24 Agustus 2009

Logika Terorisme dan Media (Opini Haryatmoko)

Selasa, 25 Agustus 2009 |Tindak kekerasan teroris bisa dilihat sebagai proses mental, yaitu gerak perubahan mulai dari cara melihat "yang lain", lalu menstigmatisasi, merendahkan, menghancurkan, dan akhirnya membunuh. Demikian menurut J Sémelin.

Dua pertanyaan perlu penjelasan. Bagaimana mungkin seseorang atau suatu kelompok bisa berubah menjadi pembunuh sesamanya? Apakah media terpancing masuk jebakan strategi teroris? Yang paling ditunggu teroris ialah dampak serangan menyatu dengan penyebaran informasi.

Pertentangan mulai dari perasaan kepemilikan pada kelompok berhadapan dengan "bukan kelompok". Suatu kelompok cenderung mempertahankan kemurnian identitas melawan dunia yang tidak murni penyebab dekadensi moral. Pembenaran simbolis agama meneguhkan tekad, mempertajam permusuhan, dan memistiskan motif menjadi perjuangan membela iman dan kebenaran.

Mengapa agama memperteguh motivasi? Pertama, agama memberi identitas karena akta pendirian suatu kelompok diaktualisasikan dengan representasi diri. Kedua, agama menumbuhkan keyakinan bahwa orang berada dalam kontak dengan makna terdalam hidupnya. Ketiga, acuan ke tujuan terakhir memberi pembenaran dan mendasari sikap kritis terhadap tatanan yang ditolaknya (P Ricoeur, 1986). Bahaya pada semua agama ialah direduksi hanya menjadi ideologi.

Dasar ideologi terorisme adalah teror. Teror memberi pembenaran terhadap semua bentuk kejahatan atas nama ideologi. Ideologi memelihara fiksi kesatuan totaliter (identitas murni). Fiksi ini mendorong mengeliminasi semua yang mengancam kemurnian identitas. Barat dan antek-anteknya dianggap penghancur identitas dan nilai-nilai kemurnian agama. Mempertahankan identitas murni berasal dari hasrat membangun dunia tanpa musuh (tiada yang berbeda).

Terorisme dengan relawan bom bunuh diri membuat terobosan psikologis, penguasa takut. Tidak takut mati berarti meniadakan dampak kekuasaan. Terorisme adalah bentuk nihilisme karena tiga ciri khas: matinya kebebasan, dominasi kekerasan, dan pemikiran yang diperbudak (H Rauschning, 1980). Ketiga ciri ini menjamin radikalitas pengikutnya.

Kunci sukses radikalisme adalah kemampuan memberi kepastian. Dalam ketidakpastian ekonomi global yang melahirkan pengangguran dan ketidakadilan, radikalisme agama menjanjikan ekonomi adil dan persaudaraan melalui revolusi moral.

Visi Manikean menumbuhkan keyakinan, dunia hanya terdiri dua kelompok, baik dan jahat (agama pilihan dan musuh). Kepastian diberikan kepada pemeluk agama pilihan. Janji akan masa depan tanpa kesusahan dikaitkan pemisahan baik-jahat. Pemisahan ini berfungsi satanisasi musuh. Pembunuhan musuh dibenarkan karena mereka adalah negasi atas nilai-nilai agama pilihan. Maka tidak mungkin ada perdamaian dengan orang-orang bukan pemeluk agama pilihan.

Ramalan bahwa musuh agama pilihan akan binasa menjadi pembenaran untuk melakukan apa saja, termasuk kekerasan dan pembunuhan. Logika kekerasan yang memuncak pada pembunuhan mendasarkan pada tiga mekanisme, yaitu penunjukan kambing hitam, radikalisasi pertentangan, dan pembunuhan (pemurnian kelompok atau penghancuran musuh). Krisis menciptakan situasi kondusif bagi tumbuhnya radikalisme agama.

Krisis landasan imajiner

Ketika masalah sosial-ekonomi memburuk dan situasi membingungkan karena tiada pegangan, radikalisme menemukan peluang. Bila semua upaya sudah dikerahkan (reformasi ekonomi, pemerintahan yang bersih, program kerja sama internasional) tetap tidak ada perbaikan, sebetulnya landasan imajiner aneka institusi bangsa sedang mengalami krisis (C Castoriadis). Imajiner itu memberi makna dan mengikat karena memberi landasan hidup bersama sehingga mengenali diri sebagai bangsa. Padahal, imajiner kolektif melampaui urusan teknis atau manajemen. Siapa mampu menawarkan perspektif baru sebagai jalan keluar dari krisis?

Demagog akan merekayasa emosi kolektif. Ia akan mengaitkan krisis dengan traumatisme massa. Menempatkan diri sebagai korban dan sasaran penghinaan akan mempertajam kebencian. Demagog mahir menggunakan metafora yang berakar pada budaya, sejarah, dan agama kelompok sasarannya. Dengan cara ini, mereka menawarkan imajiner kolektif baru untuk menggantikan imajiner yang sedang dilanda krisis.

Kekuatan retorika imajiner ialah mengubah kegelisahan kolektif menjadi perasaan takut terhadap musuh berbahaya. Upaya menyalurkan kegelisahan ke musuh (kambing hitam) sudah menjawab traumatisme karena mampu menjelaskan dari mana ancaman itu.

Terorisme dan media

Organisasi teroris itu minoritas. Maka cara spektakuler dengan memanfaatkan media perlu ditempuh agar persoalan mereka dimengerti, mendapat simpati, atau dibela. Meski mayoritas masyarakat mengutuk terorisme, masih ada kelompok yang simpati. Efek politik terorisme menekan pengambil keputusan, menciptakan krisis institusi dengan menghambat proses politik yang ditentangnya. Terorisme menerapkan strategi melawan kekuasaan untuk menarik militan baru, memicu gerakan simpati atau melemahkan dukungan warga negara terhadap negara.

Agar hasilnya optimal, tindakan teroris mengandalkan strategi komunikasi publik untuk melipatgandakan dampaknya. Terorisme ingin ada sebanyak mungkin orang menyaksikan atau merasakan dampak tindakannya. Efektivitasnya terletak pada kemampuan membangkitkan emosi publik dari pembunuhan yang mengejutkan.

Agar dampak emosionalnya maksimal, para militan memancing media. Kebetulan obsesi media adalah meningkatkan ketertontonan siarannya. Maka berita sensasional dengan reportase langsung tidak bisa dilewatkan. Peristiwa luar biasa yang dilakukan teroris menjadi momen penting pemirsa untuk bisa mengenali diri karena disatukan emosi yang sama (belarasa atau rasa takut). Media mengutuk terorisme, sekaligus (sebetulnya) terpesona. Seringnya pengulangan siaran di televisi merupakan cara membangkitkan emosi publik. Komunikasi seperti ini justru diharapkan teroris.

Haryatmoko Dosen Pascasarjana FIB UI dan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/02443788/logika.terorisme.dan.media

Tidak ada komentar: