27 Mei 2008

Iklan Politik dari Sisi Kode Etik Periklanan

Oleh Septian Dwi Cahyana

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Hatta Radjasa -mewakili kepentingan Presien Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)- perlu mengklarifikasi iklan Ketua Umum DPP Partai Hanura Wiranto yang dipasang di banyak koran.

Dalam iklan itu, Wiranto meminta agar SBY menepati janji untuk tidak menaikkan harga BBM. Tapi, menurut Hatta, SBY tidak pernah berjanji untuk tidak menaikkan harga BBM.

***

Iklan kini tidak lagi sekadar alat promosi barang dan jasa. Fungsinya pun telah bergeser dari alat marketing menjadi instrumen public relations (PR). Bahkan, kini fungsi iklan mendiversifikasi pula dari alat marketing produk barang komersial menjadi instrumen marketing politik. Instrumen yang terakhir ditujukan untuk mengangkat citra dan popularitas tokoh yang sedang berjuang dalam kompetisi politik.

Saat ini misalnya, selain Wiranto, ada Prabowo Subianto dan Soetrisno Bachir yang mengiklankan diri. Siapa pun bisa menduga bahwa iklan marketing politik mereka itu ditujukan untuk ''menjual diri'' agar citra dan popularitasnya meningkat. Tidak terlalu sulit menebak tujuan para tokoh itu beriklan. Untuk keperluan persaingan dalam pemilu legislatif 2009 dan pemilihan presiden 2009.

Karena iklan tokoh-tokoh politik itu terkait dengan upaya mereka untuk -diperkirakan begitu- menjadi calon presiden, sangatlah mungkin tema-tema iklan pada babak berikutnya akan menggunakan teks, tema, serta gambar yang isinya saling serang. Saling mengkritik. Bahkan, saling melontarkan kecaman untuk menjatuhkan popularitas lawan politik masing-masing.

Dari sisi politik, persaingan untuk memenangkan pertarungan meraih kursi RI-1, iklan politik dengan tema meninyindir, mengecam, bahkan menyerang lawan politik adalah fenomena yang normal.

Dalam politik, tidak ada kekuasaan yang diperoleh gratis, kecuali dalam masyarakat yang negaranya menganut sistem kerajaan. Itu pun sifat gratisnya terbatas. Hanya diberikan kepada putra atau putri mahkota. Sedangkan untuk pendistrubusian kekusaan yang lebih luas, tetap menganut asas persaingan terbuka. Untuk memilih anggota parlemen di negara yang mengajut sistem kerajaan, prosesnya tetap melalui pemilu yang bebas. Calon anggota legislatif dan PM berasal dari semua politisi dari berbagai parpol.

Dengan kata lain, meski negara menganut sistem kerajaan, sistem politiknya menganut multiparpol. Inggris, Belanda, Swedia, Denmark, atau Jepang di Asia adalah beberapa contohnya.

Kembali ke iklan politik, tren itu sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari fenomena marketing politik. Dalam konsep marketing politik, program kerja calon pemimpin politik disamakan dengan produk barang dan jasa. Artinya, bisa ''dijual-belikan'' melalui pendekatan advertorial.

Kualitas pribadi tokoh, seperti postur fisik, kecakapan, hobi, prestasi, rekam jejak, dan kemampuan tertentu yang dianggap istimewa, bisa ''dipromosikan'' sebagai bentuk pencitraan diri. Sebagai tokoh yang berkapasitas dan berkompetensi untuk menjadi anggota parlemen, perdana menteri (PM), atau calon presiden.

Perbedaannya, jika dalam marketing produk bisnis dan industri ending yang diharapkan dari capaian iklan adalah naiknya omzet atau volume penjualan, dalam marketing politik, ending-nya adalah tercapainya dukungan politik melalui pemilu. Mungkin yang sama adalah harapan untuk meningkatkan image. Baik dalam marketing barang industri komersial maupun marketing politik, capaian lain yang tidak kalah penting diharapkan adalah image (prestise) dan popularitas. Yakni, image tentang merek dagang serta image dan popularitas pribadi tokoh.

Dinamika perkembangan marketing politik seperti itulah yang belakangan juga memperlihatkan diri di Indonesia. Itu merupakan imbas perkembangan serupa yang terjadi di negara-negara yang secara ekonomi dan politik telah mencapai tahap maturasi (matang).

***

Kalau iklan politik-iklan politik tokoh yang diperkirakan bakal maju menjadi calon presiden itu terus menjadi tren dalam marketing politik, perlu dibuat rambu-rambu. Dalam hal ini etika beriklan yang sudah tertuang dalam kode etik periklanan.

Iklan politik yang bakal terus ramai di banyak koran, radio, dan televisi pada pemilu legislatif 2009 dan pemilihan presiden 2009 juga harus terikat rambu-rambu yang diatur kode etik periklanan.

Misalnya, sebagaimana iklan barang-barang komersial, iklan politik itu tidak boleh menyerang atau melecehkan merek dagang produk lain yang menjadi kompetitor.

Hal yang sama berlaku dalam iklan politik. Teks atau tema tidak boleh menyerang teks, tema, atau gabar dalam iklan politik tokoh yang jadi kompetitor. Dalam iklan barang-barang komersial, kode etik periklanan telah menjadi etika bersama yang relatif mengikat. Sangat jarang terjadi teks iklan atau gambar tertentu dari merek dagang barang tertentu menyerang iklan merek dagang produk yang menjadi saingannya.

Sama pula dengan iklan barang-barang komersial, yang ditonjolkan adalah teks atau gambar yang memikat. Teks dan gambar yang semata-mata menunjukkan keunggulan merek dagang. Citra dan prestise merek dagang di mata atau pikiran konsumen.

Dalam iklan politik, seharusnya yang ditonjolkan adalah progam unggulan tokoh yang bersangkutan. Program politik unggulan itulah yang harus dikemas menjadi komoditas politik. Juga, citra diri, kredibilitas, kapasitas, serta kompetensi tokoh itu sebagai calon pemimpin politik.

Pertanyaannya, apakah iklan Wiranto, Prabowo Subianto, dan Soetrisno Bachir telah memenuhi kualifikasi serta persyaratan yang diatur dalam kode etik periklanan? Septian Dwi Cahyana, analis media di Bandung [Jawa Pos Senin, 26 Mei 2008 ]

Tidak ada komentar: