02 Juni 2008

Pengalaman di Balik Panggung Pentas Musik Kelas Dunia

Pengalaman di Balik Panggung Pentas Musik Kelas Dunia (1)
Hanya Empat Tahun, Hadirkan Lebih Seribu Musisi

[http://www.jawapos.com/ Senin, 02 Juni 2008 ]  - Di tengah banyaknya travel warning bagi orang asing, banyak musikus kelas dunia yang justru berdatangan ke tanah air. Adrie Subono dan Peter F. Gonta adalah dua promotor yang membuat Jakarta -bersaing dengan Singapura dan Kuala Lumpur- menjadi tempat konser favorit di Asia.

SUGENG SULAKSONO, Jakarta

------

MEJA kerja berukuran segi empat di ruang tengah kantor Peter F. Gontha dipenuhi tumpukan compact disk (CD) musik. Jumlahnya ratusan. Awalnya Jawa Pos mengira itu koleksinya. "Itu kiriman orang. Musisi-musisi dari luar, mulai Turki, Libya, sampai Saudi Arabia juga ada," kata Gontha saat ditemui di kantornya, kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, Sabtu (31/05) pagi.

CD musik itu rata-rata diberikan oleh manajer artisnya itu sendiri atau label yang bersangkutan. Utamanya, agar didengar lalu diajak bermain di Java Jazz Festival tahun depan. "Sekarang memang mudah. Banyak yang menawarkan. Bahkan Kenny G sudah menawarkan diri," katanya dengan bangga.

Java Jazz Festival yang dilahirkan Gontha pada 2004 memang sudah menjadi salah satu even jazz terbesar di dunia. Sekitar 400 musisi luar negeri setiap tahunnya didatangkan. Total, kata Peter, sampai saat ini sudah lebih dari 1000 musisi asing yang mampir. "Itu bukan hanya artis utama, termasuk musisi pendukungnya," jelasnya.

Java Jazz Festival 2008 yang berlangsung Maret lalu mendatangkan 56 grup musik dari berbagai negara. Panitia mendirikan 19 panggung dan 80 kali show setiap hari dalam tiga hari pertunjukan. Total, ada 1500 musisi pendukung dari dalam dan luar negeri yang turut menyukseskan even itu.

Gontha bangga even itu membuat Wakil Presiden Jusuf Kalla penasaran sehingga datang berkunjung. Kepada wapres, Gontha berpesan agar tidak perlu datang. Pengaturannya repot. "Nggak tahu bagaimana akhirnya datang juga. 'Hei Peter Gontha bagaimana baik-baik kan? Saya mau lihat ini ramai anak muda ya? Orang bilang negara kita susah, orang bilang kita negara teror, kok ini ramai ya?" kata Peter menirukan Jusuf Kalla.

Pria kelahiran Semarang, 4 Mei 1948, itu mengakui biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Meski di tahun pertama dan kedua terus merugi, mulai tahun ketiga mulai menuai keuntungan. "Kerugian itu investasi. Dan investasi kita tidak sia-sia. Turn over kita, di Java Jazz, setiap tahun sekitar Rp 45 miliar lho. Padahal cuma buat operasi tiga hari," ungkap Gontha yang menjabat sebagai ketua Asosiasi Jazz Asia itu.

Pada 2004, meski rugi besar, tetap ada catatan sukses. Salah satunya mendatangkan musisi hebat, James Brown. Kata Gontha, Brown adalah penyanyi yang legendaris. Meski tidak banyak remaja Indonesia yang mengenalnya, dia tetap berkomitmen untuk mendatangkan penyanyi berkulit hitam itu. "Dia itu kan sebetulnya preman, jadi asal dibayar dia datang," ucapnya.

Brown akhirnya bersedia datang dengan membawa 22 orang kru, minta penerbangan kelas utama semua, dan sederet permintaan yang lain. "Minta pengawal, minta pakai mobil saya karena Mercy. Dan tidur mau di American hotel," kenang Peter.

Setiba di Indonesia, bukan hanya wartawan yang ingin berjumpa. Di luar dugaan, Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta minta bertemu dan akhirnya diberikan akses oleh Peter. "Sejak saat itu Kedubes AS support kita," imbuhnya.

Beruntung, karena pada dasarnya preman, kata Gontha, begitu sampai di Indonesia, James lupa dengan segala permintaan sebelumnya. Alih-alih pengamanan ketat yang tertutup, dia malah jalan-jalan di kawasan Sarinah. Bahkan meminta agar para pengawalnya tidak terlalu dekat mengawal.

Menurut Gontha, musisi kelas dunia adalah duta-duta yang termurah. Karena mereka bisa menjadi orang-orang yang mempromosikan Indonesia di luar negeri. Syaratnya, mereka harus merasa nyaman di negeri ini. "Tapi, ya ada juga yang komplain. Biasalah, urusan panggung, alat, atau apa," kelitnya.

Gontha mengaku punya banyak trik untuk mendatangkan dan menjamu musisi asing di Indonesia. Misalnya, tim even organizer (EO) yang mendampingi musisi aing itu melibatkan cewek-cewek yang masih muda, baik-baik, dan kerja keras.

Ada lagi kejadian yang menarik. Pada saat Java Jazz Festival 2007, Jamie Cullum, penyanyi Inggris, datang ke Jakarta ditemani para EO bergadang sampai pagi di Embassy (sebuah diskotik di Jakarta) saking senangnya. "Bangun jam lima sore, jam sembilan malam baru dia main (Java Jazz Festival)," kata Gontha.

Berkat kepiawaiannya menyelenggarakan Java Jazz Festival, tidak salah jika baru-baru ini Gontha mendapat penghargaan dari majalah Rolling Stone sebagai The Show Master. "Saya pikir apa pantas? Jadi salah tingkah juga saya, ge-er," katanya merendah.

Pada 2009, Gontha yakin Java Jazz Festival akan lebih meriah. Gontha sudah membuat program bagi warga Amerika Serikat. Yakni paket datang ke Indonesia untuk menonton Java Jazz sekaligus liburan ke Bali. "Kita akan buat semacam Makkah-nya jazz itu di Indonesia. Kalau orang pergi haji ke Makkah, kalau mau nonton jazz ke Indonesia," kelakarnya.

Untuk merealisasikannya tidak akan sulit. Sebab, Gontha yang juga punya rumah tinggal di Amerika Serikat sudah beberapa tahun ini menggelar even festival musik. "Banyak artis dan musisi datang. Dan saat mereka datang, saya promosi Java Jazz Festival lewat pemutaran video," terangnya.

Selain itu, kata Gontha, tahun depan, pameran musik yang rutin digelar di Singapura akan pindah ke Jakarta bersamaan dengan Java Jazz Festival. "Karena mereka lihat, bahwa (Java Jazz Festival) ini ramai. Banyak penonton datang dari Burma, Singapura, Malaysia, Australia. Sehingga mereka melihat pasar besar di Indonesia," katanya.

Hambatan terbesar Gontha mendatangkan lebih banyak musisi jazz hebat ke Indonesia adalah pada 2005, sebagai dampak tsunami di Aceh yang terjadi akhir Desember 2004.

Menurut Gontha, dunia internasional memandang Indonesia sebagai negeri yang belum pulih dari bencana. Belum lagi marak bom, flu burung, dan travel warning. "Akhirnya saya keliling, tinggal di Amerika, bilang ke orang-orang. Kalau nggak datang ke Indonesia, nggak apa-apa, memang negara kita ekstrem, bom kiri, bom kanan. Jangan datang, negara kita negara ekstrem," tegas Peter.

Tapi, lanjut dia, dirinya juga usul dan memberi peringatan. Bahwa juga jangan pergi ke Spanyol, karena di sana juga ada bom kereta api. Jangan ke London, karena di London juga orang punya bom. Jangan juga ke Tokyo, karena ada gas beracun. Juga jangan ke New York karena di sana banyak orang mati ditembak di jalanan oleh gangster.

Gontha mengakui, para musisi dan agen artis, menganggapnya sedang emosi. Padahal, katanya, saat itu dirinya sedang melancarkan promosi negara dengan cara anti promosi. "Setelah melakukan anti-promote your country orang jadi mikir. Akhirnya mereka pada datang juga," katanya seraya tersenyum. (el)


Pengalaman di Balik Panggung Pentas Musik Kelas Dunia (2-Habis)
Kiat Eksis, Anggap Konser Rugi Ongkos Belajar

Menjadi promotor musik yang bergaul dengan musisi kelas dunia harus siap menghadapi permintaan yang aneh-aneh. Tidak hanya soal tata panggung, tapi juga selera makanan.

SUGENG SULAKSONO, Jakarta

-------

DINDING di sekitar ruang utama kantor Java Musikindo di Plaza Mutiara, Kuningan, Jakarta, tampak dipenuhi poster berbingkai. Isinya gambar para musikus luar negeri dari berbagai negara yang pernah konser di Indonesia. Ada Arkarna (Inggris), Ash (Irlandia) Westlife (Irlandia), Las Ketchup (Spanyol), dan lain-lain.

Di salah satu ruangan, duduk Adrie Nurmianto Subono. Dia memakai kaus kebanggaannya, topi dan baju warna hitam dengan logo Java Musikindo kebanggaannya.

Sudah sejak 1994 Java Musikindo didirikan dan menghadirkan musisi berkelas: Mr Big (Amerika) 1996, Alanis Morissette (Kanada) 1996, Foo Fighter (Amerika) 1996, Frente (Australia) 1997, Boyzone (Inggris) 1997, Ronan Keating (Irlandia), The Cranberries (Inggris) 2002, serta The Corrs (Irlandia) 2001.

Demikian pula, sang diva Mariah Carey serta musikus unik Bjork. Yang baru pada akhir Mei lalu, James Blunt juga berhasil didatangkan oleh sang promotor para penikmat musik di Indonesia tersebut. ''Promotor itu apa sih? Itu kan bahasa Inggris. Bahasa kitanya, bahasa kampungnya itu panitia!'' ujar pria kelahiran Jakarta, 11 Januari 1954, itu berkelakar.

Adrie lantas bercerita tentang awal mula karirnya di bisnis pertunjukan musik pada 1994 . Saat itu, menjadi promotor konser terlihat seperti ladang bisnis baru. Belum banyak orang yang menekuni secara serius. ''Jadi, sejak dulu sampai sekarang, motivasinya sama, cari duit. Bisnis!'' tegasnya.

Dunia musik, kata dia, bukan sekadar dunia rekaman, tapi juga dunia pertunjukan. Menurut dia, terbukti sekarang para musikus lebih banyak mencari uang dari pertunjukan daripada dari kaset rekamannya. ''Tapi, rekaman juga harus supaya dibikinin show-nya oleh penyelenggara,'' jelasnya.

Dengan tekad kuat, tanpa modal teori maupun pengalaman, Adrie memulai bisnis baru. ''Kesulitannya kayak kita pertama masuk ke hutan saja. Bikin konsep itu tidak mudah. Mulai cari gedung, mengurus ribuan penonton, bikin supaya konser aman, urus perizinan, urus media, itu kan sulit,'' ungkap ayah penyanyi Melanie Subono tersebut.

Dia tidak tahu harus cari ilmunya ke mana. Tidak ada sekolah yang mengajarkan ilmu kepromotoran. Bukunya pun tidak ada. ''Jadi, yang kami lakukan gelap. Tapi, di depan ada cahaya kecil, satu titik. Dan kalau saya fokus mengerjakannya, mudah-mudahan lampu itu jadi besar. Artinya, ada harapan. Alhamdulillah, sekarang sudah terang, tinggal menikmati hasil,'' kata pria yang gemar bercanda itu.

Pada tahun pertama, ada band asal Amerika, Saigon Kick, yang lumayan dikenal berminat datang ke Indonesia. Dulu, penonton lebih semrawut daripada sekarang. Dulu, kata Adrie, media juga lebih kacau balau (meliput konser) daripada hari ini.

''Sekarang, semua sudah tahu tata tertib nonton itu bagaimana, tata tertib media kayak gimana. Padahal, awalnya tidak ada yang mengerti. Gua juga kagak ngarti,'' ujarnya.

Hasilnya, meski konser berlangsung lancar, Java Musikindo rugi. Berbagai kesalahan mulai diketahui. Mulai pemilihan gedung yang salah, penjualan tiket, lemahnya promosi, dan sebagainya. ''Rugi besar,'' tegas suami Crisje Fransz Subono itu.

Meski begitu, kerugian tidak membuat jera. Sebaliknya, kerugian tersebut dianggap sebagai ongkos belajar. ''Orang saya belajar. Kita sekolah saja sampai universitas kan terus rugi. Tapi, setelah jadi sarjana, sampai bekerja, itu saatnya meraup keuntungan. Saya nggak pernah anggap itu kerugian,'' katanya.

Menurut Adrie, semua itu memang ongkos memulai bisnis baru yang referensinya masih minim. ''Kalau waktu itu tidak punya modal nekat, tidak ada fighting spirit, mendingan dagang hamburger saja sejak dulu,'' ungkapnya.

Tapi, dia yakin, bisnisnya tersebut tidak akan ada matinya. Seyakin bahwa musisi luar tidak mungkin datang sendiri ke Indonesia untuk menggelar konser sendiri, pasang panggung sendiri, jual tiket sendiri, dan promosi sendiri. ''Tidak mungkin. Buang-buang duit dan tenaga. Pasti membutuhkan panitia lokal,'' tegasnya.

Sebelum ada orang yang menekuni bisnis promotor seperti dirinya, kata Adrie, Indonesia tidak sesering sekarang menjadi tempat konser musisi mancanegara. Sebab, dulu promotornya masih langka. ''Saat itu mungkin dua tahun sekali. Kita dilompati. Dari Singapura langsung ke Australia, atau Manila, atau Kuala Lumpur. Padahal, saat itu kondisi negara kita aman lho. Kita ramai-ramainya mendapat travel warning sejak 1998,'' jelasnya.

Dengan berbagai pertimbangan itu, Adrie semakin mantap menjadi promotor. Pada 1994, dia mulai alih profesi, termasuk menanggalkan kerapian pakaian kerja sebelumnya. ''Sebelumnya, saya sudah berbisnis 23 tahun, selalu pakai dasi lah. Saya dagang macam-macam, mulai kapal sampai properti,'' ungkapnya.

Ungkapan bahwa bisnis itu akan bagus setelah terbentur kesalahan ternyata terbukti. Adrie merasa kesalahan mengelola konser pertamanya menjadi suatu pembelajaran. Dengan tekad memperbaiki kesalahan ditambah kerja keras, dia mulai menemukan jalan. Para musikus hebat mulai didatangkan dan semua akhirnya berjalan lancar.

Dia mengakui, salah satu kunci sukses mendatangkan musisi mancanegara adalah mampu memenuhi riders alias permintaan para musikus yang tampil.

Menurut Adrie, riders itu terbagi dua, riders artis dan production riders. Yang masuk kategori kedua adalah kebutuhan konser mulai besar dan tingginya panggung, tata lampu, serta kapasitas listrik. ''Termasuk, ada tangganya di atas panggung seperti yang diminta Mariah Carey,'' jelas bapak tiga anak, Melanie, Adrian, dan Christy, tersebut.

Ketika Mariah Carey datang ke Indonesia pada 2004, penyanyi seksi itu memang meminta agar di tengah-tengah panggung ada sebuah tangga besar untuk dilangkahi saat pertunjukan. ''Dia bilang, itu bukan sesuatu yang tidak bisa kita bikin. Akhirnya kami buatkan. Kami bikin,'' ujarnya.

Ongkos pembuatan tangga itu saja memakan biaya sekitar Rp 50 juta, dibuat dalam waktu beberapa hari. ''Dipakai nggak sampai lima menit, yang mengangkut 20 orang, habis itu sekarang ngejogrok (terbengkalai, Red). Tapi, untung semua itu sudah kami perhitungkan ke dalam ongkos,'' ungkapnya.

Pengalaman menarik lain adalah saat mendatangkan grup rock Saosin. Mereka meminta makanan ekstrem. Para personel band itu akhirnya dibawa ke sebuah tempat di Jakarta untuk makan daging ular kobra dan otak kera. ''Ya kadang-kadang nyebelin. Tapi, kami pikir mereka juga ingin nyaman datang ke Indonesia. Apalagi, mereka juga mau kerja. Takutnya kan kalau kita suguhi ketoprak sama rujak bebek, malah mulas nanti,'' katanya bercanda.

Bicara soal riders itu, kata Adrie, seperti sudah ketentuan. Tidak semua bisa dipenuhi. Terlebih, rata-rata riders yang diajukan itu berbentuk proposal setebal 30 halaman. ''Kalau dia minta sesuatu yang nggak ada di Indonesia, mulai merek lampu, minuman, makanan, alat, kami bilang tidak bisa. Kalau impor, kemahalan. Selama ada di Indonesia, kami sediakan. Selama tidak berlebihan,'' jelasnya.

Sampai saat ini, Adrie atas nama Java Musikindo sudah mengadakan sekitar 60 konser dari 70 musikus. Pada 2008, sampai Agustus nanti, sudah 10 artis yang tanda tangan kontrak.

Ada delapan karyawan tetap yang bekerja di balik layar bersama Adrie di Java Musikindo. Sisanya, terutama saat pertunjukan, adalah tenaga lepas yang dipekerjakan sewaktu-waktu.

Sudah 14 tahun melobi musisi mancanegara datang ke Indonesia, seperti apa rasanya? ''Kalau ditanya apakah saya mulai bosan, saya bilang iya. Tapi, kebosanan itu normal karena saya sudah 15 tahun,'' ujarnya.

Menurut Adrie, memang kadang ada kejenuhan, tapi bukan berarti dirinya akan berhenti. ''Pekerjaan ini tetap seru kok. Dikerumuni sama artis-artis, siapa yang nggak mau?'' kata Adrie yang sedang menyiapkan pentas musik di Senayan, Jakarta, 31 Juli dan awal Agustus 2008. (el)

Tidak ada komentar: