12 Juni 2008

'Pers Harus Kembangkan Jurnalisme Damai'

Jurnalisme damai memberikan tidak hanya peristiwa tapi solusi

Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) mengharapkan pers nasional ke depan mengembangkan jurnalisme damai (peace journalism) dalam memberitakan berbagai peristiwa yang terjadi di Tanah Air.

''Sebaiknya, pers nasional jangan hanya mengembangkan war journalism, seperti peristiwa kekerasan atau bentrokan antarmassa,'' kata Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Media Massa, Henry Subiakto, dalam diskusi '10 Tahun Pers Mengawal Reformasi' yang diselenggarakan PWI Jaya di Jakarta, Kamis (12/6).

Selain Henry, pembicara lain dalam diskusi tersebut adalah Ketua Komisi I DPR RI, Theo L Sambuaga, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Tarman Azzam, dan Ketua Dewan Pers, Ichlasul Amal. Hadir pula dalam acara itu Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, serta sejumlah aktivis pers, seperti Asro Kamal Rokan, Parni Hadi, dan Ja'far Assegaf.

Menurut Henry, war journalism atau jurnalisme perang cenderung membesar-besarkan arena konflik dan efek kekerasan yang tampak, sehingga dikhawatirkan akan memunculkan semangat saling bermusuhan. Sedangkan jurnalisme damai, katanya, berupaya memetakan konflik untuk memunculkan solusi, bukan hanya terfokus di arena konflik.

Prinsip jurnalisme damai, lanjutnya, cenderung menonjolkan efek yang tidak tampak, seperti penderitaan kemanusiaan, trauma psikologis korban, penderitaan kemanusiaan, dan hilangnya masa depan. Prinsip jurnalisme damai, lanjut dia, berupaya mengungkapkan fakta secara lengkap dan memetakan konflik untuk memunculkan solusi, bukan hanya terfokus pada arena konflik.

Sementara itu, Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal mengatakan, jurnalisme damai agak sulit dikembangkan karena pada umumnya pemberitaan media massa cenderung untuk memenuhi kebutuhan pelanggan atau pembaca. ''Saya khawatir jika 'peace journalism' ini diterapkan, akan banyak media massa yang mati karena memang yang disukai masyarakat saat ini adalah berita-berita yang 'war journalism','' katanya.

Sedangkan, Ketua Komisi I DPR, Theo Sambuaga, mengingatkan media massa untuk tidak memuat berita atau informasi yang memicu kekerasan, disintegrasi bangsa, menyesatkan, dan membodohi masyarakat. Di sisi lain, Theo juga meminta agar kalangan pers siap menghadapi tuntutan hukum bila terjadi dugaan pelanggaran hukum sesuai aturan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dari Palembang dilaporkan, Dewan Pers mengungkap upaya mewujudkan kerja sama dengan Polri dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap wartawan, masih belum bisa diwujudkan. Anggota Dewan Pers, Wikrama I Abidin, pada acara 'Peliputan Pilkada bagi Jurnalis' di Palembang, Kamis (12/6), mengungkapkan sudah beberapa kali mempertanyakan realisasi nasib kerja sama tersebut ke Kapolri, namun belum direspons. ''Kesepakatan dengan Kapolri Jenderal Sutanto telah dilakukan pada November 2007, namun sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya,'' katanya.

Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, meminta kepada jurnalis tetap berani melakukan tugas-tugasnya sepanjang itu menyangkut kebenaran. ''Jangan takut wartawan untuk menulisnya.'' Leo Batubara juga memperingatkan bahwa aparat hukum di Indonesia masih menganggap semua masalah hukum harus diselesaikan lewat KUHP. oed/ant

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=337479&kat_id=6

Tidak ada komentar: