29 Agustus 2009

Bahaya Liputan Teror, Bisa Mengancam Nyawa Aparat Keamanan di Lapangan

Jakarta, Kompas - Liputan terorisme justru membahayakan nyawa aparat keamanan di lapangan. Wartawan senior Bambang Harymurti dalam Diskusi Etika Pers dalam Meliput Terorisme, Kamis (27/8) malam, menjelaskan, liputan di Mumbay, India, mengakibatkan korban besar di pihak aparat.

"Korban polisi dan anggota pasukan antiteror lebih besar daripada teroris yang tewas karena gerak-gerik aparat disiarkan langsung televisi dan diantisipasi teroris yang berada di Hotel Taj Mahal. Bahkan, komandan pasukan antiteror India tewas karena gerakan mereka dipantau oleh teroris yang lalu mengantisipasi sehingga mengakibatkan banyak aparat tewas," kata Bambang di hadapan para anggota Dewan Pers dan undangan petinggi media cetak, online, dan televisi.

Berangkat dari preseden peliputan kasus Mumbay, Bambang menambahkan, terjadi kesepakatan para petinggi televisi di India dalam meliput kasus terorisme dengan tidak mengganggu apalagi membahayakan nyawa aparat yang bertugas.

Bambang menyayangkan peliputan terorisme di Indonesia yang berlebihan. Bahkan, reporter di lapangan mengambil kesimpulan pribadi tentang tewasnya Noordin M Top tanpa mendapat informasi dari sumber resmi kepolisian.

Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara menegaskan, peliputan terorisme yang menampilkan kekerasan berdarah-darah dan mencitrakan teroris seperti pahlawan sangat tidak patut dilakukan wartawan profesional.

"Para wartawan AS yang berpolitik liberal pun tidak mau menyorot gambar ribuan mayat korban serangan 11 September. Sebaliknya, di Indonesia yang menganut gagasan kerakyatan justru mengeksploitasi tayangan kekerasan," kata Leo.

Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat Dewan Pers Abdullah Alamudi mengatakan, sekitar 85 persen wartawan Indonesia tidak pernah membaca kode etik jurnalistik. "Itu disebabkan banyaknya media yang muncul pasca-Orde Baru. Semua orang dapat menjadi wartawan tanpa bekal memadai. Pada zaman Orde Baru hanya ada 289 media, empat tahun setelah Soeharto lengser menjadi 1.800 media," katanya.

Selain itu, banyak wartawan yang merasa kode etik jurnalistik hanya membatasi ruang gerak mereka. "Dari 40 peserta kursus jurnalistik dari kalangan infotainment, ada yang mengatakan tidak bisa meliput selebriti jika harus mengikuti kode etik. Ketika diadakan pelatihan lanjut, tidak ada yang mau ikut," paparnya.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Nanan Soekarna mengatakan, Dewan Pers dan Mabes Polri akan merumuskan pedoman meliput kasus terorisme bagi wartawan. "Ini adalah upaya yang baik agar polisi dan wartawan dapat bertugas dengan maksimal," ujar Nanan.

General Manager dan Current Affair TV One Sulaiman Sakib seusai acara mengatakan, pihaknya terus memperbaiki mutu liputan. "Kami sekarang titip mata kepada aparat di lapangan. Kekeliruan yang terjadi langsung diantisipasi dengan berita aktual seperti informasi tewasnya Ibrohim pascatayangan yang menyebut Noordin M Top tewas di Temanggung," katanya. (Ong)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/29/03161216/bahaya.liputan.teror

Tidak ada komentar: