31 Mei 2008

Merokok, Pintu Masuk Narkoba - 86,7 persen anak-anak di Jakarta melihat iklan rokok di luar ruang & 99,7 persen melihat iklan rokok di televisi.

Pengantar

Dalam rangka Hari Tanpa Tembakau Sedunia, 31 Mei ini, semua pihak kembali diingatkan betapa mengkhawatirkannya pertumbuhan jumlah perokok, terutama kalangan anak-anak dan remaja. Rokok yang bersifat adiktif membuat mereka semakin kecanduan dan bergantung seterusnya. Padahal, semua tahu, rokok sangat berbahaya bagi kesehatan, bahkan menjadi salah satu pintu masuk ke jaring narkoba. Pemerintah membiarkan generasi muda kita terjerumus lebih dalam.

Merokok menjadi pintu masuk penyalahgunaan narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba). Hampir semua pecandu narkoba adalah perokok berat, yang diawali dari merokok ringan atau hanya coba-coba. Gawatnya, rokok semakin digemari anak-anak usia sekolah dasar, terutama karena iklan gencar produsen rokok yang kerap tak mengenal etika.

Anak-anak dan remaja tak tahu risiko dan dampak yang ditimbulkan dari merokok. Mereka juga tidak sadar bahwa kebiasaan atau kecanduan merokok bisa menjerumuskan ke jurang narkoba karena sifatnya yang adiktif. Bahkan bisa masuk ke persoalan HIV/AIDS, karena banyak pencandu narkoba bergantian memakai jarum suntik yang sama.

Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok mengakibatkan kecanduan dan mudah terserang berbagai penyakit, seperti pernapasan, jantung, pencernaan, kanker, dan efek buruk pada janin dan kelahiran. Nikotin adalah komponen penyebab adiksi atau ketergantungan. Nikotin ternyata 5-10 kali lebih kuat menimbulkan efek psikoaktif daripada kokain dan morfin.

Berdasarkan data yang diterbitkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diketahui, hampir 80 persen remaja mulai merokok pada usia kurang dari 19 tahun. Remaja yang kecanduan merokok memang terus meningkat, dari 64 persen pada 1995 menjadi 69 persen pada 2001.

Ironisnya, ketika kemiskinan melanda seluruh Tanah Air, iklan dan promosi rokok justru semakin gencar. Rokok sangat mudah didapat dengan harga terjangkau, dan tidak ada aturan apapun yang melindungi masyarakat yang rentan dari target pemasaran industri rokok. Pemerintah lepas tangan dan tega membiarkan anak-anak dan generasi muda digerogoti rokok.

Hasil penelitian terbaru menyebutkan, 34,5 persen anak jalanan berusia 10 tahun ke atas telah kecanduan merokok. Survei berkaitan dengan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2008 yang bertema Remaja Bebas Rokok itu dilakukan pada anak-anak yang hidup di sepanjang rel kereta api Jakarta-Bogor.

"Dalam penelitian itu juga terungkap, 34,5 persen anak jalanan dari 398 anak yang terjaring survei tersebut mengaku tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD, hanya 40 persen yang tamat SD," tutur Direktur Tobacco Control Support Center (TSCS), Widyastuti Soerojo, di Jakarta, Kamis (29/5).

Survei yang dilakukan TCSC, Indonesian Public Health Association (IAKMI), dan mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) itu menunjukkan, anak-anak jalanan yang bekerja di sektor informal dengan penghasilan tidak tetap atau kurang dari Rp 20.000 per hari, namun lebih dari 20 persennya dibelikan rokok.

"Ironisnya lagi, 12,7 persen anak jalanan itu hanya menjadi pengemis namun sudah kecanduan merokok. Dan kebutuhan rokok ini akan terus meningkat karena rokok adalah adiktif," ucap Widyastuti.

Lebih Besar dari BLT

Dia mengungkapkan, pengeluaran tersebut hanya sedikit lebih rendah dari belanja rokok keluarga miskin yang konsumsinya rata-rata 10 batang per hari.

Kalau harga rokok dihitung Rp 500 per batang, berarti dalam sebulan anak jalanan menghabiskan Rp 150.000. Ini berarti lebih besar dari dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai Rp 100.000 per bulan.

Menurutnya, studi kasus pada anak jalanan usia 10-18 tahun di jalur rel kereta api Jakarta-Bagor awal Mei lalu itu menyajikan potret buram lingkaran setan kemiskinan dan konsumsi zat adiktif yang melanda remaja di seluruh Nusantara, sampai ke kampung-kampung. Kebanyakan konsumen rokok adalah rakyat miskin, sedangkan produsennya meraup keuntungan sangat besar.

Ketidaktahuan dan pendapatan harian yang kecil dan tidak tetap bukan halangan bagi 61 persen dari 398 anak jalanan yang disurvei itu mengonsumsi rokok. Remaja laki-laki yang usianya 13-15 tahun dan hidupnya sebagai anak jalanan lebih banyak mengonsumsi rokok (hingga 41,3 persen) dibandingkan remaja usia sebaya yang duduk di bangku sekolah (24,5 persen).

"Anak jalanan yang hidupnya di sepanjang rel kereta api adalah juga anak bangsa yang butuh perlindungan dari jerat adiksi rokok yang akan semakin memelaratkan dan merusak generasi kita," ujarnya.

Bagi anak jalanan maupun anak sekolah yang memakai uang jajan untuk membeli rokok daripada membeli makanan bergizi adalah kekeliruan besar.

Soal gizi berbanding lurus dengan prestasi. Jika ku rang gizi maka prestasi juga kurang. Sebaliknya, jika gizi bagus maka prestasi juga bagus. Adalah kenyataan, prevalensi anak merokok di Indonesia sudah sangat memprihatinkan.

Ketua Umum Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia (FK PPAI), Rachmat Sentika, mengungkapkan, kini usia prevalensi anak merokok bergeser hingga usia tujuh tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah perokok pemula kini berusia 5-9 tahun.

Hanya dalam tempo tiga tahun (2001-2004), persentase perokok pemula naik dari 0,4 persen menjadi 2,8 persen. Penelitian Matua Harahap (2004) menunjukkan, kejadian merokok di usia muda (15-18 tahun) sudah mencapai 13,62 persen.

Menurut Survei Ekonomi Nasional 2004, prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun mencapai 26,8 persen dari total populasi Indonesia.

Penelitian Lembaga Penelitian Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas mengenai pencegahan merokok di bawah umur 18 tahun yang dilakukan di Kota Padang, menunjukkan, lebih dari 50 persen responden mulai merokok sebelum usia 13 tahun.

Kemudian 70,7 persen responden mengaku lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah di samping jam sekolah ketika merokok, terutama bersama rekan sebaya.

Bencana Nasional

Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi, mengingatkan, permasalahan merokok pada anak adalah bencana nasional dan harus segera ditangani.

Dia mengungkapkan, agresifnya iklan, promosi, dan kegiatan sponsor oleh industri rokok telah berkontribusi meningkatkan konsumsi rokok pada anak-anak dan remaja.

"Seluruh bentuk pemasaran, mulai dari iklan-iklan yang provokatif dan sponsor berbagai kegiatan yang digemari remaja ditujukan untuk menjerat mereka menjadi perokok. Dari pemantauan kami pada Januari-Oktober 2007, terdapat 1.350 kali kegiatan yang disponsori industri rokok, atau sekitar 135 kegiatan setiap bulan. Tak heran jika remaja yang merokok terus bertambah," ucapnya. [SP/Eko B Harsono/Sumedi TP]


Nikotin pada Rokok

Dua pria memperagakan usaha untuk berhenti merokok saat kampanye stop merokok di kawasan Thamrin, Jakarta, Jumat (30/5). Saat ini terdapat 62,8 juta penduduk Indonesia yang kecanduan rokok SP/YC Kurniantoro

Staf pengajar di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dr Aulia Sani, SpJP(K), menjelaskan, sulitnya seseorang berhenti merokok karena ketergantungan pada nikotin.

Nikotin memiliki struktur yang terdapat dalam otak, acetylhoneline yang mengaktifkan lebih dari 200 molekul kimia neuron. Nikotin adalah suatu zat yang terdapat pada tembakau yang dapat melindungi tanaman dari serangan hama serangga.

Setelah hisapan pertama, nikotin dengan mudah dapat menembus struktur membran yang melindungi otak dari masuknya zat kimia dalam darah yang dapat mempengaruhi berbagai fungsi biologis. Hanya dalam beberapa detik pertama setelah menghisap asap rokok, nikotin akan sampai ke otak.

Nikotin yang menempel pada reseptor di otak akan menimbulkan sensasi menyenangkan sesaat. Merokok merupakan kecanduan atau adiksi yang susah dihentikan karena kandungan nikotinnya.

5-10 Kali Lebih Kuat

Nikotin adalah sebuah komponen yang menyebabkan kecanduan 5-10 kali lebih kuat menimbulkan efek psikoaktif pada manusia daripada kokain dan morfin.

Oleh sebab itu, amat sukar bagi perokok untuk dapat berhenti jika tanpa bantuan dan dukungan dari orang-orang sekitar serta bantuan farmakologi. Jika keduanya dijalani, upaya berhenti merokok akan lebih efektif.

Selain itu, Widjajanti dari Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) mengatakan, perokok harus menyadari beban yang harus ditanggung karena merokok menimbulkan dampak kesehatan, sosial, ekonomi, dan psikologis yang diakibatkan oleh rokok pada diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitarnya. [DGT/S-26].

Indonesia Nomor 3 di Dunia

[JAKARTA] Indonesia masuk kategori negara yang penduduknya mengonsumsi rokok sebanyak 215 miliar batang per tahun.

Jumlah ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok nomor tiga di dunia. Peringkat ini beradu pacu dengan peringkat korupsi yang tetap tinggi.

Hal ini diungkapkan staf pengajar di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dr Aulia Sani, SpJP(K), pada diskusi bertema "Stop Merokok" yang digelar PT Pfizer Indonesia dan FKUI, di Jakarta, Jumat (30/5).

Aulia memaparkan, total perokok di Indonesia berjumlah 62.800.000 orang, terdiri 70 persen perokok yang mulai merokok sebelum usia 19 tahun dan 12,77 persen yang sudah merokok sejak sekolah dasar.

Selain itu, data Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) mengulas, Indonesia sebagai negara pengonsumsi tembakau ke-lima di dunia setelah Tiongkok, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang, dengan perokok dewasa sebanyak 34,40 persen (pria 63,10 persen dan wanita 4,5 persen).

Sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2008 mengungkapkan, sebanyak 5,4 juta orang diperkirakan meninggal akibat merokok.

Tertinggi di ASEAN

Di kawasan ASEAN ada 124 juta orang dewasa yang merokok, 46 persennya berada di Indonesia atau yang tertinggi di ASEAN.

Aulia mengatakan, rokok merupakan penyebab kematian terbesar di dunia yang seharusnya dapat dicegah.

Sekitar 4,9 juta orang meninggal akibat rokok di tahun 2000 dengan jumlah 50 persen di negara berkembang, dan akan meningkat dua kali lipat di tahun 2020. Yang menyedihkan, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang tidak menandatangani Frame Work Convention on Tobacco Control (FCTC).

Menurutnya, merokok merupakan faktor risiko utama penyakit jantung koroner di samping kolesterol dan hipertensi.

Selain memberikan kerugian bagi perokok, orang-orang yang terkena asap rokok atau perokok pasif juga terkena dampak asap samping (asap dari pembakaran ujung rokok). [DGT/S-26]


Takut Stroke, Berhentilah Merokok

B Berdasarkan laporan Yayasan Stroke Indonesia yang diterbitkan awal Mei 2008, di Indonesia setiap tahun diperkirakan 500.000 penduduk terkena stroke. Dari jumlah itu, sedikitnya 125.000 orang atau sekitar 25 persen meninggal dunia, sedangkan 75 persen lainnya mengalami cacat ringan maupun berat.

Penderita yang terserang penyakit stroke biasanya mengalami gangguan motorik, sensorik, kognitif, komunikasi, gangguan menelan dan eliminasi urine. Para pakar kesehatan menegaskan, berhenti merokok merupakan cara utama mencegah terserang stroke.

Direktur Rumah Sakit PGI Cikini yang juga pakar penyakit jantung, Romondong Panjaitan, mengatakan, jumlah pasien stroke cenderung meningkat, dan dampak yang ditimbulkan lebih kompleks sehingga memerlukan penatalaksanaan yang lebih komprehensif dan profesional.

Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien stroke harus berkolaborasi denjgan tenaga kesehatan lainnya untuk meminimalkan gangguan dan memulihkan pasien agar tetap memiliki kualitas hidup yang baik," ujar Panjaitan dalam seminar menyambut Diesnatalis ke-39 Akademi Keperawatan RS PGI Cikini, di Jakarta, Jumat (30/5).

Stroke merupakan masalah kesehatan dunia yang semakin mendapat perhatian penting. Di Amerika Serikat terdapat 700.000 orang terkena serangan stroke setiap tahun dengan angka kematian 160.000 orang per tahun. Pada 2003 terdapat 4,8 juta penderita stroke di seluruh dunia. Penyakit ini menduduki peringkat ketiga di dunia sebagai penyebab kematian.

Sementara itu, dokter penyakit saraf RS PGI Cikini, Dr Hophoptua N Manurung, menegaskan, stroke adalah suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara lokal atau global, yang dapat menimbulkan kematian atau kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskuler.

Insiden stroke di negara maju, lanjutnya, cenderung menurun karena usaha prevensi primer yang berhasil, terutama dalam hal pencegahan terhadap hipertensi. Namun, di negara berkembang insiden ini justru menaik akibat pengaruh urbanisasi, perubahan gaya hidup, dan bertambahnya umur harapan hidup.

Lima Kali Lebih Banyak

Manurung mengungkapkan, berdasarkan penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, insiden stroke pada daerah perkotaan (urban) di Indonesia diperkirakan lima kali lebih banyak daripada insiden di daerah pedesaan (rural). Hal ini dapat dilihat dari jumlah pasien stroke yang dirawat di rumah sakit (RS), terutama RS tipe B yang berada di perkotaan.
Dia mengemukakan, kasus stroke yang tidak diimbangi dengan perbaikan penatalaksanaan di RS mengakibatkan dalam dekade terakhir stroke merupakan penyebab kematian nomor satu di Indonesia. "Kematian akibat stroke terutama terjadi pada fase akut dan umumnya terjadi saat penderita sudah berada di RS. Oleh karena itu, disamping usaha prevensi primer, perbaikan penatalaksanaan stroke di RS harus dilaksanakan," ujarnya.

Sedangkan pakar rehabilitasi medik, Dr Joviel Simatupang, menjelaskan, konsep penanganan stroke adalah waktu. Banyak penelitian menunjukkan, pasien datang terlambat karena tidak tahu gejala stroke. Semua gejala gangguan saraf yang terjadi mendadak harus dicurigai stroke. Kenali gejalanya, dan segera ke RS dengan fasilitas yang lengkap.

Stroke harus segera dikenali. Bila pasien bicara pelo, atau wajahya perot, atau kelemahan anggota gerak, segera ke RS, atau hubungi hotline stroke dan ambulans 118. Segera setelah pasien sampai di RS, pemeriksaan awal dilakukan oleh tim dokter dan perawat. Pada pasien dengan kecurigaan stroke, tim RS akan melakukan CT scan sebagai diagnosis baku emas untuk stroke.

Senada dengan itu, Dr Ratna Sitorus mengatakan, stroke terjadi karena seseorang memiliki faktor risiko stroke. Pengendalian faktor risiko akan mengurangi risiko terkena stroke. Pasien yang terkena stroke memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami serangan stroke ulang, berkisar antara 30-43 persen dalam waktu lima tahun.

Faktor risiko stroke ada yang dapat dikendalikan dan ada pula yang tidak dapat dikendalikan. Faktor risiko stroke yang tidak dapat dikendalikan adalah usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga, dan riwayat stroke sebelumnya. Kelompok usia lanjut dan laki-laki lebih mudah terkena stroke, demikian pula seseorang dengan riwayat keluarga stroke.

Faktor risiko stroke yang dapat dikendalikan antara lain hipertensi, diabetes, merokok, kolesterol darah yang tinggi, obesitas, gangguan tidur, dan penyakit jantung. Pengendalian faktor risiko stroke ini akan menurunkan risiko terkena stroke. Tekanan darah yang terkendali di bawah 130/80 mmHg akan menurunkan risiko seseorang terkena stroke. Berhenti merokok akan menurunkan pula risiko terkena stroke. [E-5]

Industri Rokok Agresif

[JAKARTA] Pertumbuhan industri rokok di Indonesia malah agresif dengan produksi yang meroket dari tahun ke tahun. Angka penjualannya terus menunjukkan peningkatan. Tahun 2006, industri ini berhasil membukukan 218, 73 miliar batang dan meningkat di 2007 menjadi 231 miliar batang. Bahkan, pertumbuhannya diperkirakan akan naik sekitar lima persen di 2008.

Demikian dikatakan, Direktur Industri Minuman dan Tembakau Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag) Warsono kepada SP di Jakarta, Jumat (30/5). "Tahun ini, perkiraan saya pertumbuhan industri rokok akan berkisar lima persen, dengan catatan tidak ada kenaikan beban cukai."

Dari data Depperin menyebut, sumbangan industri hasil tembakau (IHT) dalam penerimaan negara (cukai) 2007 sebesar Rp 44,66 triliun dan menyerap tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung, hingga lebih dari 10 juta orang.

Rp 120 Triliun

Namun, Koordinator Indonesia untuk Studi Stop Rokok, Prof Dr Hasbullah Thabrany kepada SP di Jakarta, Sabtu (31/5) menegaskan, dengan rokok itu, rakyat Indonesia diperkirakan membakar uang untuk merokok senilai Rp 120 triliun rupiah tiap tahun. Angka ini dua kali lipat lebih banyak dari belanja untuk kesehatan atau dua kali lebih banyak dari anggaran pemerintah untuk pendidikan.

Warsono melanjutkan, produksi rokok (jenis rokok kretek dan putih) tumbuh positif, bahkan sejak krisis di tahun 1997/1998. Meskipun penurunan produksi terus terjadi sejak tahun 2000 hingga 2003.

Saat itu, produksi rokok di tahun 2000 mencapai 230 miliar batang per tahun, dan menurun di 2001 menjadi 222,8 miliar batang/tahun, kemudian menjadi 218,73 miliar batang di 2002. Puncaknya terjadi di 2003, produksi rokok menurun drastis menjadi 192,34 miliar batang.

Hal senada disampaikan, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran. Dia mengatakan, karena adanya kenaikan beban cukai, terjadi penurunan produksi rokok pada kuartal pertama 2008 dibanding periode yang sama tahun 2007. [CNV/M-15]

Peraturan tentang Rokok Hanya Jadi Macan Kertas

SP/Marselius Rombe Baan

Indonesia perlu mencontoh Singapura dalam pengaturan pembatasan merokok yang ketat, termasuk pengenaan denda terhadap warga yang kedapatan merokok di tempat publik. Di negara itu warga yang kedapatan merokok di kawasan publik, seperi terminal bus dan stasiun kereta api didenda $1.000 (Rp 5.000.000)

Peraturan mengenai larangan merokok di tempat- tempat tertentu masih banyak belum dipatuhi oleh masyarakat. Selain karena faktor disiplin yang rendah, kinerja aparat penegak hukum dalam menjalankan peraturan juga masih rendah.

Ketua Umum Forum Warga kota Jakarta (Fakta), Azas Tigor Nainggolan, di Jakarta, Sabtu (31/5), mengatakan, pemerintah khususnya pemerintah daerah harus memiliki komitmen kuat untuk mengurangi dampak buruk dari merokok.

"Kami sudah beberapa kali bertemu dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan mereka mengakui tidak bisa menjangkau semua tempat yang dilarang merokok karena alasan keterbatasan aparat," katanya.

Azas Tigor meminta agar pemerintah tidak sekedar mengeluarkan peraturan tetapi harus mampu melakukan peraturan tersebut dengan semua kemampuan aparat yang dimiliki.

Provinsi DKI Jakarta saat ini ada dua payung hukum yang berkaitan dengan rokok dan yang merupakan daerah pertama yang membuat aturan khusus mengenai pengendalian merokok di Indonesia.

Pertama, Peraturan Daerah (Perda) 2/2006 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 11 Tahun 2004
tentang Pengendalian Merokok di Tempat Kerja di Lingkungan Pemerintah.

Sekretaris Provinsi DKI Jakarta, Muhayat, mengakui peraturan mengenai merokok masih belum berjalan maksimal sesuai dengan yang diamanatkan peraturan daerah. "Kami akan terus melakukan upaya-upaya penegakan hukum. Tapi harus disadari merokok adalah kebiasaan masyarakat, dan untuk mengubah kebiasaan dan kesadaran itu perlu waktu," ujarnya Kamis pagi.

Pemprov beralasan, perilaku warga yang susah diatur serta minimnya dana operasi yustisia sebagai penyebab kemandulan perda tersebut. Mengatur atau mengubah perilaku orang tentu tidak mudah," kata Muhayat.

Pasal 13 Ayat (1) Perda yang mengatur rokok di Jakarta menegaskan, di tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar-mengajar, area kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum, dinyatakan dilarang untuk merokok.

Ayat (2) menjelaskan, pimpinan atau penanggung jawab tempat umum dan tempat kerja harus menyediakan tempat khusus untuk merokok serta menyediakan alat pengisap udara sehingga tidak mengganggu kesehatan bagi yang tidak merokok.

Sementara Ayat (3) menyebutkan, di dalam angkutan umum bisa merokok tetapi dengan ketentuan (a) lokasi tempat khusus merokok terpisah secara fisik dengan kawasan tanpa merokok dalam angkutan yang sama, (b) di tempat khusus merokok harus memiliki alat pengisap udara.

Muhayat mengemukakan, operasi yustisia (operasi gabungan polisi, jaksa, pengadilan, dan trantib DKI Jakarta) akan terus dilakukan sekalipun dalam jumlah terbatas, karena dana untuk kegiatan tersebut sangat terbatas.

Mengenai sanksi yang diberikan kepada pelanggar, ia menegaskan, apa yang tertera pada Perda No 2/2005 harus diberlakukan. Sanksi itu berupa hukuman kurungan selama enam bulan atau denda Rp 50 juta kepada pelanggar.

Tingkat Menteri

Regulasi tentang rokok sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 22 UU N0 23/2003 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) 23/2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Pada Pasal 22 PP itu juga diatur soal kawasan yang harus bebas rokok seperti sekolah, rumah sakit, angkutan umum dan kawasan publik lainnya.

Sedangkan, dalam Pasal 32 huruf b, PP itu ditegaskan, menteri dan menteri terkait maupun pemerintah daerah berkewajiban mendorong dan menggerakkan terbentuknya kawasan bebas rokok. Hanya saja, dalam implementasinya, aturan tersebut hanya jadi macan kertas saja.

Para menteri belum melakukan tugasnya masing-masing, misalnya Menkes untuk membebaskan kawasan ruang kesehatan bebas rokok, dan Menteri Pendidikan Nasional untuk menjadikan kawasan bebas rokok di sekolah dan tempat belajar lainnya. Demikian pula para menteri lainnya, berikut kepala daerah belum mendorong terciptanya kawasan bebas rokok di lingkungan kerja masing-masing.

Kekhawatiran tentang bahaya merokok juga diutarakan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono dalam sambutannya di acara peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia di Istana Negara Jakarta, Jumat (30/5).

Perokok Pasif

Meutia mengatakan, saat ini 43 persen anak-anak di Indonesia merupakan perokok pasif yang secara tidak langsung ikut terancam bahaya rokok sekalipun tidak merokok. Dalam rokok, kata Meutia, terkandung zat-zat berbahaya yang dapat merusak kesehatan, bahkan hingga mengancam jiwa yang berakibat fatal pada kematian.

"Usia perokok dini di Indonesia berkisar pada usia 7-9 tahun bahkan 5 tahun pada sejumlah masyarakat adat," katanya seperti dilansir Antara.

Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PA) mendesak agar pemerintah segera membatasi segala bentuk iklan industri rokok demi masa depan generasi penerus yang sehat dan terbebas dari tembakau.

"Rokok adalah pintu gerbang narkoba, karena rokok itu sendiri juga sudah narkoba, zat yang adiktif dan sangat beracun," kata Seto Mulyadi., Ketua Umum Komnas PA.

Lebih lanjut Seto mengatakan, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau dan tidak melarang iklan rokok hadir di ruang publik.

Berdasarkan hasil penelitian Dampak Iklan Rokok dan Kegiatan yang Disponsori oleh Industri Rokok terhadap Aspek Kognitif, Afektif, dan Perilaku Merokok Remaja yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Universitas Muhammadiyah, ditemukan data sebanyak 86,7 persen anak-anak di Jakarta melihat iklan rokok di luar ruang, dan 99,7 persen melihat iklan rokok di televisi.

Penelitian itu juga mencatat sekitar 1.500 acara musik, olahraga, kebudayaan, dan keagamaan disponsori oleh industri rokok selama 10 bulan terakhir. Sementara di televisi, terdapat sekitar 3.000 acara yang disponsori rokok yang disiarkan selama 10 bulan. [RBW/E-7]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/05/31/index.html

Tidak ada komentar: