03 Mei 2008
Harry Kawilarang, Wartawan Senior Pemandu Ramos Horta di Jakarta
Sembunyikan Horta di Dapur Adam Malik
Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta melalui perdana menterinya, Xanana Gusmao, sudah minta maaf atas tudingan keterlibatan wartawan Indonesia memfasilitasi "pemberontak" Alfredo Reinado. Yang ironis, Horta dulu masuk Jakarta juga dibantu Harry Kawilarang, seorang wartawan senior. Siapa dia?
RIDLWAN HABIB, Bekasi
MEMASUKI halaman rumah Harry Kawilarang seperti bertamasya ke kebun tanaman hias. Aneka palem ditanam berjajar, dipadu dengan tanaman bunga warna-warni. Dedaunannya masih basah habis disiram.
"Inilah hobi saya. Selain menulis, saya merawat tanaman," kata Harry menyambut Jawa Pos di rumahnya, perumahan Jaka Permai, Bekasi, Jawa Barat.
Di usianya yang kepala enam, bapak tiga anak itu masih tampak enerjik. Harry lahir pada 27 September 1944, di Tondano, Sulawesi Utara. Karirnya sebagai wartawan dimulai dari anggota aktif Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) sekaligus belajar di Fakultas Publisitas Universitas Prof Moestopo pada 1965 di Jakarta.
Pada 1966 Harry pergi ke Eropa dan ikut belajar fotografi jurnalistik dan kursus jurnalis di Amsterdam, Belanda. "Saya ingat betul pesan Bung Hatta. Dia bilang, jangan manfaatkan revolusi ini. Cari jati dirimu, lihatlah dunia," ujarnya.
Setelah itu Harry meneruskan studi ke Hamburg dan Berlin (Jerman). Selama tahun-tahun kuliahnya di Eropa dia menjadi koresponden majalah KAMI pada 1966-68. "Ya, teman-teman saya waktu itu Mas Goenawan Mohamad, Mas Fikri Jufi, dan lain-lain," katanya.
Sesudah dua tahun menyelesaikan studi di Eropa, dia memulai karir sebagai wartawan foto di surat kabar Utusan Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1968 selama satu tahun. "Saya orang Indonesia pertama yang jadi wartawan di Malaysia setelah konfrontasi," katanya.
Harry ingat benar saat itu, 13 Mei 1969, dia meliput peristiwa konflik rasial di Jalan Kampong Baru yang mengakibatkan 184 orang meninggal dunia. "Entah bagaimana. Mungkin itu naluri wartawan, saya nekat saja meliput peristiwa bunuh-bunuhan. Waktu itu perasaan takut hilang sama sekali," katanya. Saat itu Harry di Utusan Malaysia masih menjadi fotografer.
Banyak bergaul dengan komunitas jurnalis Asia di Kuala Lumpur, Harry ditantang untuk pergi ke Vietnam. "Saya dipanas-panasi. Coba kalau berani ke Vietnam, meliput Amerika yang sedang buas-buasnya," katanya.
Dia lalu meliput ke Vietnam, menyaksikan serunya konflik di Semenanjung Indochina itu. "Desingan peluru itu dekat sekali," katanya. Jiwa petualangan Harry membuatnya mendekat sampai perbatasan Kamboja.
"Saya baru berhenti saat teman saya, orang Jepang, mati kodok, terkena pelor. Dalam hati saya, ini sinyal Tuhan. Saya lalu berhenti dan pulang ke Jakarta," katanya. Dari 48 temannya yang selalu berkelompok di Vietnam, kata dia, yang masih hidup kini tinggal 12 orang.
Saat menjadi wartawan di Jakarta Harry berkenalan dengan Jose Ramos Horta. Ceritanya, pada 25 April 1974 dia sedang cuti dan memancing di Desa Ba'a, Pulau Roti, Nusa Tenggara Timur (NTT). "Sebagai wartawan saya selalu membawa radio transistor. Saya dengar ada kudeta di Portugal," katanya.
Saat itu terjadi Revolusi Bunga yang berhasil mendepak rezim pemerintahan diktator Salazar di Kota Lisabon, Portugal. "Pikiran saya pun langsung tertuju ke Timor Timur, bagaimana keadaannya," katanya.
Esok harinya, Harry kembali ke Kupang dan langsung menghubungi Sabam Siagian. "Dia mentor dan atasan saya," katanya. Tapi, waktu itu Sabam tidak ada di Jakarta, sedangkan dari kantor tidak ada yang dapat memutuskan.
Harry pun berinisiatif. Dia menemui Gubernur NTT El Tari di kantornya. Rencana awal, Harry akan masuk melalui darat ke Belu. Lalu dari sana menyeberangi Sungai Mariana. Tapi, rencana berubah karena air Sungai Mariana meluap. Dia diantar ke enclave Portugal di Oekusi. Setelah bermalam di Oekusi, Harry naik pesawat Air Portugal ke Dili. "Setiba di kota ini, saya disambut oleh Bapak Tomodok, Konjen RI, dan menginap di sana," kata penulis buku Quotation on Terrorism itu.
Dua hari di Dili, dia berkenalan dengan Ramos Horta di luar Hotel Tourismo. "Saat itu dia juga wartawan lokal," ujarnya.
Sejak itulah Ramos menjadi guide Harry hingga berhasil menemui pemuka-pemuka setempat, antara lain Xavier de Amaral, Mari Alkatiri, Mgr. Josef, Mario Zuares, dan Gubernur des Reyes.
Ramos juga membawa Harry menghadiri pertemuan politik di ruang pertemuan Hotel Tourismo. Dia memperkenalkan Harry sebagai wartawan Indonesia, sekalipun dia sempat dikecam oleh beberapa peserta. "Jangan khawatir, dia teman saya dan teman kalian juga," katanya. Liputan Harry waktu itu dikutip oleh kantor-kantor berita di seluruh dunia.
Di Timor Timur ada berbagai aspirasi. Ada yang ingin federasi dengan Portugal, ada yang ingin berintegrasi dengan Indonesia, dan ada pula yang ingin berdiri sendiri. "Pernah di malam hari, sehari sebelum kembali ke Kupang, Xavier de Amaral menemui saya di rumah Konjen Tomodok. Dia bilang, kamu harus bantu kami. Kalian kan punya rencana pembangunan lima tahun," jelasnya.
Harry tidak bisa menjawab banyak saat itu. "Saya bukan pejabat, saya wartawan. Saya tidak menentukan apa-apa. Tapi saya bilang ke mereka, mengapa tidak kirim saja Ramos Horta ke Jakarta, siapa tahu berguna," katanya.
Pertemuan itu tidak menghasilkan keputusan apa-apa. Harry lalu pulang ke Jakarta. Seminggu kemudian, dia mendapat telepon dari Horta yang mengaku sudah di Jakarta.
Harry lalu membawa Horta ke rumah kosnya di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Dia megajak Horta ke mana-mana dengan skooter. "Saya rawat benar karena dia teman sekaligus narasumber saya," katanya.
Saat hendak menemui Menteri Luar Negeri Adam Malik, Harry kaget karena wartawan lain sudah 'nongkrong' di depan rumah dinasnya. "Saya bawa Ramos ke rumah jaga. Saya kebetulan kenal ajudannya. Saya bilang, saya sembunyikan sebentar di sini ya. Untung beliau setuju," katanya.
Setelah teman-teman wartawan pulang, Harry diam-diam mengajak Horta menyelinap lewat pintu belakang. "Saya bawa masuk dapur," ujarnya.
Harry lalu menemui Adam Malik yang masih di ruang makan. Kata dia, Adam Malik sosok yang akrab sekali dengan wartawan. "Saya bilang ke beliau, ada teman ingin ikut makan. Pak Adam tanya, 'Ayo, mana temannya?' Saya bilang, 'Itu Pak Ramos Horta, di dapur'. Pak Adam kaget sekali," katanya.
Itulah pertemuan pertama Horta dengan pejabat Indonesia. Harry juga mempertemukan Horta dengan kalangan aktivis mahasiswa dan beberapa pejabat lain. (*) Jawa Pos, Minggu, 04 Mei 2008
Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta melalui perdana menterinya, Xanana Gusmao, sudah minta maaf atas tudingan keterlibatan wartawan Indonesia memfasilitasi "pemberontak" Alfredo Reinado. Yang ironis, Horta dulu masuk Jakarta juga dibantu Harry Kawilarang, seorang wartawan senior. Siapa dia?
RIDLWAN HABIB, Bekasi
MEMASUKI halaman rumah Harry Kawilarang seperti bertamasya ke kebun tanaman hias. Aneka palem ditanam berjajar, dipadu dengan tanaman bunga warna-warni. Dedaunannya masih basah habis disiram.
"Inilah hobi saya. Selain menulis, saya merawat tanaman," kata Harry menyambut Jawa Pos di rumahnya, perumahan Jaka Permai, Bekasi, Jawa Barat.
Di usianya yang kepala enam, bapak tiga anak itu masih tampak enerjik. Harry lahir pada 27 September 1944, di Tondano, Sulawesi Utara. Karirnya sebagai wartawan dimulai dari anggota aktif Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) sekaligus belajar di Fakultas Publisitas Universitas Prof Moestopo pada 1965 di Jakarta.
Pada 1966 Harry pergi ke Eropa dan ikut belajar fotografi jurnalistik dan kursus jurnalis di Amsterdam, Belanda. "Saya ingat betul pesan Bung Hatta. Dia bilang, jangan manfaatkan revolusi ini. Cari jati dirimu, lihatlah dunia," ujarnya.
Setelah itu Harry meneruskan studi ke Hamburg dan Berlin (Jerman). Selama tahun-tahun kuliahnya di Eropa dia menjadi koresponden majalah KAMI pada 1966-68. "Ya, teman-teman saya waktu itu Mas Goenawan Mohamad, Mas Fikri Jufi, dan lain-lain," katanya.
Sesudah dua tahun menyelesaikan studi di Eropa, dia memulai karir sebagai wartawan foto di surat kabar Utusan Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1968 selama satu tahun. "Saya orang Indonesia pertama yang jadi wartawan di Malaysia setelah konfrontasi," katanya.
Harry ingat benar saat itu, 13 Mei 1969, dia meliput peristiwa konflik rasial di Jalan Kampong Baru yang mengakibatkan 184 orang meninggal dunia. "Entah bagaimana. Mungkin itu naluri wartawan, saya nekat saja meliput peristiwa bunuh-bunuhan. Waktu itu perasaan takut hilang sama sekali," katanya. Saat itu Harry di Utusan Malaysia masih menjadi fotografer.
Banyak bergaul dengan komunitas jurnalis Asia di Kuala Lumpur, Harry ditantang untuk pergi ke Vietnam. "Saya dipanas-panasi. Coba kalau berani ke Vietnam, meliput Amerika yang sedang buas-buasnya," katanya.
Dia lalu meliput ke Vietnam, menyaksikan serunya konflik di Semenanjung Indochina itu. "Desingan peluru itu dekat sekali," katanya. Jiwa petualangan Harry membuatnya mendekat sampai perbatasan Kamboja.
"Saya baru berhenti saat teman saya, orang Jepang, mati kodok, terkena pelor. Dalam hati saya, ini sinyal Tuhan. Saya lalu berhenti dan pulang ke Jakarta," katanya. Dari 48 temannya yang selalu berkelompok di Vietnam, kata dia, yang masih hidup kini tinggal 12 orang.
Saat menjadi wartawan di Jakarta Harry berkenalan dengan Jose Ramos Horta. Ceritanya, pada 25 April 1974 dia sedang cuti dan memancing di Desa Ba'a, Pulau Roti, Nusa Tenggara Timur (NTT). "Sebagai wartawan saya selalu membawa radio transistor. Saya dengar ada kudeta di Portugal," katanya.
Saat itu terjadi Revolusi Bunga yang berhasil mendepak rezim pemerintahan diktator Salazar di Kota Lisabon, Portugal. "Pikiran saya pun langsung tertuju ke Timor Timur, bagaimana keadaannya," katanya.
Esok harinya, Harry kembali ke Kupang dan langsung menghubungi Sabam Siagian. "Dia mentor dan atasan saya," katanya. Tapi, waktu itu Sabam tidak ada di Jakarta, sedangkan dari kantor tidak ada yang dapat memutuskan.
Harry pun berinisiatif. Dia menemui Gubernur NTT El Tari di kantornya. Rencana awal, Harry akan masuk melalui darat ke Belu. Lalu dari sana menyeberangi Sungai Mariana. Tapi, rencana berubah karena air Sungai Mariana meluap. Dia diantar ke enclave Portugal di Oekusi. Setelah bermalam di Oekusi, Harry naik pesawat Air Portugal ke Dili. "Setiba di kota ini, saya disambut oleh Bapak Tomodok, Konjen RI, dan menginap di sana," kata penulis buku Quotation on Terrorism itu.
Dua hari di Dili, dia berkenalan dengan Ramos Horta di luar Hotel Tourismo. "Saat itu dia juga wartawan lokal," ujarnya.
Sejak itulah Ramos menjadi guide Harry hingga berhasil menemui pemuka-pemuka setempat, antara lain Xavier de Amaral, Mari Alkatiri, Mgr. Josef, Mario Zuares, dan Gubernur des Reyes.
Ramos juga membawa Harry menghadiri pertemuan politik di ruang pertemuan Hotel Tourismo. Dia memperkenalkan Harry sebagai wartawan Indonesia, sekalipun dia sempat dikecam oleh beberapa peserta. "Jangan khawatir, dia teman saya dan teman kalian juga," katanya. Liputan Harry waktu itu dikutip oleh kantor-kantor berita di seluruh dunia.
Di Timor Timur ada berbagai aspirasi. Ada yang ingin federasi dengan Portugal, ada yang ingin berintegrasi dengan Indonesia, dan ada pula yang ingin berdiri sendiri. "Pernah di malam hari, sehari sebelum kembali ke Kupang, Xavier de Amaral menemui saya di rumah Konjen Tomodok. Dia bilang, kamu harus bantu kami. Kalian kan punya rencana pembangunan lima tahun," jelasnya.
Harry tidak bisa menjawab banyak saat itu. "Saya bukan pejabat, saya wartawan. Saya tidak menentukan apa-apa. Tapi saya bilang ke mereka, mengapa tidak kirim saja Ramos Horta ke Jakarta, siapa tahu berguna," katanya.
Pertemuan itu tidak menghasilkan keputusan apa-apa. Harry lalu pulang ke Jakarta. Seminggu kemudian, dia mendapat telepon dari Horta yang mengaku sudah di Jakarta.
Harry lalu membawa Horta ke rumah kosnya di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Dia megajak Horta ke mana-mana dengan skooter. "Saya rawat benar karena dia teman sekaligus narasumber saya," katanya.
Saat hendak menemui Menteri Luar Negeri Adam Malik, Harry kaget karena wartawan lain sudah 'nongkrong' di depan rumah dinasnya. "Saya bawa Ramos ke rumah jaga. Saya kebetulan kenal ajudannya. Saya bilang, saya sembunyikan sebentar di sini ya. Untung beliau setuju," katanya.
Setelah teman-teman wartawan pulang, Harry diam-diam mengajak Horta menyelinap lewat pintu belakang. "Saya bawa masuk dapur," ujarnya.
Harry lalu menemui Adam Malik yang masih di ruang makan. Kata dia, Adam Malik sosok yang akrab sekali dengan wartawan. "Saya bilang ke beliau, ada teman ingin ikut makan. Pak Adam tanya, 'Ayo, mana temannya?' Saya bilang, 'Itu Pak Ramos Horta, di dapur'. Pak Adam kaget sekali," katanya.
Itulah pertemuan pertama Horta dengan pejabat Indonesia. Harry juga mempertemukan Horta dengan kalangan aktivis mahasiswa dan beberapa pejabat lain. (*) Jawa Pos, Minggu, 04 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar