ini terkesan lebih bebas. Dalam arti tidak terlalu dipengaruhi oleh pandangan pihak lain atau berbagai spanduk, baliho, dan poster-poster yang bertebaran di mana-mana. Pendidikan mereka juga cenderung lebih tinggi daripada mereka yang loyal.

Pengaruh media

Sekalipun bagian terbesar responden, baik di kalangan pemilih loyal maupun tidak loyal, mengonsumsi media massa, hasil survei juga menunjukkan bahwa media bukan faktor dominan yang memengaruhi pilihan politik pemilih. Media massa sebagai salah satu sarana dalam komunikasi politik memang memengaruhi, tetapi bukan satu-satunya faktor yang berperan. Temuan ini menunjukkan, calon pemilih sebagai khalayak media bukan sasaran tembak pesan yang pasif. Mereka menerima informasi dan tidak dengan sendirinya informasi itu menjadi satu-satunya pertimbangan dalam memutuskan partai pilihan. Di samping itu, di tengah berbagai terpaan informasi, para pemilih sangat mungkin melakukan seleksi terhadap informasi yang ingin mereka ketahui.

Suatu berita atau program acara yang tidak menarik minat tidak akan dibaca atau ditonton. Kalaupun tetap dibaca atau ditonton, alih-alih percaya dan setuju, yang keluar justru komentar kritis terhadap peristiwa yang diberitakan atau program yang ditayangkan. Maka, media massa dalam hal ini dipahami berada di antara fungsinya sebagai penyampai pesan, tetapi tak dimungkiri memang bisa memengaruhi pembaca atau pemirsanya.

Menariknya, pilihan politik kalangan yang terbiasa mengonsumsi acara televisi cenderung tidak berubah dibandingkan dengan mereka yang mengonsumsi surat kabar. Kondisi demikian juga terjadi pada sebagian calon pemilih yang belum memutuskan pilihan politiknya (undecided voters). Hal demikian bisa terjadi karena adanya sikap kritis dalam diri mereka terhadap pemilu yang pada akhirnya bisa saja mengambil keputusan untuk tidak memilih. Faktor proses internal, menimbang-nimbang untung-rugi, baik-buruk dalam diri mereka bisa lebih berperan daripada pengaruh pandangan pihak lain.

Berdasarkan hasil survei ini tampak bahwa media tetap memiliki pengaruh sebagian responden. Pengaruh semacam ini nyata terlihat baik pada tingkat pengenalan para pemilih pada partai politik maupun dalam pembentukan sikap politik dalam memilih partai. Hanya saja proses yang terjadi tidak sederhana, ada faktor-faktor lain yang ikut menentukan sikap politik calon pemilih. Dalam hal ini, berita memang tak seperti peluru, yang bila ditembakkan ke sasaran bisa segera ketahuan akibatnya.

(Yohanes Krisnawan/Litbang Kompas)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/04/03190177/berita.tak.seperti.peluru

Partai "Kecil" Menghadang Perubahan Politik

Penyelenggaraan pemilu multipartai sepanjang tahun 1999 hingga 2009 senantiasa membuka kesempatan bagi kekuatan politik non-mainstream untuk memperoleh tempat dalam kontestasi politik. Jika pada era Orde Baru aspirasi politik direduksi ke dalam tiga format politik: agama (PPP), penguasa (Golkar), dan nasionalis (PDI), maka dalam pemilu era Reformasi nyaris tak ada pembatasan ideologi parpol sepanjang tak "bertentangan" dengan Pancasila.

Dalam tiga kali penyelenggaraan pemilu, tercatat jumlah peserta pemilu mengalami pasang surut. Pemilu 1999 diikuti 24 parpol, kemudian Pemilu 2004 diikuti 48 partai, dan Pemilu 2009 bakal diikuti 38 partai (serta enam partai lokal khusus Nanggroe Aceh Darussalam). Meski peserta pemilu tersebar dalam puluhan partai politik, hasil pemilu menunjukkan kekuatan politik dalam dua dekade terakhir relatif mengumpul pada 3-7 partai "mapan". Partai-partai papan atas, meliputi Golkar, PDI-P, dan belakangan diperkirakan Demokrat, turut masuk kelompok ini. Adapun partai "papan tengah" terdiri atas PPP, PAN, PKS, PKB, dan kini diperkirakan masuk pula Gerindra.

Di tengah pergeseran naik turun perolehan suara partai-partai papan atas dan papan tengah, bagaimanakah posisi kekuatan politik partai kecil dan bagaimanakah mereka bertahan?

Hasil survei nasional harian Kompas menunjukkan bahwa kekuatan politik partai-partai kecil/non-mainstream tetap memiliki peluang untuk tetap eksis dalam kancah politik nasional. Salah satu kunci kekuatan partai kecil adalah sifat khas dari partai tersebut yang secara ideologis sulit untuk diakomodasikan oleh partai besar. Ciri khas politik aliran keagamaan, sosialisme, dan "nasionalisme baru" bisa menjadi daya tarik bagi kalangan pemilih yang mencari alternatif di balik maraknya gelontoran ide konvensional parpol mapan.

Sayangnya, untuk bisa menularkan gagasan khas partai kepada pemilih, kekuatan partai politik dalam mengenalkan diri secara intens kepada pemilih menjadi satu titik yang bisa menentukan hidup matinya partai tersebut. Komunikasi politik kepada masyarakat pemilih, termasuk melalui iklan dan pembahasaan jargon politik yang tepat, bisa saja meretas wacana yang didominasi parpol mapan saat ini. Dari analisis terhadap aspek pengenalan partai oleh responden memperlihatkan, kekuatan penetrasi politik partai relatif setara dengan aspek pengenalan mereka.

Partai yang proporsi pengenalannya paling tinggi adalah Golkar yang mencapai 90,3 persen, diikuti oleh PDI-P (85,4 persen) dan Demokrat (72,3 persen). Partai-partai menengah, seperti PKB, PKS, PAN, dan PPP, berkisar pada tingkat pengenalan di bawahnya, 46,0-62,1 persen. Di sisi lain, partai-partai kecil yang diperkirakan harus berjuang menembus electoral treshold Pemilu 2009 dari survei ini rata-rata berada pada tingkat pengenalan di bawah 5 persen bahkan ada yang di bawah 1 persen.

Anomali pengenalan publik hanya diperlihatkan oleh partai Gerindra. Meski baru kali ini tampil dalam pemilu, partai ini langsung menggebrak. Setelah agresif mengenalkan gagasan kerakyatan-militan dan pencitraan kuat melalui berbagai media, skor tingkat pengenalannya mencapai 47,2 persen, setara pengenalan terhadap PKS dan PKB. Sejalan dengan prediksi elektabilitasnya di Pemilu 2009, yang berdasar survei diperkirakan berada dalam kelompok parpol "papan tengah" bersama PKB, PAN, dan PPP.

Pencitraan

Zaman informasi dan teknologi komunikasi turut "mendikte" kekuatan politik di negeri ini. Peran media terlihat cukup dominan dalam menyampaikan gagasan dan membentuk citra partai di tengah masyarakat. Sebaik apa pun visi dan program parpol, tanpa diimbangi dengan teknik pencitraan parpol yang sesuai dengan harapan publik, tampaknya akan berakhir pada gagalnya menaikkan popularitas.

Dari kategori jawaban yang diberikan responden survei, terungkap bahwa ada perbedaan karakteristik serapan informasi antara pemilih partai besar dan pemilih partai kecil. Informasi media yang berpengaruh kepada partai pilihan bagi pemilih partai kecil ternyata relatif lebih kecil daripada informasi yang diserap pemilih partai besar. Artinya dari aspek pengenalan terhadap sosok partai, terbukti partai besar lebih berhasil menanamkan pengenalannya terhadap publik pemilihnya.

Televisi, koran, dan radio merupakan media komunikasi yang paling banyak diakses oleh publik untuk mendapatkan informasi tentang partai politik. Meski demikian, dari ketiga jenis media, terbukti koran (dalam populasi pembaca koran) lebih mampu memengaruhi pilihan politik responden ketimbang televisi dan radio. Televisi, meskipun jauh lebih terakses publik, ternyata masih berhenti pada sarana pengenalan sekilas, tetapi cenderung belum mampu lebih jauh menjadi sarana perubah politik bagi tujuan-tujuan yang lebih lanjut.

Menilik aspek latar belakang domisili responden, tak terlihat perbedaan berarti antara penyerapan aspek informasi dari media bagi responden pemilih pedesaan maupun perkotaan. Artinya, bagi pemilih partai kecil, baik yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan, sama-sama merupakan kelompok yang secara kategori menerima lebih sedikit informasi tentang partai-partai yang bertarung saat ini.

Selain melalui media informasi, penularan gagasan partai kecil yang cukup efektif adalah melalui lingkungan terdekat. Dari beberapa kategori jawaban, pengaruh dari keluarga, melalui saran dan informasi, menjadi salah satu kekuatan membangun basis perolehan suara partai kecil. Dengan kata lain, peran keluarga berpengaruh lebih besar bagi pemilih partai kecil daripada pemilih partai besar. Selain menjadi peluang partai kecil, hal ini sekaligus mengindikasikan kelemahan partai kecil yang masih berkutat dalam perekrutan berbasis kelompok terkecil dan belum merambah massa mengambang yang lebih luas.

Tidak loyal

Secara faktual, partai-partai kecil memang cenderung mengandalkan jaringan atas dasar kategori maupun kelompok tertentu dalam merekrut massa. Ambil contoh Partai Buruh pimpinan Mochtar Pakpahan, membangun jaringan dan mendulang suara dari jaringan perburuhan seperti Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dan suara kaum buruh. Demikian juga partai agama, seperti Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), yang mengambil suara di jalur kaum nahdliyin, termasuk limpahan dari suara pemilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kedua partai ini menjadi contoh militansi partai alternatif yang jatuh bangun dalam pemilu sebelumnya, tetapi tetap berupaya "bangkit", dengan jalan membangun partai baru dengan gagasan yang tetap.

Yang perlu diperhatikan adalah, selain militansi pemilih partai kecil, ada bagian besar pemilih yang cenderung kurang loyal. Dibandingkan pemilih partai besar, ketidakloyalan pemilih partai kecil terindikasi mencapai dua kali lipat lebih. Indikasi ini diperoleh dari perbandingan partai yang yang dipilih dalam Pemilu 2004 dengan pernyataan partai yang bakal dipilih dalam Pemilu 2009 mendatang. Memang hasil survei tidak mampu menjangkau karakteristik loyalitas dalam tubuh masing-masing partai. Bisa saja pemilih dengan karakteristik afiliasi keagamaan atau ketokohan tertentu akan tetap memperoleh "kemujuran". Kemenangan Partai Bulan Bintang di Bangka Belitung, misalnya, sangat mungkin terkait sosok Yusril Ihza Mahendra. Atau lihat pula kemenangan Partai Damai Sejahtera di Poso, bisa jadi terkait dengan imbas terantuknya wilayah dalam konflik komunal.

Pada akhirnya, naik turunnya perolehan suara partai-partai kecil dalam tiga kali pemilu multipartai memang bakal menjadi catatan, sejauh mana daya juang ideologi dan visi alternatif parpol mampu dibahasakan kepada publik pemilih. Di sisi lain, mencerminkan sejauh mana parpol kecil mampu bertahan di empasan angin perubahan politik negeri ini. Sebuah terobosan perubahan mencerahkan yang dinantikan datang dari partai-partai yang kerap dinilai sebelah mata.

(Toto Suryaningtyas/Litbang Kompas)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/04/03183533/partai.kecil.menghadang.perubahan.politik

Tidak ada komentar: