''Walau demikian kita masih harus tetap bangga, karena saat ini industri film Indonesia sudah jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya,'' kata HM Johan Tjasmadi, penulis buku 100 Tahun Bioskop di Indonesia saat peluncuran bukunya di Jakarta.
Meski jumlah layar bioskop di Tanah Air mengalami penyusutan, Johan mengatakan bukan berarti jumlah penonton yang datang ke bioskop menjadi berkurang. ''Dahulu sekitar tahun 2000, jumlah layar bioskop sebanyak 3.048 layar. Tapi box office-nya hanya bisa 700 ribu penontonnya. Tetapi sekarang box office film Indonesia saya perkirakan mencapai 3,5 juta untuk film Ayat Ayat Cinta dengan jumlah 473 layar. Ini menandakan bahwa bioskop Indonesia sekarang sudah bisa menjadi tuan rumah di negaranya sendiri,'' kata ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) periode 1970-1999 ini memaparkan.
Dalam bukunya, Johan mengungkapkan berdasarkan data tahun 1936, di seluruh wilayah Hindia Belanda terdapat 225 bioskop, seperti Bandung Jakarta (13), Surabaya (14), dan Yogyakarta (6). Dibandingkan pengusaha 'kulit putih' dan pribumi, pengusaha Cina mendominasi kepemilikan bioskop.
Mengapa demikian? Johan mengaku tidak punya referensi tertulis. Tetapi, berdasarkan pengalamannya ketika menjabat sekretaris Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) dan sering berkeliling daerah untuk mewawancarai pengusaha bioskop, ada dua kesimpulan yang diperoleh.
Pertama, kata dia, pengusaha Cina saat itu merasa tertantang oleh anggapan bahwa hanya orang kulit putih yang mampu membuka usaha bioskop. Kedua, dengan undangan nonton bioskop yang dibuat indah, mereka dapat mengiringi pengiriman hadiah makanan dan minuman (upeti) untuk para pejabat Belanda yang menjadi relasi mereka.
Sementara itu Raam Punjabi, bos Multivision Plus, mengatakan tahun 2007 menjadi momentum penting bagi kebangkitan film dan bioskop nasional. ''Pada 2007 itulah film-film kita diapresiasi tanpa ada paksaan. Semoga pada 2009 nanti kita bisa menciptakan suatu iklim dan raja di negerinya sendiri,'' katanya.
Berkaitan dengan kebangkitan film Indonesia sekarang, Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Titie Said, turut pula memberikan data. Dia mengungkapkan sebelum 2007 komposisi film nasional dengan impor yang masuk ke LSF sangat timpang. ''Tetapi di 2007 LSF menerima sebanyak 57 film nasional, sementara film impornya ada 207 judul. Sebelumnya komposisi itu sangat jauh sekali. Paling-paling film nasional hanya ada 10 judul berbanding dengan ratusan judul film impor,'' katanya. akb

Tidak ada komentar:
Posting Komentar