17 Februari 2010

Rancangan Peraturan Menteri Kominfo tentang Konten Multimedia; Cakupan Pengaturan Dipertanyakan DPR

Jakarta, Kompas - Cakupan pengaturan dan sanksi dalam Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Konten Multimedia dipertanyakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Apalagi, walaupun belum diberlakukan, RPM itu sudah menimbulkan gejolak dan penolakan yang meluas.

Penolakan tidak hanya datang dari pengguna multimedia, tetapi juga dari penyelenggara jasa multimedia. Rabu (17/2), penyelenggara jasa multimedia itu di Jakarta menegaskan sikapnya. "Kami sudah menggelar rapat, dan hasilnya kami sepakat untuk menolak RPM (Rancangan Peraturan Menteri) Konten Multimedia," kata Kepala Bidang National Internet Resources Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Valens Riyadi.

Sanksi rangkap

Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Muzzammil Yusuf, mempertanyakan posisi dari RPM tentang Konten Multimedia itu. "Wilayah peraturan itu ada di mana? Jika menyangkut dunia maya, sudah ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)," katanya. Selain itu, juga ada UU No 40/1999 tentang Pers dan UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Muzzammil menuturkan, peraturan menteri biasanya mengikat ke dalam saja.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Ramadhan Pohan, berharap Menkominfo Tifatul Sembiring segera mengklarifikasi hal-hal yang menimbulkan kekhawatiran masyarakat terkait peraturan itu. Klarifikasi terutama tentang pelegalan sensor konten dari menteri karena ketentuan itu berpotensi menjadi pasal karet.

Ramadhan juga mempertanyakan ancaman sanksi berlapis dalam peraturan itu. Menkominfo bisa memberikan sanksi administrasi, dan hal itu tidak akan menghapus pertanggungjawaban pidana. "Ini harus diklarifikasi, minimal ke Komisi I," ujarnya.

Valens menjelaskan, penyelenggara jasa internet sebenarnya mendapat kewenangan luas bila RPM Konten Multimedia disahkan. Pasal 8 RPM mengatur, penyelenggara wajib memantau seluruh konten dari pengguna.

APJII mengartikan, pemerintah memberikan kewenangan kepada penyelenggara jasa internet untuk melakukan penyadapan. "Kami harus mengawasi seluruh konten yang ada. Itu artinya, kami berhak menyadap isi e-mail menteri, e-mail pejabat, dan semua e-mail pengguna," katanya. Hal itu bertentangan dengan UU ITE.

Penolakan juga disampaikan perwakilan bloger, seperti Enda Nasution dari Politikana, Pepih Nugraha (Kompasiana), Danny Oei (Kaskus), Karaniya Dharmasaputra (vivanews.com), Margiyono (Aliansi Jurnalis Independen), dan Arief Ariyanto (Lembaga Bantuan Hukum Pers).

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Selasa di Jakarta, mengingatkan, pada dasarnya setiap peraturan yang membatasi hak asasi manusia hanya dapat diatur melalui UU. Tak bisa melalui peraturan menteri saja.(ANA/DEN/NWO/NTA) http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/18/03181565/cakupan.pengaturan.dipertanyakan.dpr.

Tidak ada komentar: