14 September 2008

TV Aora dan Kisruh Dunia Penyiaran (Opini Djoko Susilo)

Pagi ini Komisi I DPR akan menyelenggarakan rapat kerja dengan Menteri Kominfo Muhammad Nuh. Salah satu agendanya membahas TV berlangganan Aora yang dimiliki mantan Menteri Perdagangan Rini Suwandi dkk.

Minggu lalu komisi I juga sudah mengadakan rapat dengar pendapat dengan MPPI (Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia) , IMLPC (Indonesian Media Law and Press Center), serta melaksanakan rapat kerja dengan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Agendanya sama: membahas izin TV Aora.

Mengapa Komisi I DPR menaruh perhatian besar pada masalah perizinan TV Aora itu? Sebab utamanya ialah diduga terjadi praktik percaloan dan kolusi dalam proses penerbitan izin tersebut. Padahal, pasal 34 UU No 32/2002 tentang Penyiaran sangat tegas melarang jual beli dan pemindahan hak penguasaan atas izin penyiaran.

Selain itu, izin penyiaran hanya boleh diberikan kepada perusahaan yang bergerak hanya di bidang penyiaran. Dengan kata lain, perusahaan media penyiaran tidak boleh bergerak di luar bidang penyiaran.

Dua kesalahan TV Aora adalah, pertama, izinnya diduga diperoleh dari perusahaan lain dengan cara membeli sahamnya dan, kedua, perusahaan PT Karya Megah yang mengelola TV Aora dalam akte notarisnya ternyata bergerak di bidang usaha perdagangan umum, bukan penyiaran.

Izin tetap penyiaran Aora juga diperoleh dalam tempo superkilat, hanya beberapa hari. Jadi, wajar jika ada dugaan terjadi kolusi antara pemilik TV Aora dengan pihak yang berwenang.

Dalam rapat dengan MPPI dan IMLPC pekan lalu, Komisi I DPR sebenarnya mengundang pihak TV Aora. Sayang, seperti surat yang disampaikan Gaby Matuloh -corporate secretary perusahaan tersebut-, alasan ketidakhadiran direksi TV Aora adalah "sedang bepergian ke luar kota".

Tentu alasan tersebut mengecewakan komisi I sehingga ada rencana akan kembali dikirimkan undangan. Tetapi, kali ini akan dicantumkan ketentuan UU No 22/2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Anggota DPR RI/DPD dan DPRD khususnya pasal 30 ayat 4. Isinya setiap orang yang menolak panggilan DPR untuk memberikan keterangan tanpa alasan yang bisa diterima akan bisa disandera badan selama 15 hari.

Tak Perlu Khawatir

Mestinya, direksi Karya Megah tidak perlu khawatir untuk memberikan keterangan di DPR. Mereka cukup menjelaskan bagaimana sampai mendapatkan izin melalui perusahaan lain, padahal dengan permodalan, SDM, dan infrastruktur yang dimilikinya, PT Karya Megah mestinya bisa minta izin siaran berlangganan secara langsung.

Lagi pula, mengingat pasar TV berlangganan masih sangat besar, DPR tentu akan memberikan dukungan. Ini mengingat penetrasi pasar TV berlangganan masih sekitar satu persen dari rumah tangga pemilik TV di Indonesia yang mencapai hampir 30 juta tersebut. Jika dibandingkan dengan Filipina yang market share- nya sudah mencapai sepuluh persen, jelas potensi pasar Indonesia masih sangat menjanjikan.

Menurut dugaan saya, TV Aora jadi bermasalah karena manajemen PT Karya Megah tidak mau repot-repot mengurus izin langsung ke KPI dan Depkominfo. Mereka mau jalan pintas meskipun sebagai sebuah perusahaan yang bermodal cukup, TV Aora berhak mendapatkan izin siaran.

Mentalitas main potong kompas dalam perizinan yang dilakukan manajemen TV Aora yang demikian inilah, yang patut disesalkan. Kalau izin TV Aora diurus dengan benar, tidak muncul kekisruhan seperti sekarang.

Oleh sebab itu, wajar kesimpulan dan rekomendasi komisi I dalam rapat kerjanya dengan KPI Kamis lalu (11/9) memutuskan untuk meminta izin siaran TV Aora dicabut atau dibatalkan.

Memang, ketika saya dan anggota pansus RUU Penyiaran bekerja keras menyelesaikan UU Penyiaran pada 2002, salah satu misi utama kami ialah memberantas percaloan perizinan.

Berkali-kali waktu itu saya mencecar Dirjen Postel yang berwenang mengatur teknis siaran dan frekuensi untuk memastikan posedur yang kita gariskan benar dan tidak menimbulkan KKN.

Persoalan itu menjadi penting karena pada zaman Orde Baru sudah menjadi rahasia umum bahwa sejumlah pejabat atau orang yang punya koneksi dengan pejabat menggunakan posisinya untuk mendapatkan izin, lalu dijual lagi ke pihak lain.

Praktik percaloan izin itu memang sangat marak di zaman tersebut sehingga tekad saya hanya satu: membuat izin siaran hanya diberikan kepada orang yang mampu menggunakannya.

Dengan kata lain, jika seseorang atau satu badan hukum mengajukan izin siaran, jika sudah memperoleh dan tidak mampu memanfaatkannya, harus dikembalikan ke negara. Sebab, penyiaran membutuhkan frekuensi yang merupakan ranah public (public domain).

Tidak tegas

Nyatanya sekarang ini, lantaran tidak tegasnya KPI dan Depkominfo, khususnya Ditjen SKDI, kekacauan dan percaloan di bidang penyiaran masih merajalela.

Hutan belantara penyiaran semakin liar karena tidak ada kemauan politik dari pejabat yang diberi amanah untuk menegakkan aturan. Dengan berbagai dalih, anggota KPI membela diri bahwa mereka sudah maksimal melaksanakan tugasnya.

Meski demikian, anggota komisi I dalam raker dengan KPI tidak bisa menutupi rasa kecewanya karena sampai sekarang pun belum ada tindakan konkret memberantas percaloan di dunia penyiaran.

Demikian pula Depkominfo. Jika mereka mau sungguh-sungguh memberantas percaloan, sangat mudah mengeluarkan peraturan yang mencegah terjadinya percaloan tersebut. Misalnya, dibuat aturan menteri yang melarang pengalihan saham perusahaan penerima izin siaran dalam waktu tertentu. Selain itu, saham yang dijual tidak boleh lebih dari 40 persen sehingga bisa dicegah terjadinya pengalihan hak izin siaran seperti yang dimaksudkan dalam UU Penyiaran.-- Djoko Susilo , anggota Komisi I DPR

http://www.jawapos.com/
Senin, 15 September 2008

Tidak ada komentar: