29 Agustus 2008

Sepakati Multitafsir Perjuangan Pers

Pers nasional masih dibekap dimensi paradoks. Di satu sisi harus mengedepankan idealisme dan agen pembaruan. Namun, di sisi lain, pers dinilai telah memberikan porsi berlebih kepada aspek materialistis (mementingkan bisnis). Kondisi itulah yang sedang diformulasikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Dalam acara sarasehan pers nasional bertema ''mempertahankan roh perjuangan pers nasional di era globalisasi'', Ketua Umum PWI Pusat Margiono mengatakan, tantangan pers di era globalisasi makin berat. Bergulirnya era globalisasi ini, kata dia, mau tidak mau, mengharuskan pers menyeimbangkan posisinya. Yakni, tetap idealis sekaligus menjaga agar industri pers tetap sehat secara bisnis.

Pembicara dalam sarasehan tersebut, antara lain, Dahlan Iskan (chairman Jawa Pos), Jakob Oetama (pemimpin umum harian Kompas), Letjen (pur) Kiki Syahnarki (mantan Wakasad), dan Tjipta Lesmana (pemerhati pers dan guru besar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan).

Jakob Oetama mengatakan, pers akan tertinggal jika kehilangan empat fundamen penting. Yaitu, trust (kepercayaan), tidak total bekerja sebagai pekerja pers (wartawan), tidak peduli dan tidak peka terhadap kondisi sekitar, dan tidak mempunyai frame dan falsafah dalam melaksanakan pekerjaan. ''Kini kecenderungannya, kepercayaan atau trust ini sudah sangat lemah. Kita lebih cenderung berprasangka terhadap orang,'' papar Jakob.

Pendiri majalah legendaris Intisari itu juga merisaukan hilangnya ketotalan dalam bekerja. ''Tidak ada lagi semangat bahwa bekerja adalah ibadah akan menurunkan wibawa pers,'' katanya. Kalau sudah begitu, lanjut dia, akan sulit pers bertahan di era globalisasi.

Soal suksesnya harian Kompas dengan kelompok Kompas Gramedianya, Jakob mengatakan tidak tepat menyebut dirinya pengusaha. Pria kelahiran 27 September 1931 itu lebih suka disebut orang yang bisa memimpin industri pers. ''Saya ini dulu hanya ingin menjadi guru. Namun, setelah menjadi wartawan dan kini bisa memimpin Kompas, saya mungkin termasuk orang yang bisa menjadi pimpinan,'' katanya.

Sementara itu, Dahlan Iskan mengatakan, Jawa Pos bisa besar, bahkan mengalami metamorfosis menjadi sebuah holding pers yang sangat besar, bukan karena dirancang khusus untuk menjadi konglomerasi. ''Jawa Pos mengalir saja sesuai dengan tuntutan globalisasi itu sendiri,'' kata Dahlan, yang pada usai 36 tahun mundur dari jabatan Pemred Jawa Pos.

Yang harus dilakukan, kata Dahlan, pers harus menambah kepemilikan saham untuk ikut terlibat aktif mengurusi negara. Sebab, selama ini peran mengurusi negara sudah didominasi parpol. ''Namun, kini porsi pengusaha yang akan ikut menanamkan saham mengurusi negara makin besar,'' tambah Dahlan, yang sempat menyatakan ingin mundur dari ketua umum Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) karena Margiono (direktur Jawa Pos) terpilih menjadi Ketum PWI Pusat. Namun, niat mundur Dahlan itu tidak diterima semua anggota SPS.

Dahlan juga berpendapat, pers memang tidak boleh memihak dan harus balance. Jika ketidakberpihakan dan mekanisme balancing itu justru memperlambat gerak pers dan mengancam fungsi kontrol secara cepat, lebih baik pers memihak saja.

''Untuk memberitakan pejabat yang korupsi, jika konfirmasi ke pejabat yang korupsi itu sulit, apa berita korupsi itu lantas tidak diturunkan hanya karena harus balace atau seimbang? Kan tidak seperti itu,'' katanya.(yun/iro)
[jawa pos,  Jum'at, 29 Agustus 2008 ]

Tidak ada komentar: