27 Februari 2009

Generasi Televisi Kita

HANDRAWAN NADESUL

Dominasi penyakit orang sekarang lebih lantaran tak tepat memilih gaya hidup. Salah satunya adalah soal pilihan menu. Penyakit degeneratif dan kanker terbukti berkorelasi dengan apa yang kita makan sedari kecil. Itulah sebabnya jantung koroner dan stroke kini menimpa usia lebih muda.

Boleh jadi sebab lidah orang sekarang sudah terbentuk salah selagi masih kecil. Cita rasa dirusak oleh menu restoran dan jajanan (snackaholic) sejak kanak-kanak. Anak sekarang tak menyukai sayur lodeh, tempe, dan pepes jamur di meja makan rumah.

Sungguh celaka kini kita melihat jajanan pabrik sudah merambah kampung dan desa. Di mana-mana anak memilih keripik ketimbang kacang rebus. Ketika kini di Jepang dan orang Barat menjauhi menu olahan serta mencari ubi, labu, bulgur, dan padi-padian alami, masyarakat kita masih gandrung pada ayam goreng dan kerupuk.

Gorengan kita kebanyakan buruk jenis minyaknya dan kerupuk memakai penyedap serta zat warna yang belum tentu layak dikonsumsi.

Gizi "generasi televisi"

Tepat bila menyebut generasi anak sekarang sebagai "generasi televisi". Gizi anak dibangun oleh asupan penganan yang ditawarkan iklan televisi. Belum tentu semua menyehatkan alih- alih bergizi. Yang aman dikonsumsi pun masih perlu dikaji kandungan penyedap dan pemanis buatannya (sweetener).

Tentu tidak semua pemanis buatan aman dikonsumsi. Yang tergolong aman buat orang dewasa belum tentu aman untuk anak. Tabiat serba manis, asin, dan berlemak dari menu jajanan adalah sumber penyakit di hari depan. Namun, sihir iklan makanan televisi mengecoh cita rasa sehat anak kita.

Zat kimia bertambah

Di Amerika Serikat, zat kimia dalam industri makanan terus bertambah. Namun, Food and Drugs Agency (FDA), semacam Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM), di sana ketat melarang dan mengawasi produk yang membahayakan kesehatan.

Sementara itu, industri makanan rumahan begitu menjamur di sini sehingga tidak terjangkau oleh rentang kendali Badan POM sendiri.

Belum terhitung industri makanan yang nakal. Ada yang nekat memakai bahan berbahaya plastik untuk bikin garing gorengan, mencampurkan kimiawi berbahaya untuk minuman cincau, odol palsu, bahan perenyah keripik, zat antilengket mi, selain pengawet yang belum tentu aman dikonsumsi.

Beberapa negara sudah melarang untuk mengonsumsi minyak trans. Hampir semua jajanan, biskuit, penganan yang dijual di pasar memakai minyak yang tak menyehatkan.

Sama tak menyehatkannya dengan minyak goreng bekas restoran yang ditadah oleh penjaja gorengan pinggir jalan.

Orang kaya dan rakyat papa kini sama-sama memikul risiko kanker sebab tak menginsafi bertahun-tahun menelan karsinogen pencetus kanker dalam makanan sehari-hari.

Saus tomat dan sambal murah industri rumahan di ibu kota negara pun masih banyak beredar, apalagi di kampung dan desa. Tiap hari kita menelan zat warna tekstil rhodamine B dalam saus tomat dan sambal murah, atau warna kuning sirop dan limun methylene yellow, berarti bibit kanker tengah ditanamkan.

Belum nitrosamine dalam ikan asin, obat nyamuk antibelatung yang disemprot ke ikan asin, luasnya pemakaian pestisida, kimiawi pengawet kulit apel impor, dan banyak lagi yang tertelan dari air minum, serta jajanan, tak semua terbebas dari zat karsinogen (bersifat menyebabkan kanker).

Ada yang meramalkan, generasi anak sepuluh tahun lalu dan sepuluh tahun di depan bakal berbondong-bondong masuk rumah sakit kanker jika konsumsi menu tercemar karsinogen tidak dihentikan. Termasuk generasi orang tua yang tergoda menukar menu ikan pindang ke bistik. Kelebihan konsumsi daging juga berkorelasi dengan kejadian kanker.

Daripada makanan industri rumah, makanan dan penganan pabrik betul lebih aman, tetapi kelebihan kalori dari minyak, gula, susu, dan mentega (junk food). Adapun makanan buatan rumahan selain belum tentu cukup bergizi dan tak higienis, mungkin tak aman dikonsumsi jika kita melihat zat aditif yang dipilih.

Adalah kewajiban pemerintah menyediakan makanan yang aman bagi masyarakat. Masyarakat berhak dilindungi dari ancaman makanan yang merusak kesehatan.

Ke "meja makan nenek"

Sudah saatnya memberi tahu anak dan masyarakat untuk kembali memilih menu "meja makan nenek". Selain lebih murah, menu makanan itu juga menyehatkan.

Menu tradisional bersifat menu seimbang (slow food). Bahwa yang menyehatkan itu bukanlah bistik, melainkan pepes ikan. Bukan donat atau ayam goreng, melainkan pisang rebus atau tahu dan tempe bacem. Bukan roti putih, melainkan bekatul dan bulgur. Bukan biskuit, melainkan talas rebus. Terigu dan gula pasir tak lebih menyehatkan daripada gandum dan air tebu.

Menu restoran selain bahannya belum tentu segar, umumnya kelebihan kalori dan diimbuhi kimiawi yang belum tentu aman dan menyehatkan.

Sepiring nasi, sepotong ikan, tahu, tempe, dan semangkuk sayur lodeh itu kiprah menu orang yang sadar hidup sehat sekarang ini. Ketika ubi, ketela, sayur dan buah organik, biji-bijian, kacang-kacangan, serta umbi-umbian tersedia di supermarket, berarti komoditas itu yang sedang digandrungi dan dicari orang sekarang.

Ketika aneka lalapan hadir makin beraneka di pasar modern, bukti orang gedongan mulai sadar bahwa pilihan sehat bukanlah menu olahan.

Ketika semakin banyak penyakit sebab tubuh orang sekarang kekurangan enzim, maka orang mengejar sayuran dan buah-buahan segar saja.

Orang meninggalkan menu yang bahan bakunya disimpan lama, atau yang diolah secara berlebihan, atau dengan cara serta alat masak yang berbahaya kandungan bahan logamnya, dan tingkat pengapiannya.

Belum terlambat kampanye menu sehat dan makanan aman di sekolah, selain mendorong peran media massa dan televisi khususnya.

Bahwa kesehatan itu ada di dapur, bukan di restoran. Bahwa meja makan ibu yang menentukan hari depan kesehatan keluarga. Jajanan sehat itu makanan alami yang serba direbus, dikukus, atau disangrai.

Demi tujuan menginvestasi generasi yang sehat, lidah anak perlu disetel ulang. Jangan sampai lagi kita membangun "generasi kerupuk" dan kelompok usia produktif yang pada akhirnya nanti sampai (harus) mati prematur oleh stroke, jantung koroner, dan kanker hanya karena sejak kecil membiarkan mereka salah memilih menu dan jajanan.

HANDRAWAN NADESUL Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan, Penulis Buku

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/00501129/generasi.televisi.kita

Tidak ada komentar: