28 Mei 2008

Berita Kejahatan di Tengah Persaingan Industri Televisi

Tb Ronny Rahman Nitibaskara

Bagaimana seharusnya kejahatan diberitakan kembali menjadi perbincangan di tengah perlombaan televisi nasional dalam menghadirkan peristiwa-peristiwa kejahatan secara on the spot. Kecenderungan menjadikan kekerasan, darah dan air mata sebagai bentuk lain dari hiburan yang dihadirkan di rumah-rumah dan dikonsumsi oleh segenap umur jelas memprihatinkan.

Masyarakat tentu mempunyai berbagai persepsi terhadap tayangan tersebut. Sebagian ada yang menilai, bahwa pekerjaan polisi ternyata cukup berbahaya saat melakukan penindakan, penuh risiko dan ketegangan. Namun, ada pula yang memandang bahwa tindakan polisi tidak jarang berlebihan dengan mengingat bahwa orang yang ditindak masih diduga sebagai pelaku kejahatan.

Penampilan wajah tersangka, umumnya juga dianggap melanggar asas praduga tidak bersalah. Memang, pemberitaan semacam ini, sudah dapat dikategorikan sebagai pemberian hukuman oleh pers. Terlebih bila seluruh identitas dan gambar tersangka leluasa ditampilkan. Secara kriminologis, penayangan tersebut dapat dianggap telah memberikan label kriminal kepada seseorang secara publik. Tindakan ini akan sangat membahayakan bagi tersangka karena memunculkan kebencian hingga menjadi sasaran kemarahan. Dalam konteks teori labelling, pemberitaan sebagai penjahat melalui televisi justru dapat menjerumuskan seseorang lebih dalam kejahatan. Ia akan senantiasa diposisikan sebagai penjahat oleh lingkungannya, meskipun tidak lagi pernah melakukan tindak pidana.

Meminjam teori definition and dramatization of evil dari Frank Tannenbaum, proses pemberitaan buruk tersebut dapat dikategorikan sebagai proses "penciptaan" penjahat. Mula-mula seseorang diberitakan melakukan kejahatan, kemudian didefinisikan sebagai pelanggar hukum, ditunjukkan korbannya, dan dicari alasan-alasan yang dapat membenarkan bahwa orang tersebut pantas melakukan kejahatan. Semua label tersebut disiarkan secara luas, dan kadang dilakukan berkali-kali, sehingga membuat yang bersangkutan menyerah dan akhirnya menerima tanpa perlawanan semua tudingan tersebut. Ringkasnya, apa yang digambarkan buruk oleh media merupakan hukuman tanpa perlawanan. Anehnya, "hukuman" media ini juga tidak jarang dinikmati oleh aparat penegak hukum.

Distorsi Pemberitaan

Dalam program tayangan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi false and distorted information, sehingga merugikan pihak-pihak tidak bersalah. Hingga kini, belum ada mekanisme rehabilitasi korban pemberitaan yang salah. Sementara, menyampaikan hak jawab sebagai bagian rights of correction, right to reply, dan right to explanation melalui media televisi pada praktiknya nyaris tidak mungkin karena terbatasnya waktu dan ruang tayang. Padahal, menurut James Lull (1998), televisi mempunyai kemampuan yang tiada taranya untuk memperlihatkan, mendramatisasi, dan mempopulerkan potongan-potongan kecil fragmen kultural dari informasi. Hal ini berarti, siapa pun yang dicitrakan oleh media, tanpa ada usaha mengubah citra, berarti menerima tanpa syarat apa yang digambarkan oleh media. Gambar yang disajikan televisi tidak hanya dianggap sebagai sensasi atau sekedar berita, namun juga dipandang sebagai objective facts.

Mengingat bahaya tersebut, pihak penegak hukum berusaha mengubah citra yang kurang baik akibat banyaknya program tayangan yang melibatkan unsur kepolisian dalam memerangi kejahatan. Mabes POLRI pernah mengirimkan imbauan kepada berbagai media massa dan kepada seluruh Kapolda, agar memberitakan secara baik peristiwa-peristiwa kejahatan.

Mabes POLRI juga mengingatkan pers karena pemuatan gambar yang sangat fragmentatif. Seperti hanya mengambil gambar polisi yang mengacungkan senjata, sehingga di layar televisi yang tertangkap adalah polisi yang sok gagah. Padahal, ada juga kejadian di mana polisi dikerumuni ratusan orang yang ingin mengambil paksa tersangka, namun tidak ditampilkan.

Realitas Media dan Iklan

Pernyataan Mabes POLRI tersebut dapat dikatakan mewakili keprihatinan atas teknis pemberitaan televisi. Persoalan ini sering muncul, terutama dikeluhkan oleh pihak yang merasa dirugikan karena tidak utuhnya suatu peristiwa disajikan.

Ketidakpuasan semacam itu patut dimengerti karena realitas media senantiasa fragmentatif. Betapa pun upaya dilakukan, tetap dalam batas pandangan kamera sajalah realitas yang dapat dihadirkan. Fragmentasi pemberitaan media ini tentu saja dipengaruhi oleh pilihan-pilihan pemberitaan menurut kepentingan broadcaster. Menurut Chermak (1995) setidaknya ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi penyeleksian berita. Pertama, keseriusan pelanggaran hukum yang terjadi. Kedua, kedudukan mereka yang terlibat dalam kejahatan, baik sebagai korban, pelaku atau saksi. Semakin penting kedudukan mereka semakin patut peristiwa itu disajikan. Ketiga, sumber berita diusahakan mereka yang terlibat langsung dengan peristiwa. Keempat, kejahatan tersebut hendaknya unik, di luar kejahatan yang biasanya terjadi. Kelima, peristiwa tersebut layak tayang juga ditentukan oleh lokasi terjadinya dan seberapa banyak hal itu telah disajikan oleh media-media massa.

Semua kriteria tersebut semakin nyata, apabila media dihadapkan pada semakin sengitnya persaingan dengan media lain. Demi mengejar rating, media akan rela bersusah payah menyajikan sesuatu serba berbeda. Hal ini mudah dipahami karena bertaut dengan perebutan porsi iklan yang sangat berpengaruh pada kelangsungan usaha. Stasiun-stasiun televisi yang menyajikan tayangan kejahatan dengan "berani", ternyata menuai belanja iklan yang relatif besar.

Dalam sebuah catatan yang dimuat dalam Wall Street Journal Almanac 1998 tentang persaingan televisi di AS, dikatakan begitu sangat sengitnya, sehingga digambarkan; likely hungry dogs feeding from the same bowl, each media company is trying to take a bite out of the next company business. Persaingan semacam ini juga telah merambah dalam dunia pertelevisian kita. Buah dari kompetisi sengit tersebut tercermin dari maraknya eksploitasi tayangan kejahatan pada stasiun-stasiun televisi kita. Ketertarikan pemirsa terhadap kejahatan menjadi ladang bisnis yang tidak habis-habisnya digali. Namun, hal ini senantiasa perlu diawasi karena setiap penciptaan realitas mengenai kejahatan banyak mengandung bahaya.

Penelitian Fishman (1976) di AS, menunjukkan how media create crime waves. Ditemukan bukti-bukti dalam penelitiannya di New York, bahwa gelombang kejahatan yang diberitakan itu merupakan bentukan media. Banyak peristiwa kejahatan yang disajikan di media sudah merupakan seleksi dari para jurnalis menurut persepsinya.

Kurang Peka

Pemberitaan kejahatan yang tidak mengindahkan suasana yang hidup di masyarakat terbukti bisa sangat berbahaya. Untuk hal ini, kita bisa bercermin pada suatu kasus yang kemudian membuat hampir seluruh daratan Amerika Serikat rusuh.

Pada tengah malam tanggal 3 Maret 1991, seorang pemuda kulit hitam bernama Rodney King (25) mengemudikan mobil dalam keadaan setengah mabuk. Polisi yang bertugas mencoba menghentikannya, namun King justru memacu mobilnya lebih kencang. Dalam pengejaran, akhirnya ia tertangkap. King kemudian dihajar beramai-ramai oleh empat anggota polisi dari LAPD. Menurut visum Dr. Edmun Chein di Rumah Sakit Los Angeles, tongkat polisi telah merontokkan gigi, merobek kelopak mata, mematahkan rahang, meremukkan tempurung kaki, dan membirulebamkan seluruh anggota tubuh King.

Secara kebetulan, semua drama penganiayaan itu direkam oleh seorang penggemar video amatir yang tidak sengaja sedang berada tidak jauh dari tempat kejadian. Hasil rekaman tersebut kemudian diberikan kepada stasiun televisi. Karena merupakan big news, dan dinilai ampuh untuk menaikkan rating, maka secepat kilat rekaman itu disiarkan secara nasional. Stasiun-stasiun televisi lain juga turut menyiarkan rekaman police brutality tersebut. Akibatnya, aroma kemarahan mulai menebar di kalangan penduduk kulit hitam hampir di semua sudut negeri.

Berdasarkan rekaman tersebut, keempat polisi tersebut diseret ke pengadilan. Pada tanggal 29 April 1992 pengadilan memutuskan mereka tidak bersalah. Kembali televisi mengambil kesempatan. Putusan yang kontroversial itu serta merta disiarkan. Penayangan kali ini ternyata ongkosnya sangat mahal. Los Angeles diguncang kerusuhan rasial yang dahsyat. Warga kulit hitam berbondong-bondong menumpahkan kemarahan. Amuk massa dalam sekejap meluas ke San Fransisco, Atlanta, Las Vegas, Texas, Philadelphia, Wisconsin, dan beberapa kota lainnya.

Presiden George Bush tanggal 1 Mei 1992 mengirim 4.000 tentara dan 1.000 personel penegak hukum lainnya ke LA. Kerusuhan ini menelan korban jiwa sedikitnya 58 orang, 1000 orang luka-luka, dan kerugian material diperkirakan lebih dari US$ 3 miliar (Indarto, 2002). Penayangan peristiwa kejahatan yang berimplikasi pada gejolak masyarakat semacam ini bila ditelisik kausanya bersumber pada persaingan media.

Pada saat ini, dalam konteks persaingan media, masing-masing berlomba untuk menyajikan siaran live atau reality show. Gambar diambil tanpa proses penyutradaraan. Pemirsa seolah-olah diajak berada di tengah-tengah peristiwa. Karena peristiwa yang diliput berjalan cepat, maka aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan bagi penyiaran yang baik acap kali terlewatkan. Tidak peduli seperti apa dampaknya kepada masyarakat, yang penting adalah kejar tayang.

Demikian besar pengaruh media terhadap pandangan masyarakat mengenai seluk beluk kejahatan, menuntut kriminologi tidak boleh mengabaikannya. Redatin dalam disertasinya yang berjudul Pengaruh Media Televisi Terhadap Penyimpangan Nilai dan Perilaku di Kota Yogyakarta (UGM, 2002) menemukan bahwa menonton dan memperhatikan adegan seks dan kekerasan tidak sekadar kegemaran. Ada responden yang mengaku mempelajari trik adegan kekerasan di televisi untuk melakukan kejahatan.

Penelitian tersebut semakin memperkuat argumentasi, bahwa betapa pun ada sisi baiknya, pemberitaan kejahatan dengan mengeksploitasi kekerasan dan penyimpangan nilai tetap lebih banyak berdampak buruk bagi masyarakat. Kondisi bipolar akan terjadi, masyarakat akan merasa tidak aman terhadap kejahatan (fear of crime), dan atau semakin tidak peduli dengan kejahatan sehingga memandang segala peristiwa yang melawan kemanusiaan sebagai hal yang biasa.

Penulis adalah Guru Besar Kriminologi FISIP UI

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/05/28/index.html

Tidak ada komentar: