20 Februari 2009

Sakti, Membangun Jejaring Pekerja Kreatif

Edna C Pattisina

Banyak orang bicara tentang potensi industri kreatif di Indonesia. Sayangnya, belum banyak yang bekerja dan menjadikannya kenyataan. Sakti Parantean adalah salah satu yang berhasil mewujudkan bisnis kreatif itu.

Ini lagi ada production house dari Singapura yang mau syuting di sini, minta soundman dan asisten produksi," kata Sakti yang mengontak simpul-simpul jaringan Hybrid! Fictionary kalau sedang ada proyek.

Lewat Hybrid! Fictionary ia tak hanya memperluas usahanya, Fictionary Media Technology (FMT), tetapi juga memberikan akses bagi tenaga-tenaga kreatif film di berbagai daerah untuk mendapat proyek berskala lokal, nasional, hingga internasional.

Upayanya itu membuat Sakti mendapat penghargaan dari British Council berupa International Young Screen Entrepreneur 2008. Ia mengalahkan sembilan finalis dari sembilan negara lain seperti India, China, Thailand, dan Filipina.

Di situs www.creativeconomy.org.uk, juri International Young Creative Entrepreneur (IYCE) menyatakan, Sakti tak saja dinilai punya visi bisnis yang bisa menjawab tantangan di sektor film dan televisi, tetapi ia juga memberi dimensi moral dan sosial dengan model infrastruktur yang diajukannya.

"Saya melihat ada peluang berupa 54 stasiun televisi swasta dan nasional, serta 21.795 stasiun televisi asing," katanya tentang alasan awal ia mendirikan FMT. Di sisi lain, ada banyak bakat kreatif bidang perfilman yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, beserta alam dan budaya yang sangat menarik untuk digarap secara audiovisual.

Pemikiran tentang permintaan dan penawaran inilah yang di antaranya mendorong sarjana ekonomi dari Curtin University, Australia, ini banting setir dari bidang finansial dan mendirikan FMT tahun 2002.

"Waktu itu saya pikir, kapan lagi memulai sesuatu yang saya suka kalau tidak sekarang? Nanti saya jadi terlalu nyaman, padahal passion saya bukan di situ," katanya.

Menjadi asisten

Sakti mulai berkecimpung di dunia film pada 1996. Ia menjadi asisten juru kamera dan produksi Tim Jenkins, sutradara dokumenter di Australia. Kembali ke Indonesia tahun 1999, pencinta film dokumenter ini terusik melihat begitu banyak topik sosial dan alam di Indonesia malah diangkat oleh orang asing. Menurut dia, itu terjadi karena kemasan, jaringan, dan cara pandang orang asing yang berbeda.

Sempat bermitra dengan pihak asing yang mendirikan rumah produksi di Jakarta, Sakti berada di antara dunia film dan konsultan keuangan. Namun, ia lalu nekat mendirikan FMT setelah mitranya keluar dari Indonesia. Nama itu dipilih karena ia memandang akan adanya hubungan erat antara media dan teknologi.

"Dari awal saya sudah berpikir kalau media audiovisual suatu saat akan multiplatform, akan bergabung dengan internet," kata Sakti yang sering mengadakan acara nonton bareng dengan lokasi di komputer Anda masing-masing, di "bioskop global" bernama Facebook.

Dengan tiga orang tenaga, FMT membuat acara berjudul Uprising Music TV yang diterima di stasiun televisi Lativi.

"Saya enggak bisa lupa, pernah sampai tak bisa pulang karena enggak mampu beli bensin. Padahal esoknya saya harus ke Lativi untuk menagih Rp 60 juta. Semuanya serba nyaris," ceritanya.

Perlahan tetapi pasti, FMT terus berkembang. FMT mendapat proyek iklan seperti Rinso dan Sampoerna Hijau, berbagai acara televisi dari beberapa stasiun televisi seperti MTV dan RCTI hingga Al Jazeera pada 2008.

Pendapatannya pun meningkat. Kalau selama tahun 2005 pemasukannya nyaris mendekati angka Rp 1,7 miliar, selama tujuh bulan pertama tahun 2008 mencapai sekitar Rp 2,55 miliar.

Bagi Sakti, angka ini hanya sebagian dari potensi yang bisa diraup, termasuk internet dan media telepon genggam. Selama ini FMT baru memproduksi tiga jam acara untuk televisi internasional.

"Ini bisa jadi produk ekspor. Kalau tiap tahun 0,01 persen saja dari stasiun televisi asing itu memesan acara berdurasi satu jam, ada 218 jam produksi dari Indonesia," katanya.

Menghemat

FMT punya empat bidang usaha: iklan, program televisi, film dokumenter, dan jasa logistik. Untuk menghemat biaya, FMT hanya dijalankan oleh delapan orang, selebihnya tenaga lokal. Dia mengakui kerap kesulitan mendapatkan kru lokal, padahal dilihat dari berbagai acara, seperti Festival Film Dokumenter atau Eagle Award MetroTV, banyak talenta lokal yang bagus.

Rupanya, industri audiovisual di daerah tidak berkembang. Ini membuat para pekerja kreatif memilih pindah bidang. Sakti lalu membentuk jaringan kru untuk FMT yang disebut Hybrid! Fictionary.

"Ini bukan zamannya bersaing dengan orang lain. Kita bersaing dengan diri sendiri supaya enggak stagnan. Semakin banyak orang film yang berkembang saya malah untung, makin banyak tim dan jaringan," katanya.

Hybrid! Fictionary adalah jejaring para pekerja film dengan FMT sebagai pusatnya. Telah berkembang 10 simpul jejaring di tiga kota, yaitu Yogyakarta, Denpasar, dan Malang. Kerja samanya luas, mulai dari bengkel bersama hingga distribusi pekerjaan, terutama untuk proyek nasional atau internasional.

Misalnya, untuk proyek dari televisi asing yang lokasi syutingnya di luar Jakarta, para jejaring inilah yang menangani proyek itu. Para pekerja kreatif lokal tak hanya mendapat honor, tetapi juga jaringan, pola kerja, bahkan sudut pandang.

Para pekerja film bisa mendulang pemasukan dari sini. Selain itu, ada pula "cipratan" uang sampai kepada penjual nasi bungkus, sopir, dan penjaja minuman.

"Sedihnya, film masih dianggap sekadar etalase kebudayaan, bukan industri," katanya.

Gemas dengan potensi yang belum tergarap, Hybrid! Fictionary membuat strategi lain. Targetnya, mendirikan laboratorium film di berbagai daerah. Laboratorium ini menjadi markas untuk bengkel kerja para pekerja film lokal. Di sini, selain mereka bisa membuat film digital, juga disediakan tempat pemutarannya.

"Ada sekitar 6.000 layar bioskop dari tahun 1990-an yang sekarang jadi gedung-gedung terbengkalai. Itu sebenarnya bisa diubah menjadi sinema digital," kata pria asal Toraja ini.

Inilah semangat industri kreatif yang bekerja dengan segala potensi yang tersedia. Dia bekerja dengan diam di tengah ingar-bingar wacana yang melangit.

http://cetak.kompas.com/sosok Sabtu, 21 Februari 2009 | 00:37 WIB

Tidak ada komentar: