04 September 2008

Kampanye, dari Panggung ke Televisi (Opini Jeffrie Geovanie)

''Iklan politik dapat menyusup ke dalam suasana keakraban di rumah, dengan bersembunyi secara diam-diam di tengah acara yang digemari penonton trelevisi."

Arnold Steinberg (1981:4)

Kita sulit membantah pendapat Steinberg dan karena itu pula, munculnya banyak calon anggota legislatif (caleg) dari kalangan artis meresahkan kader-kader partai tempat sang artis mendaftarkan diri sebagai caleg. Mengapa demikian? Salah satu jawabannya, sang artis kerap muncul di televisi, baik sebagai bintang iklan, pemain sinetron, maupun presenter. Sering muncul di layar kaca identik dengan menjulangnya popularitas.

Seseorang dengan popularitas yang tinggi memang belum tentu menunjukkan kualitas yang tinggi pula karena popularitas tidak ekuivalen dengan kualitas. Namun, bagi seorang caleg, popularitas merupakan modal awal untuk menarik dukungan, terutama dari kalangan pemilih yang kurang kritis.

Karena itu, sangat wajar banyak kalangan -terutama yang punya kemauan keras untuk menjadi presiden misalnya- beriklan secara intensif di televisi. Tujuannya, mendongkrak popularitas. Menurut sejumlah survei, televisi merupakan media yang paling efektif dan efisien untuk mendongkrak popularitas.

Alami Peralihan

Melihat kenyataan itu, saya yakin, pola kampanye politisi akan mengalami peralihan yang signifikan, dari kampanye model lama (dengan mengadakan panggung hiburan di lapangan, reli di jalan-jalan, dan rapat akbar) ke kampanye model baru (beriklan di televisi).

Ada sejumlah kemudahan ketika seseorang beriklan melalui televisi. Pertama, bisa dibuat secara tepat sesuai kemauan. Karena tidak ditayangkan langsung (live), iklan bisa dirancang dan dilakukan proses perekaman yang berulang-ulang hingga menemukan cara dan gaya yang paling bagus.

Dalam iklan di televisi, para politisi bisa terhindar dari kesalahan-kesalahan yang mungkin mudah terjadi saat kampanye di panggung seperti keseleo lidah, tampilan yang kurang fit, dan gesture tubuh yang terkesan norak. Selain itu, dengan beriklan di televisi, wajah yang kurang menarik bisa dipoles dengan make-up memadai.

Kedua, lebih efisien. Meski pengambilan gambarnya (shooting) cuma sekali, iklan bisa ditayangkan berkali-kali dengan beragam variasi. Televisi terus-menerus mengiklankan sang politisi -sesuai kontrak tentunya-, meski sang politisi entah berada di mana. Bahkan pada saat sang politisi tidur nyenyak pun, iklan tetap jalan.

Murah

Ketiga, lebih murah. Banyak kalangan berpendapat, iklan di televisi bisa menghabiskan dana yang sangat besar. Pendapat itu benar tapi kurang tepat. Benar bahwa tarif iklan di televisi relatif mahal. Namun, jika dibandingkan dengan kegiatan kampanye di tengah lapangan dengan menghadirkan ratusan atau bahkan ribuan orang, iklan di televisi jauh lebih murah. Mau bukti? Mari kita hitung.

Tarif iklan di televisi dengan durasi 60 detik, misalnya, dibanderol Rp 40 juta. Jika menurut survei setiap tayangan televisi akan ditonton minimal 40 juta orang, harga per penonton sama dengan satu rupiah. Dengan beriklan di televisi, sang politisi (kandidat) bisa memasuki semua ruang (baik publik maupun privat) yang di situ terdapat televisi. Jika ditambah dengan ongkos produksi iklan Rp 25 juta, biaya keseluruhan ''hanya" Rp 65 juta.

Coba bandingkan, misalnya, dengan mengadakan kampanye di lapangan. Untuk menyelenggarakannya, dibutuhkan panitia yang siap bekerja keras. Untuk kesempurnaan acara, dibutuhkan waktu cukup untuk merancangnya. Jika yang akan hadir ditargetkan empat ribu orang, berapa ongkos yang dikeluarkan untuk transportasi dan konsumsi.

Jika untuk setiap orang dianggarkan Rp 25 ribu, akan ketemu biaya Rp 100.000.000 (Rp 25.000 x Rp 4.000). Itu baru biaya untuk menghadirkan peserta kampanye. Jika ditambah biaya sound system, atribut-atribut kampanye, dan honorarium panatia, bagian keamanan, tukang parkir, dan lain-lain, keseluruhan biaya bisa membengkak hingga Rp 150 juta.

Jika harus dihadirkan pula para artis untuk memeriahkan suasana, betapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali kampanye yang ''hanya" dihadiri empat ribu orang!

Jika setiap kandidat menyadari sepenuhnya dengan kelebihan iklan di televisi, saya yakin, medan kampanye yang selama ini banyak terkonsentrasi di panggung hiburan, podium-podium, dan arak-arakan di jalan-jalan akan beralih ke ruang kantor, ruang tamu, mobil-mobil yang tengah berjalan, kamar-kamar hotel, kamar tidur, bahkan di setiap genggam para pemilih handphone televisi.

Melihat kenyataan demikian, wajar pada hari-hari ini banyak politisi yang beriklan di televisi seperti Soetrisno Bachir, Rizal Mallarangeng, dan Prabowo Subijanto. Calon kepala daerah (calon bupati, wali kota, gubernur) pun mulai intensif beriklan di layar kaca. Kesannya memang wah dan mahal. Padahal, jika dibandingkan dengan kampanye ''live" di panggung hiburan dan di jalan-jalan, ongkosnya jauh lebih murah, lebih efektif. --  * Jeffrie Geovanie , wakil direktur eksekutif Lembaga Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar
jawa pos, 05 September 2008 

Tidak ada komentar: