31 Mei 2008

Pencitraan Masih Tanpa Isi

FERGANATA INDRA RIATMOKO / Kompas Images
Ribuan warga yang didominasi oleh para ibu rumah tangga berebut untuk bersalaman dengan Dede Yusuf yang didampingi Sendy Ramania, istrinya, pada acara jalan sehat di Lapangan Tegallega, Kota Bandung, Jawa Barat, April lalu.
ilham khoiri & susi ivvaty

Ada yang berubah dalam dunia politik kita sekarang. Kini, semakin banyak saja selebriti yang mencalonkan diri jadi kepala daerah lewat pilkada langsung. Pada saat yang bersamaan, politisi juga mencoba masuk lingkungan selebriti dengan penampilan bak artis terkenal atau muncul dalam industri hiburan. Apa yang sesungguhnya terjadi?

Baik selebriti yang masuk politik atau politisi yang bergaya selebriti, sebenarnya sama-sama memperkuat gejala kultur selebritas dalam kehidupan kontemporer sekarang. Kultur ini merupakan konsekuensi dari abad pencitraan yang berkembang melalui media. Demikian pandangan pengamat komunikasi dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali, pengamat politik M Chudlori dan Eep Saefulloh Fatah.

Untuk fenomena selebriti yang masuk dalam dunia politik, itu bisa dipahami dari berbagai sudut pandang. Bagi M Chudlori, situasi ini menandakan pergeseran budaya politik akibat perubahan sistem politik dari otoriter ke demokrasi. Dulu orang-orang yang duduk di DPR itu dikuasai kalangan tertentu, terutama militer, sedangkan artis muncul di pinggiran sebagai penghibur atau pengumpul suara buat partai.

"Setelah reformasi, negeri ini semakin demokratis dan media tambah terbuka. Saat pemilu atau pilkada langsung diterapkan, semua orang berpeluang masuk dalam politik, termasuk artis," kata Chudlori.

Dalam sistem yang terbuka ini, popularitas jadi prasyarat utama bagi siapa pun yang mau mencalonkan diri jadi pejabat publik atau anggota legislatif. Nah, dalam konteks ini, kalangan selebriti punya modal besar. Selebriti di sini mencakup para pesohor yang kerap muncul di media massa, seperti bintang film, artis sinetron, penyanyi, bintang iklan, atau model terkenal.

Rano Karno dan Dede Yusuf yang memenangi pilkada, masing-masing jadi Wakil Bupati Tangerang dan Wakil Gubernur Jawa Barat, membuktikan tesis itu. Popularitas dan peran-peran protagonis keduanya dalam film atau sinetron nyata-nyata mendongkrak tingkat kepercayaan rakyat pada keduanya. Kepercayaan semakin tinggi karena banyak rakyat yang telanjur kecewa dengan kinerja kepala daerah dari kalangan politisi, pengusaha, militer, atau birokrat yang gagal memperjuangkan aspirasi rakyat.

Menurut Eep Saefulloh Fatah, fenomena artis masuk politik sudah lama terjadi di negara lain, seperti Amerika. Itu terlihat dengan terpilihnya Ronald Reagan sebagai presiden dan Arnold Schwarzenegger jadi Gubernur California. Keduanya berhasil karena piawai menggunakan keunggulan popularitasnya sebagai artis, pengultusan penggemar, jaringan pertemanan yang luas, penguasaan media, serta kemampuan komunikasi publik yang baik.

Tanpa isi

Menurut Effendi Gazali, artis sah-sah saja berpolitik sebagai perwujudan hak warga negara. Apalagi, jika mereka didukung pengalaman, kemampuan, serta mau belajar saat ketika terpilih nanti. Itu bisa memunculkan pemerintahan yang baik.

Namun, fenomena yang merebak sekarang masih cenderung dalam pencitraan politik tanpa isi dan bisa menipu. Soalnya, sebagian partai masih mencalonkan artis karena popularitas saja tanpa melihat isi kepalanya. Kalau artis itu ternyata otaknya kosong, tak mampu, dan tak mau belajar, itu bisa jadi bumerang.

"Bayangkan saja, harapan masyarakat terlalu tinggi dan penggemar mengidolakannya, tapi nyatanya artis itu tak bisa berbuat apa-apa. Itu akan memukul. Jangan pilih selebriti karena otaknya kosong dan gagal memerintah di sana-sini!" katanya.

Untuk mengantisipasi itu, sebaiknya selebriti mau belajar dan mematangkan diri sebelum serius terjun dalam politik. Di AS, artis Hollywood Arnold Schwarzenegger meritis karier politiknya sejak lama. Ketika masuk politik, dia sudah ikut mendukung Presiden Ronald Reagan dalam isu tertentu dan jadi komite kesehatan federal pada masa Presiden George Bush senior.

"Setelah cukup matang, dia masuk partai Republik, baru kemudian running for gubernur. Semua ada tahap-tahapnya dan jalurnya kelihatan sejak awal," kata Effendi.

Bergaya selebriti

Soal politisi yang masuk lingkungan selebriti dengan bergaya hidup bak artis, ikut rekaman album lagu, atau terjun ke bisnis hiburan, itu bisa dipahami sebagai upaya untuk membangun pencitraan. Fenomena ini menandakan, ada konvergensi antara dunia hiburan dan politik. Namun, politisi harusnya lebih fokus membangun popularitas dari kerjanya.

"Jika politisi masuk dunia hiburan terlalu dalam, dia hanya mencapai popularitas semu ala artis. Padahal, popularitas itu seharusnya dibangun dari kinerja dan komitmen memperjuangkan aspirasi rakyat," kata Chudlori.

Effendi Gazali juga bisa memahami gaya hidup politisi yang semakin memerhatikan penampilan, termasuk dengan sengaja membangun citra positif lewat iklan di televisi. Itu sejalan dengan upaya untuk melakukan positioning atau penempatan diri dalam komunikasi politik.

Wajar saja jika sekarang tokoh-tokoh politik juga beriklan di televisi, seperti Soetrisno Bachir dengan iklan kebangkitan nasional, Wiranto dengan angka kemiskinan, atau Prabowo Subiyanto dengan petani. Mereka beriklan karena merasa popularitasnya kalah dibanding tokoh-tokoh yang masih menjabat di pemerintahan.

Namun, semua itu perlu dilakukan dalam konteks yang pas. Jika tidak, justru merugikan. "Kalau tampil di tengah rakyat miskin dengan busana terlalu mewah, itu malah mengganggu komunikasi dan memberikan citra yang buruk," katanya.


Selebriti;Ini Politik, Bukan Sinetron!
DOK PRIBADI / Kompas Images
Marissa Haque dan Ikang Fawz
i

Setelah Rano Karno terpilih sebagai wakil bupati Tangerang dan Dede Yusuf jadi wakil gubernur Jawa Barat, angin politik di Indonesia berembus ke kalangan selebriti. Semakin banyak saja di antara mereka yang dikabarkan mau maju memperebutkan kursi kepala daerah lewat pilkada.

Saipul Jamil (28), penyanyi dangdut, dicalonkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) jadi wakil wali kota Serang. Pelawak Didin Bagito juga dikabarkan mencalonkan diri secara independen untuk wakil wali kota Serang.

Ikang Fawzi, mantan rocker tahun 1980-an, lagi digodok Partai Amanat Nasional (PAN) untuk jadi wakil wali kota Tangerang. Presenter kondang asal Palembang, Helmy Yahya, mendaftarkan diri sebagai calon wakil gubernur Sumatera Selatan lewat PDI-P.

Apa yang sebenarnya dicari para selebriti itu dalam dunia politik?

"Saya ingin jadi bapak bagi masyarakat Serang. Ini pengabdian, juga panggilan Ilahi," kata Saipul Jamil, yang juga mantan suami pedangdut Dewi Persik.

Lain lagi dengan Ikang Fawzi. Dia mau dicalonkan jadi wakil wali kota Tangerang karena ingin membenahi infrastruktur dan memperbaiki kehidupan masyarakat. "Kota Tengerang buffer atau penyangga ibu kota Jakarta, tetapi infrastrukturnya belum memadai. Dengan pengalaman menangani usaha real estate selama bertahun-tahun, saya terpanggil untuk ikut membenahinya," kata penyanyi yang tenar dengan lagu Preman tahun 1980-an itu.

Apa pun motivasi seorang artis masuk dalam kompetisi memperebutkan jabatan kepala daerah, agaknya mereka cukup diuntungkan dengan pergeseran dunia politik yang semakin larut dalam budaya pencitraan. Dengan sistem pemilihan langsung, popularitas memang pegang peran penting untuk mengambil hati rakyat.

Setidaknya Rano Karno dan Dede Yusuf telah membuktikan itu. Marissa Haque, artis yang ikut memperebutkan kursi wakil gubernur Banten dalam pilkada tahun 2006, juga merasa popularitasnya sebagai bintang film sangat membantu dalam kampanye. "Kalau saya datang, orang-orang itu mengerubungi, kayak laron ketemu neon. Sayang, saya dikalahkan oleh kejahatan sistemik dari partai yang berbasis uang," katanya mengenang.

Pertaruhan

Di sisi lain, sejumlah artis menyadari, fenomena selebriti masuk politik adalah sebuah pertaruhan. Jika artis yang terpilih mampu melayani dan mewujudkan aspirasi masyarakat, publik bakal semakin percaya kepada selebriti. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, angin politik ini bisa berubah arah dan jadi antiklimaks.

"Jika pejabat dari kalangan artis tak mampu kerja, publik akan sulit percaya artis lagi," kata Nurul Arifin (42), artis yang aktif sebagai Koordinator Bidang Budaya Pariwisata dan Pemberdayaan Perempuan DPP Golkar.

Artis Rieke Diah Pitaloka menilai, situasi bisa berbahaya jika artis yang digandeng tidak mengerti apa-apa. Lebih berbahaya lagi jika ajang pilkada dipandang sebagai aji mumpung untuk mengantisipasi meredupnya ketenaran di dunia hiburan.

"Masyarakat jangan memilih calon hanya karena dia seorang artis, tetapi lihatlah kredibilitasnya. Rakyat harus sadar, ini dunia politik, bukan sinetron," ujar artis yang pernah ditawari jadi calon kepala daerah di Tangerang dan Kota Bandung itu. (iam/ivv/bsw)



Manusia-manusia Bebas, Ini adalah Sikap Hidup
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY / Kompas Images
Mobil mewah dengan logo DPR di plat nomornya
.

Mengapa seniman seperti Deddy Mizwar, Franky Sahilatua, dan grup band Slank memilih menyuarakan tema-tema bernada protes dalam karya mereka?

Buat Deddy, apa yang dilakukannya adalah sebuah sikap hidup. Ia ingin bersikap kritis terhadap keadaan bangsa dengan cinta, dan hanya lewat filmlah ia bisa menyuarakan kesesakan hatinya melihat kondisi karut-marut bangsa.

Lewat film, ia ingin menggugah kesadaran masyarakat dan pemimpin bangsa tanpa membuat mereka sakit hati. Deddy mengidentifikasi dirinya sebagai seniman yang bisa mewakili masyarakat untuk menyuarakan ketimpangan dalam penyelenggaraan negara.

Buat Slank, protes adalah bagian dari hidup dan tercermin di dalam sebagian besar lagu- lagunya. Selama 25 tahun berkiprah, Slank bicara mulai dari soal korupsi, kesenjangan sosial-ekonomi, kenaikan harga BBM, perilaku penyelenggara negara, hingga lingkungan hidup.

Seniman lain, Franky Sahilatua, merasa protes lewat lagu bisa menjadi sangat efektif buat penyadaran sosial. Ia ingin memberikan fantasi kepada rakyat dan penguasa. Saat rakyat sumpek dengan kondisi saat ini, ia memberikan fantasi dengan membuat lagu Aku Ingin Presiden Baru.

Menjadi seniman itu bisa bebas bicara. "Kalau terjun ke partai atau sistem politik, saya justru masuk ke dalam industri kekuasaan," kata Franky.

Dengan menjadi seniman, kata Deddy, ia bisa bicara mulai soal lumpur Lapindo hingga konflik di Maluku. "Kalau jadi Bupati Tangerang, saya kan enggak bisa bicara soal lumpur Sidoarjo," kata Deddy.

Politis

Orang-orang semacam Deddy, Franky, grup Slank, dan juga Iwan Fals ini menjadi bagian dari apa yang disebut pengamat politik, Eep Saifulloh Fatah, selebriti yang berpolitik. Selebriti menggunakan kesohorannya untuk berpolitik. Mereka memberi warna dalam jagat perpolitikan.

"Naga Bonar Jadi Dua itu sangat politis. Bicara soal gap antargenerasi, nasionalisme, dan banyak hal," kata Deddy yang juga beriklan layanan masyarakat di televisi soal kebangkitan nasional.

Deddy juga memutar kembali film Naga Bonar (1987) di bioskop. "Saya ingin mengatakan, mari menoleh sejenak ke belakang, agar kita tahu sudah sejauh mana bangsa ini melangkah. Jangan-jangan belum melangkah sejengkal pun," katanya.

Jika Deddy menggunakan cara halus, Slank lebih langsung. Hal itu terekam, misalnya, dalam 13 lagu yang ada dalam album Slankissme (2006). Lagunya, antara lain, adalah SBY dan Kritis BBM.

Bagi Deddy, panggung apa pun bisa menjadi arena politik, dan semua orang bisa menjadi politis. (IVV/DHF/BSW)


Saya Ini Orang Politik
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Suasana rapat kerja di Gedung DPR.

Susi Ivvaty dan Ilham Khoiri

Popularitas dan gaya hidup menjadi komponen penting buat politisi serta pejabat untuk menarik simpatisan. Sekurang-kurangnya, bisa tampil beda dan punya "taste". Mereka melenggang masuk ke jagat hiburan sekaligus tampil bergaya.

Inilah barangkali yang disebut delusi selebriti yang zaman ini sedang musim. Politisi masuk ke jagat selebriti untuk mencapai popularitas. Sebaliknya, kaum selebriti berbaris masuk ke wilayah politik.

"Kalau orang dengan delusi kepiting, ya jalannya miring-miring kayak kepiting, misalnya," kata pengamat politik M Chudlori.

Jagat hiburan dinilai sebagai wilayah yang niscaya memberi kesempatan untuk bisa populer. Masuk akal jika anggota Komisi VII DPR, seperti Ade Nasution, ingin pula menggenggam dunia itu. "Saya ini orang politik, butuh massa. Saya bisa ngumpulin banyak orang lewat film dan artis-artis."

Maka, Ade pun menjadi produser film. Film pertamanya, Bola Itu Bundar, segera dilepas ke bioskop. Tak kurang, Frank Leboeuf, mantan pemain sepak bola dari klub Chelsea, diberi peran dengan honor 5.000 dollar AS dan Jimmy Jean-Louis, pemeran The Haitian dalam serial televisi Heroes, dibayar 10.000 dollar AS.

"Saya beruntung dapat murah. Mereka saya casting pas ada aksi mogok penulis skenario di Hollywood," ujar Ade. Lokasi shooting film dengan pemeran utama Nova Eliza ini adalah Jakarta, Paris, dan Los Angeles.

Mengapa memilih ranah hiburan, kata Ade, karena saat ini banyak orang tertekan menghadapi hidup. Hidup pun statis. "Maka, orang lari ke entertainment," ujarnya.

Mengapa anggota Dewan harus populer? Ujar Wakil Ketua Komisi I DPR Yusron Ihza Mahendra, "Popularitas menjadi satu jalan mencapai kekuasaan. Tanpa kekuasaan, seseorang tidak bisa mencapai mimpi atau visi. Politik itu kekuatan, dan kekuatan adalah jumlah. Tentu, kekuasaan itu dimanfaatkan untuk kebaikan rakyat."

Gaya hidup

Buat Yusron, penampilan adalah bagian dari gaya hidup. "Pakaian dan penampilan adalah gambaran mental tentang diri kita," ujarnya.

Hampir semua jas dan baju Yusron buatan Jepang karena ia pernah tinggal 13 tahun di sana. Kualitas ia jaga betul. Ia juga punya beberapa koleksi jas Hugo Boss dan Giorgio Armani.

Yusron melengkapi penampilan dengan cangklong atau pipa rokok. Dengan cangklong, ia merasa tampil beda. Ia mengoleksi 60 buah cangklong dengan kisaran harga antara Rp 600.000 hingga Rp 5 juta. Mereknya antara lain Davidoff dan Stanwell, yang ia beli di Jepang, Brasil, Perancis, Rusia, dan Australia.

Kualitas penampilan juga harus buat Ade Nasution, yang menggemari jas warna khaki, seperti merek Puro Cotone yang dibelinya di Milan. Ia lebih suka berburu barang di luar negeri, terutama jika ada pesta potongan harga. Sepatu? Prada dan Gucci, antara lain, merupakan pilihannya.

Buat Ade, gaya hidup adalah sebuah cara berpikir. "Baju dan sepatu saya tidak terlalu mahal. Hanya ada satu yang mahal, cincin ini," ujarnya sambil menunjukkan cincin berliannya.

Cincin berlian yang disebut Ade kelas tiga itu dibelinya 20 tahun yang lalu seharga Rp 25 juta. Harga sekarang? "Cukup buat membeli rumah kecil," sahutnya, menyebut angka Rp 500 juta untuk berlian berukuran 5,6 karat.

Baik Ade maupun Yusron mengatakan, semua barang yang mereka miliki sudah dimilikinya sebelum menjadi anggota DPR. "Bukan sombong, tetapi waktu usia 26 tahun saya sudah punya mobil BMW 728," ujar Ade yang kini berusia 56 tahun. Maksud Ade, ia menjadi anggota DPR bukan untuk mencari uang, tetapi benar-benar bekerja untuk rakyat.

Pasar luas

Bagi pemegang merek mode internasional, politisi dan pejabat adalah pasar yang masih terbentang luas. Mereka target potensial. Apalagi, saat ini mereka semakin teredukasi soal merek. "Kalau menjahitkan setelan jas, habisnya bisa Rp 10-an juta. Kalau beli Hugo Boss, Rp 8 juta sudah langsung ditenteng," kata Lenni Tedja, Marketing Communication Manager PT Mahagaya Perdana.

Perusahaan ini menjual sejumlah merek, seperti Hugo Boss, Canali, Mango, Jimmy Choo, dan Prada. Bulan ini, Mahagaya mendatangkan merek baru, yakni Brioni, dengan harga termurah Rp 40-an juta per satu setelan jas.

"Menurut survei, kelas menengah atas meningkat dan mereka tahu merek. Mereka tidak membeli harga tapi kualitas," imbuh Chief Executive PT Mahagaya Perdana Raj Kaul.

Irwan Danny Mussry, President & CEO Time International, perusahaan pemilik jaringan toko ritel antara lain The Time Place dan Cartier, menyebut, politisi yang membeli arloji masih berada dalam core range, yakni berkisaran harga antara 4.000-10.000 dollar AS. "Mereka sudah sadar merek, khususnya merek bersejarah," katanya.

Politisi dan pejabat juga pasar yang potensial buat pengusaha properti serta hotel. Shangri-La Residences di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta, yang diresmikan 28 Mei lalu dan memiliki 168 unit pun menarget pasar ini, meski persentasenya kecil.

"Kalau politisi, terutama ya politisi-pengusaha," kata Eka Resmiasih, Senior PR Consultan Shangri-La Residences.

Hotel Mulia di kawasan Senayan termasuk yang paling kerap menjadi tempat ngumpul politisi, meskipun sekadar ngopi, di The Cascade Lounge. Pihak hotel pun terus memperbarui fasilitas.

"Mulai Mei, kami meluncurkan Sunday Jazz with Ireng Maulana. Itu untuk menggaet para pebisnis, elite politik, atau pejabat yang hendak kongko-kongko sambil mengadakan pertemuan," kata Adeza Hamzah, Manajer Komunikasi Hotel Mulia Senayan.

Siapa tahu, ada anggota dewan bersuara bagus yang ikut menyanyi dan lantas bisa rekaman? (dhf/bsw)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/01/01034644/saya.ini.orang.politik

Tidak ada komentar: