14 September 2008

Pantauan Program Siaran Ramadan - 802 Tayangan Dianggap Tidak Layak

Sinetron "Assalamu'alaikum Cinta" dianggap kurang memahami tradisi keluarga muslim yang taat.dok.sinemart

[JAKARTA] Kelompok Pemantau Tayangan Ramadan yang terdiri dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Badan Informasi Publik Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), mendapati 802 adegan sarat dengan unsur kekerasan, mistik dan porno. Indosiar, Antv, TransTV, TPI dan Trans 7 menjadi lima stasiun yang terbanyak memuat kekerasan, mistik, dan porno-cabul.

Direktur Kajian Media dan Literasi Televisi, yang juga tergabung dengan Tenaga Ahli Monitoring Televisi Depkominfo, Teguh Imawan, 802 adegan yang ditayangkan di 11 stasiun televisi nasional menampilkan adegan kekerasan psikis.

"Tingkat persentasenya sampai mencapai 59,4 persen. Kemudian disusul kekerasan fisik 23,7 persen, porno-cabul 12 persen dan mistik 5 persen. Padahal pada ramadan tahun 2007, sembilan televisi tercatat, menampilkan 340 adegan yang sama. Hal ini perlu diberi catatan, secara kuantitas meningkat, tetapi kualitas adegan sangat menurun," tuturnya di Jakarta, Jumat (12/9).

Pemantauan dilakukan, kata Teguh, ketika waktu berbuka puasa yaitu antara pukul 17.00-19.00 WIB, karena dinilai jumlah pemirsa naik 35 persen. Begitu pula saat sahur pukul 03.00 -05.00 WIB, yaitu naik 12 kali lipat dan penontonnya adalah anak-anak, yang menjadi 22 kali lipat.

Stasiun televisi yang paling mendapati sorotan adalah Indosiar dengan 148 adegan dengan rating 18,5 persen tampilkan kekerasan psikis, fisik, porno-cabul dan mistik. Sedangkan urutan kedua ada pada Anteve 15, 8 persen dan ketiga Trans TV 12 persen. Pada urutan terakhir adalah Metro TV 0,6 persen.

Sementara itu, acara yang paling banyak disorot adalah program Saur Prise. Acara itu dinilai banyak umpatan, makian yang melecehkan serta kuis-kuis dengan pertanyaan dangkal yang tidak ada nilai edukasinya. Hal demikian dianggap suatu pembodohan publik.

"Apalagi disertai dengan adanya adegan anak-anak yang bermain petasan yang dianggap berbahaya dan perlakuan kurang ajar terhadap orang tua. Komedi reality show itu diperankan Eko, Parto, Gogon dan Tesy. Begitu juga dengan sinetron Assalamu'alaikum Cinta yang tidak relevan. Sinetron itu menggambarkan pemahaman kurang mendalam tentang tradisi keluarga muslim yang taat," tandas Teguh.

Di lain pihak, saat SP akan mengkonfirmasi ke humas stasiun televisi, sulit untuk dihubungi.

Penyiaran adegan kekerasan atau kecelakaan harus mengikuti ketentuan, yaitu tidak boleh disajikan secara eksplisit berlebihan dan vulgar. Pertunjukan pemukulan yang bertubi-tubi adalah bagian dari kekerasan yang tidak boleh ditampilkan.

Menurut UU Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) pasal 30 menyatakan, lembaga penyiaran harus memperhatikan keseimbangan, antara kebutuhan untuk memperlihatkan realitas dengan pertimbangan akan efek negatif yang ditimbulkan.

Sanksi Lanjutan

Senada dengan itu, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Fetty Fajriati, menegaskan apabila stasiun televisi tersebut tetap menayangkan tayangan kekerasan, seks dan mistik yang sebelumnya sudah mendapat teguran, tetapi tidak ada respons yang baik dan perubahan, maka kami melakukan pengurangan durasi, pemberhentian sementara, atau penghapusan.

Fetty juga melarang tayangan yang menampilkan sifat kebanci-bancian. Begitu pula pada banci yang mengalami kelainan, bukan laki-laki sesungguhnya (gender identity disorder), menggunakan kostum perempuan, untuk mencari uang dengan tampil di televisi. Mereka semua mendapat perlakuan yang sama.

"Tayangan seperti itu sebenarnya melecehkan banci, karena mereka digambarkan sebagai penjual seks, tukang ngamen atau orang jahat. Hal itu semakin merendahkan kaum waria itu sendiri," kata Fetty.

Pada dasarnya, ungkap Fetty, hal itu menjadi pergulatan jiwa seseorang yang memiliki bakat menjadi banci. Berdasarkan masukkan yang diterima KPI dari para psikolog, bahwa tayangan tersebut sebenarnya meresahkan mereka sendiri.

"Dengan adanya tayangan kebanci-bancian, mereka yang memang memiliki kelainan, akan semakin menjadi bingung dalam menentukan sikap. Sementara, tuntutan masyarakat luas, menginginkan yang sebenarnya. Apabila laki-laki, ya diarahkan seperti laki-laki tulen, jangan berperilaku seperti perempuan. Jangan pula menjadikan mereka semakin tidak punya arah yang jelas, dengan memberi masukan yang tidak pasti," tuturnya

Fetty khawatir kepada usia anak-anak dan remaja, yang masih belum mempunyai kearifan untuk menentukan jalan hidup. Sementara mereka masih dituntun orang tua yang menginginkan terbaik bagi anaknya. Begitu juga dengan orang yang bertubuh kecil (cebol) dan latah. Hal demikian tidak seharusnya menjadi ajang eksploitasi untuk mengambil untung yang sebesar-besarnya.

"Kami selalu memantau tayangan televisi, khususnya pada waktu prime time yang dianggap rawan, dimana anak-anak biasanya masih menonton pada pukul 18.00-22.00. Hal ini menjadi fokus kami pada perlindungan anak-anak," jelasnya.

UU sebagai Acuan

Fetty juga menambahkan UU P3 dan SPS, memang diakui belum memuat sanksi secara tegas, hukuman apa yang diberikan. Nantinya hal itu akan dikembangkan dengan melihat setahun ke depan, bagaimana baiknya. Stasiun televisi sudah bisa menggunakan UU tersebut sebagai acuan, untuk membuat program-program tayangan yang layak.

Pihak KPI memberikan apresiasi, berupa surat pernyataan terima kasih atas perbaikan-perbaikan dan adanya program-program yang sudah sesuai dengan pedoman perilaku dan standar penyiaran KPI, yang dilakukan oleh pihak stasiun televisi.

Terkait hal itu, Ketua Komisi Informasi Komunikasi MUI, Said Budairy menuturkan sebaiknya acara Ramadan dapat memberikan pelajaran yang berguna dan pencerahan bagi masyarakat. [HDS/U-5]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/09/13/index.html

Tidak ada komentar: