12 September 2009

Karni, Si Bang One TVONE

KOMPAS/PRIYOMBODO
Karni Ilyas, Pemimpin Redaksi TV One.

Minggu, 13 September 2009 | Oleh Budi Suwarna

"Makanya, jangan melanggar hukum!" Itulah salah satu kalimat khas yang diucapkan tokoh kartun Bang One (baca: o-ne) dengan suara berat dan serak. Anda tahu siapa sebenarnya pemilik suara serak itu?

Dialah Sukarni Ilyas (57) atau lebih dikenal Karni Ilyas, wartawan senior yang kini menjabat Direktur News dan Sports tvOne. Sejak Februari lalu, Karni rutin mengisi suara Bang One untuk acara Bang One Show dan Catatan Hukum Bang One.

Bang One tidak lain adalah sosok Karni dalam wujud kartun. Lihat saja, raut wajah Bang One nyaris sama dengan raut wajah Karni. Begitu pula dengan bentuk kumisnya. Barangkali, bedanya Karni hampir tidak pernah menggerak-gerakkan kumisnya seperti yang dilakukan Bang One.

"Perut saya juga tidak buncit seperti Bang One," ujar Karni diikuti tawa lepas di tvOne Jakarta, Senin (7/9). Dia menceritakan, kelahiran Bang One dimulai dari obrolannya dengan beberapa teman wartawan bimbingan Karni di Depok, Jawa Barat. Dari situ terbetik ide untuk membuat program berita dalam format kartun. Maka, lahirlah kartun Bang One yang berprofesi sebagai wartawan gigih, cerewet, dan gampang prihatin pada setiap persoalan sosial bangsa.

"Ini pertama kali ada program berita dalam bentuk kartun. Di CNN saja tidak ada," kata Karni, bangga.

Bang One, lanjut Karni, merupakan terobosan baru tvOne yang cukup penting. Bahkan, tokoh ini sudah menjadi ikon tvOne.

Belakangan, pengelola program berita, majalah, dan bincang-bincang di televisi rajin mencari terobosan baru. Sebelum tvOne mengawinkan reportase/bincang-bincang dengan kartun, stasiun televisi lain sudah mengawinkan berita dengan musik, bincang-bincang dengan lawak, bahkan ceramah agama dengan lawak dan kuis.

Buat Karni, terobosan macam itu sah-sah saja. "Itu semua kan bumbu-bumbu. Tapi isi tetap harus diperhatikan," katanya.

Jaringan

Bang One hanyalah satu peran yang dilakoni Karni di tvOne. Peran lainnya adalah sebagai Direktur News dan Sports tvOne (setingkat pemimpin redaksi) dan pembawa acara Di Balik Langit Berita. Terkadang, dia juga muncul sebagai reporter, bahkan narasumber yang diwawancarai wartawan.

Rupanya, Karni telah mengecap semua peran penting dalam sebuah industri siaran berita. Tidak heran jika ialah satu-satunya petinggi stasiun televisi yang rutin tiga kali seminggu muncul di layar kaca. "Saya senang dengan peran saya," katanya.

Karni terjun ke industri televisi sejak tahun 1999. Sebelumnya, dia malang-melintang di media massa cetak sejak tahun 1972. Apa yang mendorong Karni masuk ke industri televisi?

"Televisi itu sangat cepat menyampaikan berita meski buat saya beritanya ecek-ecek dan tidak ada kedalaman. Televisi juga mampu menjangkau jutaan pemirsa. Kalau majalah atau koran paling ratusan ribu," ujar Karni.

Kepuasannya, lanjut Karni, memang berbeda. Dulu, sebagai penulis di majalah Tempo dan Forum Keadilan, Karni puas jika membuat tulisan mendalam. "Sekarang saya puas kalau bisa menyampaikan berita sesegera mungkin kepada pemirsa."

Karni mengawali kariernya di televisi dengan memimpin Liputan 6 SCTV tahun 1999-2005. Dia kemudian melompat ke ANTV untuk selanjutnya ke tvOne sampai kini. Selama bergelut dengan dunia penyiaran televisi, Karni memberi beberapa kejutan kepada pemirsa.

"Waktu saya di SCTV, (Liputan 6) mengeluarkan rekaman (kekerasan) di STPDN. Seluruh Indonesia gempar," katanya.

Di ANTV, Karni memimpin liputan eksklusif penyerbuan gembong teroris Dr Azahari di Batu, Jawa Timur.

Di bawah Karni, divisi pemberitaan tvOne sangat agresif meliput peristiwa-peristiwa khusus, seperti eksekusi mati Amrozi dan kawan-kawan serta penyerbuan pelaku teroris di Temanggung.

Bagaimana Karni bisa memiliki akses luas untuk meliput peristiwa penting? Orang percaya, dia memiliki kedekatan dengan polisi, militer, dan birokrasi sehingga mendapat akses liputan lebih leluasa. Benarkah?

"Ha-ha-ha, jaringan saya bukan hanya militer dan birokrasi. Jaringan saya di mana-mana. Ke mana saya pergi (bekerja), jaringan itu saya bawa," katanya.

Dia mengaku membuat jaringan sejak menjadi wartawan di majalah Tempo dan Forum Keadilan. "Semua wartawan pasti membuat jaringan. Bedanya, saya memelihara jaringan itu sampai sekarang," kata Karni yang terjun ke dunia wartawan sejak tahun 1972.

Meski demikian, Karni menegaskan kedekatannya dengan kalangan militer, polisi, dan birokrasi tidak mengganggu kemerdekaannya sebagai wartawan. "Saya bisa menjaga jarak. Antasari (Azhar) itu teman saya. Tapi, kalau bikin masalah, saya beritakan juga," katanya.

Tiga jabatan setingkat pemred di tiga stasiun televisi berbeda cukup menjadi bukti bahwa Karni diperhitungkan di kalangan wartawan televisi. Meski begitu perjalanan kariernya tidak selalu mulus.

Setidaknya, tvOne yang dia pimpin sempat mendapat kritik tajam karena dinilai mendramatisasi berita penyerbuan tersangka teroris di Temanggung. Berkaitan dengan hal itu, dia menjawab, "Saya sudah ingatkan (reporter) soal itu. Saya tidak setuju dengan dramatisasi. Itu tidak akan bertahan. Yang bertahan yang faktual." Dan yang faktual itulah yang kini menjadi problem dalam jurnalisme televisi kita karena terlalu berorientasi pada kecepatan.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/13/04494837/karni.si.bang.one

Surat Komjen Pol Susno Duadji Kepada Pemred Media Massa

Sabtu, 12/09/2009 15:04 WIB
Didit Tri Kertapati - detikNews



Jakarta - Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji berang dengan pemberitaan negatif dirinya terkait kasus Bank Century. Dia pun sangat kecewa terhadap Majalah Tempo edisi terbaru yang memuat berita kasus itu dengan mengaitkan dirinya.

Kekecewaan Susno ini diungkap dalam surat yang dikirimkan kepada para pemred media massa, Sabtu (12/9/2009) lewat email. Susno yang menggunakan account susno_duadji@yahoo.com menulis surat yang sangat panjang. Selain menyampaikan kekecewaannya, Susno juga mengklarifikasi tentang kasus Bank Century.

Sebelum mengirim surat kepada para pemred, Susno juga mengirimkan pesan yang sama lewat SMS kepada para wartawan yang biasa meliput di Mabes Polri.

Berikut surat Susno Duadji yang juga dikirimkan kepada redaksi detikcom (tulisan sudah diedit, karena surat yang dikirim menggunakan banyak singkatan-Red):

Kepada yth: Pemred Media Massa

1. Untuk tidak terulang lagi seperti apa yang ditulis oleh majalah Tempo dengan judul berita yang ditampilkan di halaman sampul depan Tempo edisi 14-20 September 2009  "AKSI SUSNO DI CENTURY........dst Ada apa di balik itu ?"  dan isi berita hal 23 "AKSI Susno di Century" yang tidak lagi mengindahkan norma dan etika pemberitaan. Padahal semula saya sangat  bangga dan percaya kepada Majalah Tempo karena saya yakin Tempo pasti akan memelihara TRUST pembaca dengan menyajikan informasi yang didukung fakta, bukan praduga dan kesimpulan subjektif penulis berita yang sudah diracuni opini publik.

2. Keyakinan ini bertambah setelah Tempo kalah digugat Hercules atas pemberitaan Tempo yang mengabaikan norma dan etika, tidak lagi mengindahkan kode etik jurnalis.

3. Ternyata dugaan saya meleset, terbukti dengan adanya judul berita yg ditampilkan di halaman sampul depan Tempo edisi 14-20 September 2009  "AKSI SUSNO DI CENTURY........dst Ada apa di balik itu ?"  dan isi berita hal 23 " AKSI Susno di Century".

4. Sama sekali isi berita itu tidak di-crosscheck pada saya. Kalau saja Tempo mau buka file, banyak sekali penjelasan saya tentang materi berita itu, tapi Tempo abaikan. Antara lain: 

a) Sama sekali saya tak pernah panggil pimpinan Century ke Bareskrim. Yang benar, mereka yang meminta difasilitasi dan minta tempat di Bareskrim. Bisa di-crosscheck pada saudara Lucas, pengacara Bapak BS (Budi Sampurna) atau pada pimpinan Century.

b) Yang meminta surat klarifikasi justru pimpinan Century via pengacara Budi Sampurna sdr Lucas, bukan saya. Saya justru heran dan bertanya kenapa harus pakai surat, padahal sudah diklarifikasi dan rekening sudah ditelusuri bersama. Koq repot. Kan tinggal cek pada Pak Lucas selaku pengacara, dan pimpinan Century.

c) Perintah membayar ? Aneh kalau dituduh saya yang memerintahkan membayar. Tugas Bareskrim terkait kasus bank Century adalah: Pertama, menyidik kejahatan perbankan-nya. Kedua, ikut dalam tim menelusuri aliran dana pd berawal dari bank Century untuk menentukan mana yang kealiran dana hasil kejahatan bank Century untuk diblokir dan disita oleh penyidik Bareskrim, dan rekening yang tidak teraliri uang haram bank Century langsung bisa beraktivitas seperti semula.
Peranan Bareskrim jelas sekali. Contoh, menelusuri dana milik BS sebesar US $ 18 juta untuk menentukan ada/tidak dana tersebut. Dan kalau hilang, siapa yang curi untuk kemudian dijadikan tersangka dan dananya dicari untuk dibekukan dan disita. Itu tugas Bareskrim. Aneh kalau mempertanyakan kenapa Bareskrim melakukan hal itu dan menuduh campur tangan. Justru dengan si jurnalis memuat pendapat pribadinya mempertanyakan keberadaan Bareskrim, justru si jurnalis telah mempersoalkan/campur tangan dalam urusan penegakan hukum. Lupa kalau dia adalah seorang jurnalis.
Kabareskrim membuat surat bahwa rekening Pak Budi Sampurna gak ada urusan lagi sama kriminal. Lu harus bayar tentunya donk. Dan saya baik hati kasih tau ingat Pak BS melalui pengacaranya telah mengadukan Century karena tidak mau bayar. Itu namanya penggelapan.

Aneh jurnalis Tempo mengajari saya dengan kalimat semestinya saya harus begini dan begitu... Loh jelas tersentak saya membacanya. Ditulisnya pada halaman bergengsi yang mestinya memuat tulisan wartawan senior yang ahli pada bidangnya.

c) Siapa yang menelusuri aliran dana dan menentukan terlibat uang haram/tidak, dapat dibayar/tidak, bukan Susno pribadi, melainkan oleh tim gabungan  (BI, Century, Polri, PPATK) yang kerja keras menelusuri aliran dana, dan dana Pak Budi Sempurna sudah diputuskan statusnya clear, masih gak bisa dibayaran katanya Century sudah digrojoki duit lebih daripada  yang diperlukan. Ada apa ini ! 

d) Sampai dengan saat ini, dana tersebut tidak bisa cair walau sudah clear. Ada apa ?  

e) Saya sangat membantu menjaga Century supaya tidak ambruk. Buktinya walau manajemen Century sudah dilaporkan resmi lebih dari 6 bulan masih juga belum diproses, tentu tujuannya supaya tidak terjadi rush ke dua agar trust pada Bank Century tetap terpelihara. Salahkah saya ?

5. Kenapa ya kalau fakta berupa: Bareskrim berhasil melacak dan membekukan asset owner century dan keluarga serta pelaku kejahatan bank Century lainnya di LN sudah dibekukan dan sedang diproses untuk kembali ke Indonesia senilai Rp 13 Triliun dan di dalam negeri sekitar Rp 1,1 Triliun, kok tidak diberitakan. Padahal ini fakta dan informasi ini yang ditunggu masyarakat dan para korban. Tapi Tempo enggan memberitakan fakta dan kebenaran serta kebaikan.
Mungkin masih dibayangi pradigma jurnalis lama yaitu selalu diawali dengan contoh kalimat: menurut issue tak sedap yg beredar... atau .... Menurut isu beredar... Apakah wajar media yang sedewasa Tempo merelease berita yg tak jelas sumbernya atau menurut tafsir pribadi yang subjektif, saya kecewa berat bukan karena dizolimi pemberitaan, tapi harapan dan impian saya makin jauh  dari kenyataan, yaitu kapan Indonesia punya media sekaliber time ?

6.  Terus, ada apa dengan berita Tempo yang memojokkan saya. Siapa yang pesan? Jangan korbankan TRUST public demi oplah sesaat !

7. Koq tempo mengarah kepada pemberitaan sensasi atau gosip, sayang donk !

8. Susno tidak perlu dilindungi dari kesalahan, tidak perlu dipuja. Saya sudah menghapus kata-kata off the record dari kamus saya.

9. Mari kita berjuang memberantas ketidakadilan atas nama penegakan hukum, korupsi, penyalahgunaan wewenang dll penyakit yg menghancurkan negeri ini. Selamat berjuang, saya yakin mayoritas jurnalis adalah berjuang untuk rakyat dan merah putih. Mohon maaf kalau ada kata yg salah.

Regards,

Susno Duadji

Pemred Tempo: Kalau Pak Susno Keberatan, Silakan Gunakan Hak Jawab

Sabtu, 12/09/2009 15:32 WIB
Arifin Asydhad - detikNews


Jakarta - Pemred Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo Toriq Hadad tidak mempermasalahkan sikap Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji yang menulis surat kepada pemred-pemred media massa. Bila memang kecewa dengan pemberitaan Tempo, Susno diminta menggunakan hak jawab.

"Saya kira Pak Susno bisa menggunakan hak jawab sesuai UU yang berlaku. Silakan Pak Susno tulis surat pembaca ke Tempo," kata Toriq Hadad saat dihubungi detikcom, Sabtu (12/9/2009).

Toriq membantah Tempo tidak melakukan klarifikasi terhadap Susno atas tulisan Laporan Utama tentang kasus Bank Century itu. "Silakan dilihat sendiri, kami sudah mewawancarai Pak Susno," kata Toriq.

Toriq sudah mengetahui surat Susno yang ditujukan kepada para pemred media massa yang salah satunya berisikan protes terhadap Tempo. Namun, dia tidak mempermasalahkannya. "Ya gak apa-apa. Semua orang punya hak untuk menulis surat kepada siapa saja," kata dia.

Dalam Laporan Utama majalah Tempo, wawancara dengan Susno dimuat di jalaman 82. Wartawan Tempo mewawancarai Susno di sebuah restoran di Jalan Haji Agus Salim, Menteng, Jakarta Pusat, bersama beberapa wartawan media lain.

Dalam wawancaranya, Susno menjelaskan tentang keterlibatannya dalam proses pencairan dana milik Budi Sampoerna di Bank Century. Namun, Susno menegaskan tidak hanya mengurus dana Budi Sampoerna, tapi juga nasabah besar lainnya.

Susno membantah menerima bagian 10 persen atas proses pencairan uang itu. "Boro-boro. Saya malah yang mencarikan. Ongkos saya ke luar negeri juga belum diganti," ungkap Susno seperti ditulis Tempo.

Dalam Laporan Utamanya, Tempo juga mewawancarai Lucas, pengacara Budi Sampoerna.  (asy/gah)
http://www.detiknews.com/read/2009/09/12/153235/1202228/10/pemred-tempo-kalau-pak-susno-keberatan-silakan-gunakan-hak-jawab

Ramadhan di Layar Kaca

Oleh: Danang Sangga Buwana
(peneliti The Icon Institute)

Bulan suci Ramadhan merupakan keistimewaan tahunan bagi umat Muslim. Di Indonesia, aura Ramadhan terasa sedemikian berbeda dengan bulan-bulan lain. Semua umat Muslim yang berjumlah mayoritas merayakan bulan ini dengan pelbagai peningkatan keimanan. Puasa, tarawih, tadarus, dan bentuk amaliah lainnya menjadi bagian tak terpisahkan. Tak hanya aktivitas keagamaan, hampir semua level kehidupan menyatu dalam ritmis Ramadhan. Di sektor ekonomi, mulai dari pasar tradisional hingga pasar swalayan, menyediakan menu buka puasa dan sahur. Tak jarang bermunculan pasar 'dadakan' di pinggiran jalan dengan pelbagai menu khas masing-masing.

Seolah tak ingin kalah, dunia media juga ikut meramaikan kehadiran Ramadhan. Pelbagai koran harian dan majalah mingguan menyediakan space khusus peliputan tentang Ramadhan. Demikian halnya layar kaca. Beragam sajian layar kaca tampak lebih Islami dibandingkan bulan-bulan biasa. Sebut saja sinetron Islami, komedi ringan disertai kuis interaktif, dan ceramah rohani pendek merupakan jenis acara yang kerap ditemui di berbagai stasiun televisi. Semua tayangan itu melegitimasi aspek religiositas nilai keimanan sebagai bagian dari napas bulan suci. Benarkah demikian?

Ideologi layar kaca
Pertanyaan di atas merupakan sebuah kecurigaan wajar jika dialamatkan kepada pelbagai acara, yang digelar stasiun televisi swasta nasional. Jauh hari seorang profesor dan pengamat media, Dedi N Hidayat, mengingatkan bahwa dunia media tak dapat dilepaskan dari logika  never ending of circuit capital accumulation (perputaran akumulasi kapital yang tak pernah usai). Di sini, sang Profesor memaksudkan bahwa apa pun motif tayangan televisi dan berita, ia tak dapat lepas dari orientasi akumulasi kapital ( profit oriented ). Pernyataan itu didukung oleh fakta pergeseran ideologis pertelevisian nasional. Jika sebelumnya masih tersisa idealisme berupa 'kejernihan berita' dan 'pencerdasan masyarakat', kini setidaknya hampir satu dasa warsa mengudara ideologi televisi bergeser kearah perolehan 'rating-share'.

Rating-share dimaksudkan sebagai tolak ukur kepeminatan pemirsa terhadap sebuah tayangan televisi. Demi peningkatkan kepeminatan, televisi akan melakukan pelbagai cara, kreasi, dan inovasi bahkan hingga menembus batas normatif. Di titik ini, televisi berposisi di antara dua pilihan simalakama. Pilihan pertama, agar rating naik, upaya apa pun harus dilakukan hingga kadar tayangan yang paling kontroversial. Pada posisi demikian, tak jarang televisi telah menerobos aturan baku etis penayangan berita ataupun hiburan. Pilihan kedua, mempertahankan idealitas baku (sesuai normalitas standar pemberitaan dan hiburan), yang seringkali dianggap sebagai batu penghalang bagi perlombaan mendulang pemirsa.

Faktanya, hampir semua televisi memilih yang pertama. Lantas muncul apologi pilihan ketiga, yaitu tetap berpretensi menaikkan rating, namun tetap berada pada jalur normatif penyiaran.
Bagi penulis, apa pun alasannya, pendek kata layar kaca kita saat ini telah mempunyai ideologi baru bernama 'rating-share'. Mengapa harus  rating-share ? Karena hanya dengan tingginya angka rating, akan didapatkan keuntungan melimpah. Berdasarkan konstruksi fakta ini, kecurigaan yang dialamatkan kepada tayangan spesial Ramadhan yang disajikan oleh semua televisi swasta nasional, layak dikemukakan dan diapresiasi.

Bisnis Ramadhan
Tayangan televisi memang kreatif, cerdas, dan inovatif. Buktinya, sajian keagamaan dapat dikemas sedemikian rupa menjadi tayangan menarik untuk sebuah hiburan. Secara sepintas, seolah televisi telah berperan menjadi media peningkatan aspek religiositas dibulan Ramadhan. Memang ada beberapa  space khusus dakwah para dai. Namun, lebih banyak acara dakwah itu diramu dalam sebuah komedi maupun sinetron, termasuk kuis. Maka sebenarnya, religiositas itu hanya sebatas  preface religiosity . Sebuah religiositas sebatas permukaan, yang lebih dominan menonjolkan aspek hiburan.

Jika diamati lebih jeli, terdapat perpindahan program unggulan ( prime time ) ke jam tayang waktu sahur, alasannya untuk menghormati dan menyemarakkan Ramadhan. Padahal faktanya, pergantian jam tayang itu sangat efektif menaikkan  rating . Bahkan, di bulan suci ini stasiun televisi akan mendapatkan keuntungan yang berlipat. Contohnya, jika waktu  prime time (18.00-22.00 WIB) dibulan non-Ramadhan hanya sekali, di bulan Ramadhan bisa dua kali, yakni pada waktu sahur antara pukul 02.00-05.00 WIB. Data dari pemeringkat  rating ternama menyebutkan, jumlah penonton di waktu sahur mengalami peningkatan di atas seribu persen jika dibandingkan bulan biasa di waktu yang sama. Jadi,  prime time ganda inilah yang mendulang kantong industri layar kaca.

Selain itu, secara keseluruhan potensi audiensi di bulan Ramadhan meningkat hingga 30 persen, jumlah yang cukup signifikan bagi  performance program televisi yang berujung pada meningkatnya pendapatan iklan. Dengan demikian, bisa jadi  rate card iklan juga mengalami perubahan jika program-program Ramadhan dikemas secara khusus (spesial). Mengutip pernyataan Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, KH Solahuddin Wahid (Gus Solah). Baginya, program Ramadhan di televisi masih menjadi bagian dari 'bisnis Ramadhan'.

Maraknya tayangan kuis dan sinetron Ramadhan kian kentara aspek 'pembisnisan' Ramadhan untuk meraup iklan sebanyak mungkin. Tayangan Ramadhan seringkali mengurangi nilai Ramadhan, karena menghilangkan waktu untuk menyempatkan umat Islam melakukan tadarus Alquran dan tarawih. Bahkan, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) menyebutkan, ada 450 adegan yang tidak layak tayang pada program Ramadhan. Adegan tersebut mengandung unsur kekerasan dan pelecehan dalam lelucon yang ditampilkannya.

Bisnis Ramadhan televisi dapat diamati dari aspek keseragaman tayangan. Sinetron Islami, komedi ringan disertai kuis interaktif menjadi fenomena keseragaman tayangan Ramadhan di negeri ini. Keseragaman ini adalah suatu bentuk konformitas. Konformitas dalam hal ini merupakan kesamaan dalam mengunggulkan acara-acara yang diperkirakan dapat meningkatkan minat masyarakat untuk menonton acara tersebut. Ada semacam kelatahan dari pengelola acara-acara televisi untuk melihat keberhasilan suatu acara, kemudian diikuti. Keberhasilan suatu acara akan memberi keuntungan yang besar kepada pengelola acara televisi tersebut. Hal ini sesuai dengan ide kapitalisme.

Ide kapitalisme ini juga terkait dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam. Eksploitasi umat mayoritas inilah yang dimanfaatkan pengelola media untuk meraih keuntungan sebesar mungkin. Pengelola media berusaha memperoleh simpati masyarakat, dengan menghadirkan acara-acara yang sesuai dengan  event yang sedang berlangsung, terutama bagi masyarakat yang dominan. Acara-acara sesuai  event yang ditayangkan, diharapkan akan banyak diminati oleh masyarakat yang berujung pada keuntungan hasil tayang iklan.

Di atas segalanya, pelbagai faktor yang melatari acara televisi di bulan Ramadhan niscaya menjadi koreksi tersendiri bagi industri media, sekaligus menjadi catatan bagi para pemirsa. Memang tak ada salahnya Ramadhan menjadi momen mengembangkan bisnis tayangan layar kaca. Namun, alangkah baiknya jika dalam waktu satu bulan ini semua pihak ikut berpuasa. Tak sekadar menahan lapar dan dahaga dari Subuh hingga Maghrib, namun menahan segenap gairah dan tujuan duniawi meningkatkan  rating . Sebab, apa pun bentuk legitimasi religiusnya, tayangan televisi tak lebih dari sekadar memberikan sebentuk  preface religiosity . Barangkali memang sebatas itulah penampakan Ramadhan di layar kaca!

Kini, pelaku industri televisi sebaiknya duduk bersama membuat sebuah moratorium agar pemirsa terbiasa, dengan program yang cerdas dan mencerahkan. Sehingga, idiom klasik 'mengikuti selera pasar' bisa dibalik dan di- drive oleh para pelaku industri TV, dengan komitmen tinggi terhadap konsepsi mencerdaskan bangsa. Jika ini bisa terwujud, atau setidaknya terpikirkan sejak awal, televisi sebagai entitas industri akan maksimal dalam mewujudkan misinya untuk menyajikan tayangan-tayangan yang mendidik, tanpa mengganggu kepentingan bisnisnya.(Kamis, 10 September 2009)
http://www.republika.co.id/koran/24/75368/Ramadhan_di_Layar_Kaca

Tayangan Ramadhan Kok Sarat Kekerasan?

Untungnya, masih ada tayangan Ramadhan yang layak tonton. Para Pencari Tuhan , salah satunya.

Antusiasme seluruh pengelola stasiun televisi untuk menyambut, menyemarakkan, dan memberi warna pada bulan suci Ramadhan 1430 H ini cukup menggembirakan. Sayangnya, beberapa program yang mereka sajikan tergolong tayangan hiburan yang kurang mendidik, tidak etis, mengandung kata-kata jorok, dan sarat adegan kekerasan.

Hal itulah yang memicu protes dari sejumlah pemirsa televisi. Adapun program Ramadhan yang cukup banyak mendapat protes di antaranya:  Opera Van Java Sahur (Trans 7),  Saatnya Kita Sahur dan  Suami-suami Takut Istri (Trans TV).

Tak sedikit pemirsa yang geram melihat tayangan-tayangan itu. Salah satunya, Darmadi. Lewat surat elektronik ( e-mail ), pemirsa asal Jawa Timur ini melayangkan protes ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Ia mengecam tayangan  Opera Van Java Sahur yang menurutnya kerap menampilkan adegan kekerasan. Pada salah satu episode misalnya, ia melihat beberapa pemain terjatuh dan kesakitan lantaran dikerjai pemain lain.

Hal senada dikatakan Dundi Fajar. Ia mengaku keberatan dengan adegan kekerasan dalam  Opera Van Java Sahur seperti memukul kepala atau menjatuhkan lawan main dengan kasar. ''Walau memukulnya dengan benda ringan atau  styrofoam tapi tindakannya kasar dan kalau dilihat anak-anak pasti akan ditiru. Saya jadi risih menontonnya,'' ujar pemirsa asal Jawa Barat ini.

Sedangkan Novi Ayu, pemirsa yang tinggal di Jakarta, memrotes tayangan  Saatnya Kita Sahur (Trans TV). Ia menilai, program ini kerap menampilkan adegan kekerasan, pelecehan fisik, juga tidak cerdas dalam membuat pertanyaan berhadiah.

Menanggapi hal ini, Hadiansyah Lubis,  manager head of marketing public relations Trans TV, mengatakan, tayangan yang disajikan dalam program  Saatnya Kita Sahur sebenarnya masih dalam batas-batas yang wajar. ''Tapi kalau memang ada masukan dan kritik pemirsa tentunya kami akan tindak lanjuti dan mencoba melakukan perbaikan-perbaikan materi,'' katanya.Sementara Anita Wulandari,  manager of public relations Trans 7, belum berhasil dihubungi untuk dimintai komentar perihal tayangan  Opera Van Java Sahur .

Pemantauan
Pemantauan terhadap tayangan Ramadhan ini dilakukan oleh KPI Pusat bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo). Dari hasil pemantauan disimpulkan, unsur hiburan yang tidak mendidik masih mendominasi tayangan Ramadhan. ''Minggu pertama bulan Ramadhan ini, masih banyak acara TV yang belum memberikan nuansa agamis,'' kata Fetty Fajriaty, wakil ketua KPI Pusat dalam siaran pers yang disampaikan ke  Republika .

Dari hasil pemantauan, ditemukan 425 adegan tak layak seperti kekerasan, mistik, dan cabul. ''Program masih mengedepankan hiburan lelucon yang disajikan dengan kata-kata kasar, makian, memperolok-olok, merendahkan, dan melecehkan,'' ungkap Fetty.

Untungnya, tak semua tayangan Ramadhan seperti itu. Masih ada program Ramadhan yang layak tonton karena memuat nilai-nilai positif dan edukatif. Terkait dengan hal ini, MUI memberi penghargaan kepada TVRI, TV One, dan Metro TV karena telah menayangkan program Ramadhan yang lebih banyak bermuatan positif dan edukatif. Penghargaan juga diberikan kepada sinekuis  Para Pencari Tuhan (SCTV), sinetron  Anak Membawa Berkah dan  Amira (Indosiar), serta  .

I> (O'Channel). ''Program-program ini sudah cukup baik memberikan pesan moral pada saat Ramadhan,'' kata M Said Budairy, selaku wakil dari MUI.

MUI berharap, segala kritik dan masukan dapat mendorong pengelola stasiun televisi untuk meningkatkan kualitas tayangan Ramadhan. ''Kritik dan masukan itu bukan untuk membunuh industri televisi tetapi sebagai bentuk kepedulian untuk membangun tumbuhnya media massa yang bermartabat dan bermanfaat,'' tegas Said.  rusdy nurdiansyah

http://www.republika.co.id/koran/43/74717/Tayangan_Ramadhan_I_Kok_I_Sarat_Kekerasan

10 September 2009

Televisi Lokal Belum Tonjolkan Informasi Daerah

Jumat, 11 September 2009 | MEDAN, KOMPAS.com--Siaran televisi swasta di Medan saat ini belum menunjukkan identitas sebagai televisi lokal, ditandai dengan kurangnya penayangan siaran atau berbagai informasi daerah dan lebih mengutamakan siaran nasional.

Hal itu diungkapkan Sekretaris Forum Komunikasi Antar Lembaga Adat (Forkala) Sumut, Daeng Malewa, di Medan, Kamis, karena harusnya televisi lokal banyak menyajikan siaran berita daerah, seperti berita budaya.

Televisi swasta lokal harusnya berusaha menyiarkan hal-hal positif kepada masyarakat, agar penonton khususnya anak-anak dan remaja dapat memilih tayangan apa yang baik untuk dipilih dan ditonton.

Kebanyakan masyarakat Kota Medan tidak mengetahui bagaimana keadaan kotanya sendiri, karena televisi lokal jarang menyajikan informasi pembangunan pendidikan, kesehatan, olah raga dan kebudayaan daerahnya sendiri.

"Banyak hal yang bisa digali dan dijadikan informasi kepada masyarakat mengenai situasi Kota Medan. Jangan sampai generasi muda kita terpengaruh dengan tayangan televisi nasional yang kebanyakan menampilkan budaya barat," ungkapnya.

Sementara itu, menurut Daeng, televisi Indonesia masih banyak yang mengutamakan kepentingan bisnis dan tidak memperhatikan moral anak bangsa, seperti tayangan sinetron yang sama sekali tidak mengandung unsur pendidikan di dalamnya.

"Sebagian tayangan sinetron Indonesia hanya bisa menampilkan unsur hiburannya saja, jarang sekali kita bisa mengambil manfaat dari ceritanya," katanya.

Dia berharap, televisi swasta lokal dapat menjadi sumber informasi dengan melestarikan budaya-budaya bangsa khususnya di Kota Medan agar para generasi muda lebih mengetahui dan mencintai budaya sendiri. JY

Sumber : Ant
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/09/11/0243489/Televisi.Lokal.Belum.Tonjolkan.Informasi.Daerah

Iklan Rokok Konstitusional

Jumat, 11 September 2009 | Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi menyatakan, ketentuan yang mengatur siaran iklan niaga yang mempromosikan produk industri rokok tetap sah dan konstitusional. Melarang iklan rokok justru bertentangan dengan konstitusi.

Demikian terungkap dalam putusan uji materi Undang-Undang Penyiaran, khususnya Pasal 46 Ayat (3) yang dipersoalkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Jawa Barat, dan dua anak Indonesia, yang dibacakan Kamis (10/9).

Meskipun dinyatakan konstitusional, empat hakim konstitusi, yaitu Maruarar Siahaan, Muhammad Alim, Harjono, dan Achmad Sodiki, menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Keempat hakim itu berpendapat bahwa seharusnya iklan rokok dilarang.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan, kegiatan mengomunikasikan dan menyampaikan informasi dalam bentuk iklan promosi rokok dijamin konstitusi, khususnya Pasal 28 F. "Larangan iklan rokok melanggar hak konstitusional setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi seperti dijamin Pasal 28 F UUD 1945," demikian putusan MK.

Pihak MK juga menilai, melarang iklan rokok dalam iklan siaran niaga tak akan efektif. Pasalnya, perusahaan industri rokok tetap dapat mengiklankan produknya melalui media periklanan lain, seperti kegiatan-kegiatan olahraga, musik, internet, satelit, media cetak, ataupun media luar ruang.

Pihak MK juga menilai sektor industri rokok harus diberi kesempatan sama dengan industri-industri lain dalam melakukan pengenalan dan pemasaran produknya.

Dalam dissenting opinion-nya, Maruarar menyoroti pembatasan iklan rokok di banyak negara yang sudah mulai dilakukan. Akibatnya, industri rokok merelokasi diri ke negara maju karena tak dapat berpromosi dan ekspansi secara bebas di negara asalnya.

Terkait pembatasan iklan rokok, menurut Maruarar, perlindungan terhadap hak hidup generasi muda bangsa merupakan dasar rasional bagi pembatasan hak asasi kelompok tertentu. Apalagi target atau sasaran iklan rokok jelas untuk menggaet pelanggan atau konsumen baru.

Maruarar menyatakan, membolehkan segala bentuk promosi rokok akan menempatkan Indonesia dalam posisi tidak konsisten dengan komitmen konstitusi untuk perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan perlindungan anak.

Adapun Achmad Sodiki menyatakan, bobot hukum merosot karena hukum tidak peduli dengan ancaman kematian melalui zat yang terkandung dalam rokok terhadap siapa pun yang akan mewariskan generasi penerus yang loyo dan lemah.

"Lalu, kebanggaan apa yang hendak diraih dengan merenggut masa depan anak-anak bangsa ini jika hukum ternyata tidak mampu memadamkan puntung rokok? Hukum telah melupakan tugasnya, yaitu memanusiakan manusia dan memuliakan manusia," ujarnya. (ANA/LOK)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/11/03464755/iklan.rokok.konstitusional

Tayangan Ramadhan Tak Mencerdaskan

Jumat, 11 September 2009 | Jakarta, Kompas - Jaringan televisi tidak menyajikan tayangan yang mencerahkan dan mencerdaskan. Tayangan sepanjang bulan Ramadhan hanya bersifat hiburan yang tidak mencerdaskan.

Demikian pendapat beberapa seniman dan pemerhati pertelevisian. Mereka adalah Asril Koto dan Ferli Zulhendri (pengamat media di Bandung). Keduanya dimintai tanggapan, Kamis (10/9), tentang tingginya rating acara-acara yang khusus dikemas untuk bulan Ramadhan pada waktu sahur dan buka puasa.

"Itu semua hanya menilai secara kuantitatif. Padahal, mestinya selama Ramadhan program dakwah keagamaan diperbanyak," kata Asril Koto.

Menurut dia, pemirsa sebenarnya mengharapkan tayangan yang mencerahkan dan mencerdaskan. Tidak seperti sekarang, yang dominan komedi atau reality show yang hanya sebatas hiburan, tidak mencerdaskan.

Dipaksa menonton

Senada dengan itu, Ferli mengatakan, nasib pemirsa televisi seolah dipaksa menonton dan tak ada pilihan lain pada saat bersamaan, baik saat sahur maupun saat buka puasa.

"Hampir semua stasiun TV menayangkan program serupa, tidak ada yang berani menawarkan program lain yang mencerdaskan pemirsanya," katanya.

Sepanjang hari selama Ramadhan porsi tayang program hiburan dan religi di televisi lebih besar daripada sebelumnya, bertambah 3 persen menjadi 27 persen dari total jam tayang sehari. Porsi tayang program religi bertambah dari 3 persen menjadi 6 persen total jam tayang sehari.

"Meskipun demikian, program reality show dan sinetron masih merajai kepemirsaan TV saat buka," kata Hellen Katherina, Associate Director Marketing & Client Service AGB Nielsen Media Research, saat mengungkapkan hasil survei kepada pers di Jakarta, Kamis (10/9).

Rating lima besar tayangan saat buka adalah "Take Me/Him Out Indonesia" (Indosiar), "Termehek-mehek" (Trans), "Cinta dan Anugerah" (RCTI), "Para Pencari Tuhan Jilid 3" (SCTV), dan "Manohara" (RCTI).

Menurut dia, durasi menonton program hiburan bertambah menjadi rata-rata 21 menit per hari saat sahur.

Survei dilakukan 22 Agustus-7 September di 10 kota besar di Indonesia antara lain Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta, dan Banjarmasin, dengan populasi 46.719/473 individu usia 5 tahun ke atas.

Hellen mengatakan, penonton saat sahur (02.00-05.00) naik 10 kali lipat dalam dua minggu pertama bulan Ramadhan. (NAL)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/11/03491059/tayangan.ramadhan.tak.mencerdaskan

09 September 2009

Ancaman Pemberangusan Pers

Sanksi Pidana UU Rahasia Negara Sangat Berat

Kamis, 10 September 2009 | Jakarta, Kompas - Pemerintah diminta mengubah ketentuan sanksi pidana dalam Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara yang berpotensi memberangus kebebasan pers, pembredelan perusahaan media massa, dan pengkriminalan jurnalis.

Sanksi semacam itu dinilai masih mendominasi dalam sejumlah pasal dalam RUU Rahasia Negara dan menjadi salah satu sumber kecaman elemen masyarakat sipil dan pers. Ketentuan soal sanksi pidana ada dalam Bab X Pasal 42-49 RUU tersebut.

Dalam rapat pembahasan, Rabu (9/9), anggota Panja RUU Rahasia Negara, Dedi Djamaluddin Malik dari Fraksi Partai Amanat Nasional, mengingatkan, ancaman sanksi denda dengan angka nominal tinggi akan membebani media massa dan bahkan membangkrutkan perusahaannya.

"Padahal, kemampuan perusahaan media massa, apalagi di daerah-daerah, berbeda-beda. Kalau dendanya sampai miliaran atau bahkan ratusan miliar rupiah, dipastikan perusahaan-perusahaan media massa akan bangkrut dan mati," kata Dedi.

Selain sanksi denda, ketentuan dalam Pasal 49 RUU Rahasia Negara juga berpotensi memberangus media massa.

Dalam pasal itu diatur tentang sanksi terhadap korporasi yang melanggar ketentuan tentang kerahasiaan negara.

Sebuah korporasi dapat diancam hukuman berada di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang jika terbukti melanggar UU tentang Rahasia Negara.

Menolak keras

Dari sejumlah alasan tersebut, Masyarakat Pers Indonesia pada Selasa kemarin mendatangi Panja RUU Rahasia Negara dan menyatakan sikap resmi menolak keras isi RUU Rahasia Negara rancangan Departemen Pertahanan.

Meski begitu, Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi dan Politik Agus Brotosusilo membantah semua kekhawatiran tadi. Bantahan itu dia sampaikan baik dalam rapat panja maupun kepada wartawan seusai rapat.

Agus menyatakan, pemerintah bahkan telah merevisi dan akan menyampaikan hasil perubahan tersebut dalam rapat-rapat panja berikutnya. Revisi dibuat agar semua kekhawatiran yang muncul dan dilontarkan masyarakat selama ini tidak lagi terjadi.

"Kami sudah ubah beberapa klausul, seperti Pasal 44 tentang pidana penjara paling singkat, bervariasi dari dua hingga empat tahun, disesuaikan dengan tingkat kerahasiaannya. Juga soal sanksi pidana terhadap korporasi, yang kami batasi hanya akan dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan," ujar Agus.

Sebelumnya, dalam Pasal 44, sanksi pidana yang dicantumkan bervariasi, paling singkat lima hingga tujuh tahun dan paling lama 15-20 tahun sesuai tingkat kerahasiaan, dan ancaman pidana 20 tahun hingga hukuman mati terkait pelanggaran yang dilakukan dalam masa perang.

Lebih lanjut Agus mengingatkan, ancaman sanksi pidana yang diatur dalam Bab IX tidak dibuat atau diadakan khusus untuk menyasar pada media massa, jurnalis, atau perusahaan media massa.

Bukan hanya media

Sasaran sanksi pidana, termasuk denda dengan nominal tinggi, menurut dia, juga ditujukan kepada korporasi-korporasi multinasional bermodal kuat yang selama ini banyak mengincar informasi penting tentang kekayaan sumber daya alam Indonesia dengan berbagai macam cara.

"Kalau dikatakan tadi sanksi denda yang tinggi bakal membangkrutkan perusahaan media massa, kan dalam pasalnya disebut sanksi maksimal. Jadi, nanti tergantung hakim yang akan memutuskan. Kami yakin tentu saja hakim akan mempertimbangkan seadil-adilnya," kata Agus.

Agus menambahkan, jika dalam praktiknya nanti hakim justru memutus sanksi denda yang berat, sementara diketahui kemampuan korporasi tersebut, termasuk perusahaan media massa, tidak mampu menjangkau, yang salah adalah hakim dan bukan ketentuan UU-nya.

"Tidak bisa juga kalau tadi dikatakan sanksi pidana disesuaikan ketentuan UU Pokok Pers. Risiko pembocoran rahasia negara, kan, bisa membahayakan kedaulatan dan keselamatan bangsa dan negara. Jadi, besaran nominal denda itu sudah kami sesuaikan dengan risikonya," ujar Agus. (DWA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/10/03205118/ancaman.pemberangusan.pers

08 September 2009

Menkes Komplain Acara Hipnotis di TV, Tapi Suka

Anwar Khumaini - detikNews I Rabu, 09/09/2009 07:17 WIB - Belakangan, acara-acara hipnotis marak di berbagai stasiun TV. Kemasannya pun dibuat sedemikian rupa agar memikat pemirsa, tidak terkecuali Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.

Tapi menteri wanita asal Solo, Jawa Tengah ini mengajukan komplain dengan tayangan hipnotis di TV yang kadang melanggar privasi orang.

"Itu, acaranya si Uya Kuya. Kadang melanggar privasi," kata Siti Fadilah Supari saat bincang-bincang santai dengan wartawan usai buka puasa bersama di rumah dinasnya di Jl Denpasar Raya, Jakarta, Selasa (8/9/2009) malam.

Meski komplain, Siti hafal betul dengan episode demi episode acara tersebut. "Episode lalu, Ada cewek pacaran sama cowok yang bernama Adit. Si cewek dihipnotis, ditanya apakah punya pacar lain selain Adit, ceweknya jawab, ada Daniel," cerita Menkes disambut tawa para jurnalis dan tamu undangan lain.

"Padahal di situ kan ada pacarnya. Ini melanggar privasi," protes Menkes.

"Ada juga episode, cewek dihipnotis, ditanya kerjanya apa. Dia jawab merayu om-om. Ibunya kan tahu. Kasihan. Tapi yang seperti ini untungnya wajahnya dibuat tidak jelas," imbuh Menkes.

Namun, meski protes, Menkes mengaku sering nonton acara-acara hipnotis.

"Tapi saya kok malah sering nonton, ya? Habis daripada lihat berita yang kadang banyak mengkritik bikin pusing, mendingan nonton yang lucu-lucu," kata Menkes sambil tersenyum.

Menkes kembali bagi-bagi cerita tentang tayangan favoritnya itu. "Ada seorang direktur dihipnotis. Ditanya siapa karyawan yang paling dibenci dan disuka. Padahal mereka (karyawan) ada di sana juga. Inilah yang bisa mengganggu privasi orang," ujarnya.

"Jadi buat Uya Kuya, jangan begitu," usul Menkes kepada sang pemandu acara.

"Tapi kalau Romy Rafael agak sopan," Menkes membandingkan Uya Kuya dengan Romy Rafael yang juga memandu acara hipnotis.

Tak dinyana, Bu Menkes ternyata juga suka dengan acara ajang cari jodoh, Take Me Out dan Take Him Out. Bahkan ada SMS yang meminta agar dia dukung acara tersebut.

"Ada yang SMS ke saya, Ibu harus dukung acara Take Him Out," canda Menkes. (anw/irw)
http://www.detiknews.com/read/2009/09/09/071753/1199498/10/menkes-komplain-acara-hipnotis-di-tv-tapi-suka?991101605

07 September 2009

Satpam BI Pemukul Reporter SCTV Divonis 4 Bulan 15 Hari

Hery Winarno - detikNews :: Jakarta - Satpam Bank Indonesia (BI) Marlon Mahulete dijatuhi vonis 4 bulan 15 hari oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Marlon terbukti menganiaya reporter SCTV, Carlos Pardede.

Vonis dibacakan ketua majelis hakim Makmun Masduki di PN Jakarta Pusat, Jalan Gadjah Mada, Jakarta, Senin (7/9/2009).

"Terdakwa telah secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar ketentuan 351 KUHP melakukan penganiayaan dalam hal ini kepada Saudara Carlos Pardede. Menghukum terdakwa 4 bulan 15 hari menjalani masa tahanan," kata Makmun Masduki.

Marlon, kuasa hukum Marlon maupun jaksa penuntut umum (JPU), menerima keputusan hakim. "Kita terima saja toh tinggal 15 hari lagi," kata Marlon lirih.

Hal yang sama disampaikan kuasa hukum Marlon, Irma Hattu. "Kita terima putusan ini. Soalnya terdakwanya juga sudah menerima," kata Irma.

Sebelum vonis, sidang mengagendakan pembacaan pledoi. Korban penganiayaan, Carlos, yang biasanya menghadiri sidang kali ini absen. (aan/nrl)

06 September 2009

Sengketa Hak Jawab Wilayah Dewan Pers

Senin, 7 September 2009 |  Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permintaan banding yang diajukan PT Tempo Inti Media dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Toriq Hadad. Putusan majelis hakim PT DKI Jakarta itu membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang semula mengabulkan sebagian gugatan perdata Asian Agri Grup.

Juru bicara Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, Andi Samsan Nganro, menjelaskan hal itu kepada Kompas, Sabtu (5/9) di Jakarta. "Putusan itu diambil pada 27 Juli 2009," kata dia lagi.

Majelis hakim banding diketuai Nafisah dengan anggota Celine Rumansi dan Abdul Kadir. Majelis hakim menilai, sengketa hak jawab semestinya diajukan ke Dewan Pers untuk menilai.

Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET) Agus Sudibyo menyambut baik putusan itu. "Dari sisi kebebasan pers, putusan ini patut diapresiasi," kata pemerhati media itu.

Majelis hakim PT DKI Jakarta mempertimbangkan eksepsi Toriq Hadad dan PT Tempo Inti Media yang menyebutkan, gugatan Asian Agri Grup atas dugaan pencemaran nama baik terlalu prematur. Seharusnya persoalan itu diajukan terlebih dahulu ke Dewan Pers.

Andi Samsan menuturkan, PT DKI Jakarta mempertimbangkan eksepsi tergugat yang dinilai beralasan. Yang dipersoalkan penggugat adalah ketidakpuasan atas hak jawab. Padahal, hak jawab itu sudah diberikan.

"PT DKI Jakarta berpendapat, tergugat sudah memuat hak jawab penggugat. Namun, penggugat tidak puas. Terjadi sengketa tentang hak jawab. Majelis berpendapat, hal ini termasuk wilayah Dewan Pers untuk menilai, apakah memenuhi aturan dan kode etik jurnalistik atau belum," kata Andi Samsan.

Hal inilah yang menjadi dasar gugatan penggugat tak bisa diterima. Sebelumnya, majelis hakim PN Jakarta Pusat menghukum Tempo membayar denda Rp 50 juta dan meminta maaf selama tiga hari berturut-turut di majalah Tempo, Koran Tempo, dan Kompas. Menurut majelis hakim saat itu, pemuatan gambar dan foto Sukanto Tanoto, pemilik Asian Agri Grup, yang berjingkrak di sampul Majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007 menyerang kehormatan dan nama baik Sukanto.

Agus Sudibyo mengatakan, putusan PT DKI Jakarta itu sebagai kemajuan dalam pengadilan yang melibatkan pers. (idr)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/07/03142555/sengketa.hak.jawab.wilayah.dewan.pers

Luna Maya, Gue Banget (Dahsyat RCTI)

KOMPAS/SUSI IVVATY
LUNA MAYA

Minggu, 6 September 2009 | Seperti gayanya di program "Dahsyat" tayangan RCTI, bintang iklan dan model Luna Maya (25) pun tampil urakan di acara komedi "SBY" atau Sambil Buka Yuk di antv. Program yang diputar setiap hari pukul 17.00-18.30 ini dibintangi komedian, seperti Eko Patrio, Jojon, Bolot, Irfan Hakim, Ruben Onsu, dan Luna Maya.

Luna memang tidak menjadi komedian. Namun, ia makin tangkas saja menimpali canda-canda Eko Patrio di "SBY". "Di sini seru banget. Gokil. Pokoknya gue banget," kata Luna.

Di "SBY" Luna cukup tampil dengan kaus dan celana panjang ketat.

Sejak menjadi pemandu acara "Dahsyat", Luna kerap mendapat tawaran untuk tampil di program yang bernuansa komedik. Pada bulan Ramadhan, pemain film Janda Kembang ini hanya tampil di dua acara yang disiarkan langsung, yaitu "Dahsyatnya Sahur" di RCTI dan "SBY" di antv. Di kedua acara itu, Luna boleh "gila-gilaan", tertawa ngakak, dan berteriak.

Sebagai artis, Luna mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan peran. Ketika menjadi bintang iklan sabun Lux, dia pun harus tampil seksi elegan.

"Sekarang gue lagi banyak tampil begini, apa adanya. Gue banget. Gua enjoy aja apa pun perannya," tuturnya. (IVV)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/06/02431825/gue.banget

Televisi, Kreativitas Kaum Jelata

Gorila dari Gang Buntu (kiri) dan Dunia Kecil dalam Kotak.

Minggu, 6 September 2009 | Budi Suwarna

Di pinggir gang buntu dan kumuh, pusat kebugaran Gorila berdiri. Di sana, tukang becak, tukang mi, pengangguran, dan anak sekolah mewujudkan obsesi memiliki tubuh berotot. Inilah kisah kreatif masyarakat jelata yang terekam dalam film dokumenter "Gorila dari Gang Buntu".

Film karya Bambang Rakhmanto dan Rio Hadindra itu lolos ke babak final kompetisi film dokumenter Eagle Awards 2009. Ada empat film dokumenter lain yang juga lolos ke final, yakni Merajut Impian di Balik Catwalk Jalanan karya Taufan Agustyan dan Abdul Malik, Sang Pengumpul Asap (Argha Adi dan Lilis Sucahyo), Bukan Negeri Sampah Bukan Bangsa Pengemis (Devi Al Irsyadiah dan Eko Resojo), dan Dunia Kecil dalam Kotak (Ginanjar Teguh Iman dan Herlina Ratnafuri).

Koordinator dan Produser Eagle Awards Fajrian mengatakan, kelima finalis ini menyisihkan lebih dari 200 peserta yang mengirimkan proposal film ke panitia. Selanjutnya, kelima film ini akan dinilai oleh juri. Pemenang kompetisi akan diumumkan pada akhir Oktober.

Tahun ini Eagle Awards mengangkat tema Indonesia kreatif. Tema ini diterjemahkan dengan cukup baik oleh peserta. Bambang dan Rio berhasil menangkap energi masyarakat kelas bawah di Gang Buntu, Semarang, Jawa Tengah, yang ingin memiliki badan berotot, tetapi tidak sanggup membayar biaya latihan di pusat kebugaran.

Mereka membangun sasana kebugaran sendiri di sebuah ruang terbuka di pinggir gang sempit. Mereka membuat peralatan dengan bahan seadanya, mulai dari semen, batu bata, hingga besi bekas. Mereka tidak hanya melatih otot, tetapi juga melepaskan kepenatan hidup.

Dunia Kecil dalam Kotak mengisahkan televisi komunitas yang dikelola warga Dusun Grabag, Magelang. Jawa Tengah. Lewat televisi komunitas, masyarakat dusun ini mendapatkan pengalaman baru sebagai sutradara, penyiar, artis, hingga model video klip campursari.

Merajut Impian di Balik Catwalk Jalanan merekam kreativitas kaum muda Jember yang mampu menggelar karnaval fashion di Jember. Karnaval tidak hanya membuat Jember terkenal, tetapi juga mulai menumbuhkan industri mode.

Sang Pengumpul Asap bercerita tentang dosen IPB yang berhasil mengatasi polusi asap hasil pemrosesan arang. Asap yang semula menjadi masalah dikelola menjadi bahan bernilai ekonomi.

Bukan Negeri Sampah Bukan Bangsa Pengemis bertutur tentang masyarakat desa di Bantul yang mendirikan bank sampah. Selain mengatasi masalah sampah, aktivitas ini juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat miskin.

Kisah-kisah itu sederhana, tetapi sudah cukup untuk menggambarkan betapa masyarakat kelas bawah yang sering dipandang sebelah mata sesungguhnya kreatif dalam mengatasi masalah.

Penggarapan

Kekuatan Eagle Awards selama ini memang terletak pada pesan. Kompetisi yang diadakan rutin tiap tahun sejak 2005 itu kerap menyodorkan potret realitas sosial yang semula terpendam. Eagle Awards, misalnya, pernah menampilkan film dokumenter tentang suster apung yang mendatangi pasien dengan sampan atau kepala sekolah yang nyambi menjadi pemulung. Pesan-pesan sosial itu masih terbaca dalam lima film dokumenter yang masuk final tahun ini.

Namun, bagaimana para peserta menggarap persoalan sosial subyeknya? Ada kecenderungan film dokumenter yang lolos tahun ini terkesan datar. Konflik dimunculkan secara selintas dan serba verbal. Pemihakan yang menjadi ciri film dokumenter tidak muncul secara tegas.

Ini bisa dimaklumi. Pasalnya, waktu yang diberikan panitia untuk riset, menurut Fajrian, hanya 10 hari. Peserta juga hanya memiliki jatah bolak-balik ke lokasi subyek maksimal 12 kali.

Jika peserta diberi waktu lebih panjang untuk riset dan berinteraksi lebih lama dengan subyek, hasilnya mungkin akan lebih baik. Pasalnya, keberhasilan sebuah film dokumenter, antara lain, ditentukan seberapa dalam pembuat film dokumenter menyelami dan bergaul dengan pengalaman subyek.

Praktisi film dokumenter, Veronika Kusumaryati, mengatakan, film dokumenter yang lolos Eagle Awards sangat dipengaruhi gaya bertutur televisi. Akibatnya, film yang dihasilkan mirip dengan ficer berita. "Tekanannya pada informasi. Padahal, dalam film dokumenter harus ada aspek artistik, subyektivitas, dan pemihakan," katanya.

Ini memang sulit dihindari karena para peserta disupervisi para profesional di bidang pertelevisian. Selain itu, film dokumenter itu akan ditayangkan di televisi.

"Sebenarnya masih banyak jenis film dokumenter yang lain. Namun, di Indonesia referensi film dokumenter memang terbatas. Yang dilihat orang lebih banyak film dokumenter untuk televisi," tutur Veronika.

Terlepas dari pencapaian kualitas, Eagle Awards tetap penting. "Ajang ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk berkenalan dengan film dokumenter," kata Kioen Moe, Executive Producer Eagle Awards.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/06/02511553/kreativitas.kaum.jelata