Media massa, elektronik, maupun cetak menjadi sarana komunikasi yang sangat efektif saat ini. Sejumlah hasil riset membuktikan, iklan yang paling banyak direspons publik adalah yang ditayangkan di televisi. Maka, wajar banyak politisi yang berlomba-lomba mengiklankan diri, terutama di televisi. Melihat fenomena booming iklan para politisi, banyak pihak yang secara sinis mengatakan bahwa seorang pemimpin tidak dilahirkan dari iklan. Pernyataan itu mungkin ada benarnya, meski pasti lebih banyak salahnya.
Mengapa? Sebab, iklan adalah salah satu cara agar seseorang yang akan menjadi pemimpin atau telah menjadi pemimpin bisa secara efektif membuat dirinya dikenal, tetap dikenal, dan lebih dikenal secara luas, baik namanya, wajahnya, dan yang terpenting adalah pesan-pesannya agar bisa melekat di benak rakyat. Cara seperti itu biasa dilakukan di mana pun di dunia ini, terutama di negara-negara demokrasi yang menjamin kebebasan pers.
***
Menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden-wakil presiden 2009, tentu wajar semakin banyak tokoh yang memanfaatkan media (pers) untuk beriklan. Melihat kenyataan itu, kita tidak perlu apriori, apalagi memandang rendah tokoh-tokoh yang mengiklankan dirinya. Itu hak mereka dan kita harus menghormatinya.
Sekadar menyebut nama, tokoh-tokoh nasional yang sudah gencar beriklan saat ini, antara lain, Wiranto, Prabowo Subianto, dan Soetrisno Bachir. Iklan Wiranto dianggap kontroversial karena memperbandingkan data kemiskinan, iklan Prabowo bicara tentang pertanian, dan iklan Soetrisno Bachir tentang hidup adalah perbuatan.
Kenapa beriklan? Tentu karena masing-masing punya tujuan dan target. Yang terpenting adalah seberapa efektif iklan tersebut menjadi alat untuk mencapai tujuan dan target yang dimaksud. Sebagai sarana pendongkrak popularitas, pasti dengan beriklan, tujuan tersebut bisa tercapai. Tapi, jika sang pengiklan ingin menjadi presiden atau wakil presiden, populer saja tidak cukup. Masih diperlukan peningkatan elektabilitas, yakni daya tarik untuk dipilih.
Kalau kita telaah satu per satu, Wiranto misalnya, kalau hanya untuk popularitas, sejak dulu dia sudah memilikinya. Yang sang jenderal inginkan tentu tak sekadar populer. Dia ingin menebus kekalahannya pada Pilpres 2004. Akan berhasilkah dia? Kita lihat saja.
Selain Wiranto, ada Prabowo. Seperti Wiranto, jenderal tersebut juga populer sejak Soeharto masih berkuasa. Tujuan iklan politik Prabowo tentu lebih dari sekadar untuk popularitas. Sebagai upaya menuju RI-1 atau RI-2 kah? Yang pasti, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sudah menominasikan mantan Danjen Kopassus itu sebagai calon presiden.
Sementara itu, Soetrisno Bachir (SB) gencar beriklan karena rekomendasi lembaga survei bahwa popularitas ketua umum sebuah partai akan ikut mendongkrak suara partainya. Maka, tujuan jangka pendek iklan ketua umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) itu adalah peningkatan suara PAN pada Pemilu 2009.
Dari sudut pandang komunikasi politik, iklan SB termasuk paling kreatif, inspiring, dan santun tanpa menyindir, apalagi menyudutkan pihak lain. Dengan pola iklan semacam itu, akan berhasilkah SB? Yang jelas, sebelum beriklan, saudagar asal Pekalongan tersebut hanya dikenal 14 persen masyarakat Indonesia. Setelah beriklan, tingkat pengenalan publik terhadap dirinya sangat mungkin meningkat. Peningkatan popularitas itu akan berimplikasi pada penguatan ketokohan.
Bila pada pemilu nanti PAN yang dipimpinnya benar-benar ikut terdongkrak dengan peningkatan suara signifikan, bukan tidak mungkin SB akan ikut bursa calon presiden.
***
Selain tokoh-tokoh politik yang saya sebut di atas, untuk pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) pun tidak ada salahnya beriklan. Tentu yang diiklankan adalah harus perbandingan atas pencapaian, hampir tercapai, dan belum tercapainya program-program pemerintah berikut kendala-kendala yang dihadapi disertai jalan keluar yang akan ditempuh.
Hal itu bagus dilakukan agar masyarakat menjadi lebih objektif menilai apakah pemerintahan telah bekerja keras, apakah telah maksimal berusaha, atau sebaliknya. Objektivitas penilaian masyarakat itulah yang akan menentukan apakah SBY-JK dipercaya atau tidak dipercaya lagi pada Pilpres 2009. * Jeffrie Geovanie , direktur eksekutif The Indonesia Institute di Jakarta
Jawa Pos 2 Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar