SURABAYA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat selama kurun waktu satu tahun (3 Mei 2007 - 3 Mei 2008) telah terjadi 60 kasus kekerasan terhadap pers dan jurnalis di Indonesia. Kekerasan itu meliputi tujuh kasus ancaman, lima kasus pelecehan, tujuh kasus pengusiran, tiga kasus pemenjaraan, empat kasus sensor berita, 21 kasus serangan fisik, dan delapan kasus tuntutan hukum.
Siaran pers AJI Indonesia dalam rangka peringatan Hari Pers Dunia yang dikeluarkan Sabtu (3/5), menyebutkan dari segi pelaku, kekerasan terhadap pers dan jurnalis yang terbanyak adalah massa dan preman, aparat pemerintah, dan aparat TNI/Polri.
Sementara dari segi wilayah jumlah kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi di DKI Jakarta, yakni 13 kasus. Sementara Jawa Timur menduduki peringkat kedua dengan 11 kasus, kemudian disusul Jabar dan Depok delapan kasus.
Contoh kasus kekerasan terhadap jurnalis antara lain menimpa dua jurnalis TV dan seorang jurnalis radio yang dikeroyok massa di alun-alun Bojonegoro karena kecewa dengan pemberitaan pers (30/4). Sebelumnya (2/4), dua jusrnalis TV-One yang sedang bertugas dianiaya oknum Angkatan Laut yang "berdinas" di kawasan bisnis Cikarang, Bekasi. Di NTT, jurnalis Expo NTT disiksa Sekretaris Daerah Ende (16/2), dan wartawan Pos Kupang dikeroyok empat orang preman terkait pemberitaan (17/2).
Selain kekerasan fisik, kebebasan pers juga terancam segelintir orang yang menggunakan kekuasaan uang atau jabatannya. Di antaranya wartawan Tempo, Metta Darmasaputra, yang melakukan investigasi dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri milik taipan Sukanto Tanoto, justru disadap dan diancam dipidanakan oleh Polda Metro Jaya (September 2007).
Juga terjadi kekerasan tidak langsung yang dilakukan aparatur penegak hukum dari Kejaksaan hingga Mahkamah Agung. Di antaranya Risang Bima Wiyaja (Radar Yogya), Dahri Uhum (Tabloid Oposisi-Medan), Majalah Time (Asia), dan Edy Sumarsono (Tabloid Investigasi-Jakarta).
Mereka dipaksa menjalani tuntutan dan putusan pemidanaan akibat pemberitaan pers. Mereka adalah korban kriminalisasi oleh negara justru pada saat Indonesia telah memiliki Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang "bersifat" lex spesialis.
Oleh karena itu, AJI menyerukan tiga hal. Pertama, meminta aparat penegak hukum tidak lagi melakukan pemidanaan terhadap karya jurnalistik dan ikut membantu menghentikan terjadinya tindak kekerasan terhadap pers dan jurnalis. Kedua, mengajak semua pihak untuk menggunakan mekanisme yang telah disediakan UU 40/1999 tentang Pers apabila menghadapi sengketa karya jurnalistik, yakni menggunakan hak jawab, hak koreksi, dan mengadu kepada Dewan Pers. Ketiga, mengajak setiap jurnalis agar meningkatkan profesionalisme dan kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik, menjauhi praktek-praktek tidak terpuji yang menjatuhkan citra pers dan jurnalis secara umum.(ANT)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar