22 Agustus 2009

Pameran Foto & Media Cetak, Dari Era Perjuangan sampai Enam Bulan Merdeka


KOMPAS/PRIYOMBODO
Pameran foto dan media cetak dari era perjuangan sampai enam bulan merdeka dengan tema merdeka di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta Pusat.

Penerbitan, Taruhan Nyawa

Di balik "Nomor Peringatan 6 Boelan Repoeblik Indonesia", ada kerja keras dari Redaksi Harian Merdeka. Mereka bahu- membahu dengan pimpinan Republik Indonesia untuk menyampaikan laporan tentang negara yang masih sangat muda itu.

Harian Merdeka, terbit sejak 1 Oktober 1945, adalah surat kabar terbesar di Indonesia yang bermarkas di Jakarta saat itu. Tirasnya sekitar 10.000 eksemplar. Koran di bawah Pemimpin Umum BM Diah itu punya mesin cetak bagus, peninggalan penerbitan Belanda.

Pada Februari 1946, surat kabar itu merasa perlu menerbitkan nomor khusus mengulas enam bulan setelah proklamasi. Alasannya, hingga enam bulan setelah proklamasi, belum ada laporan lengkap dan utuh dari surat kabar tentang pernyataan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kondisi politik sangat rawan akibat Belanda belum mau mengakui kedaulatan RI dan hendak berkuasa kembali.

Perang kemerdekaan antara tentara dan rakyat Indonesia dengan pasukan Belanda masih berkecamuk di mana-mana. Konfrontasi fisik meletus di Surabaya (Oktober 1945, kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan), Magelang-Ambarawa, Semarang (perang lima hari), Bandung, dan Yogyakarta.

"Kami merasa sudah waktunya membuat laporan itu," kata Rosihan Anwar, redaktur pelaksana Harian Merdeka berusia 23 tahun, yang dipercaya mengoordinasi penerbitan nomor itu.

Surat kabar itu meminta komentar dari para tokoh seperti Presiden Soekarno, Moh Hatta, Perdana Menteri Soetan Sjahrir, Jenderal Sudirman, Tan Malaka, atau Sultan Hamengku Buwono IX. Ada juga tulisan Menteri Agama HM Rasjidi, Jaksa Agung Kasman Singodemedjo, atau Menteri Penerangan Natsir. Dari kalangan wartawan, antara lain, tertera catatan BM Diah dan Rosihan Anwar.

"Bersama penerbitan koran atau tabloid di kota-kota lain, pers saat itu menjadi penyokong penting proses kemerdekaan. Kami bekerja di tengah situasi genting dengan taruhan nyawa," kata Rosihan yang kini berusia 87 tahun. (iam)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/23/03090370/taruhan.nyawa

Tidak ada komentar: