07 Maret 2008

Bagaimana Televisi Bersahabat Dengan Anak



Televisi dipandang sebagai salah satu aktor yang telah melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anak. Seringkali, Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi memaparkan, tayangan televisi yang didominasi berbagai berita maupun sinetron bernuansa kekerasan, contoh masyarakat yang menggunakan kekerasan sebagai jalan pemecahan masalah maupun perilaku para tokoh yang seharusnya menjadi panutan namun justru mencontohkan kekerasan, adalah rangkaian bentuk kekerasan yang amat besar pengaruhnya bagi perkembangan kepribadian anak di masa mendatang. (Kompas, 14/1/2006).
Sungguh sebuah gambaran mengenaskan. Karena kalau demikian keadaannya, betapa mengkhawatirkan masa depan anak-anak. Padahal, publik memandang televisi merupakan sarana hiburan. Pertanyaannya, mengapa televisi melakukan tindak kekerasan terhadap anak?

Tekanan Rating
Kalau mau jujur, semua pangkal persoalan tayangan kekerasan di televisi adalah bersumber dari apa yang disebut dengan ideologi rating. Rating merupakan tolok ukur melihat kuantitas/jumlah penonton, bukan kualitas program. Rating ini cerminan persentase jumlah penonton sebuah tayangan dibandingkan dengan total penonton televisi. Sederhananya, kalau acara disebut memiliki rating 15, maka itu sebagai gambaran 15 orang dari 100 penonton televisi menyaksikan acara tersebut.
Dalam sejarah pertelevisian swasta Indonesia, sinetron, variety show, dan film lepas mendominasi Top 100 program berating dari sekitar 1000 program di 10 televisi swasta per minggu. Dalam lima tahun terakhir, jarang ada program anak yang mampu menerobos barikade Top 100, jajaran program diminati pengiklan. Kalaupun ada, itu lebih ke film kartun Jepang, seperti Kapten Tsubasa, Doraemon, maupun Sinchan. Dan, kalau dicermati, ada juga kekerasan bersarang di dalamnya, baik kekerasan fisik maupun simbolik (ucapan kasar dan kotor).
Peta rating seperti itu dipandang oleh programer televisi sebagai peta selera penonton televisi. Sehingga programer televisi – yang tugasnya menyusun pola acara televisi sehari-hari--, tinggal menggandakan materi acara yang masuk Top 100. Yang terjadi selanjutnya adalah pengerucutan, penggerombolan, dan keseragaman tema tayangan. Celakanya, tema tayangan menggumpal pada tiga tema dominan yang berlawanan arah dengan asa membangun kehidupan beradab. Tiga tema dominan itu menjorok ke semenanjung VHS, violence (kekerasan), Horror (mistik), dan Sex (Seks).
Tidak bisa dihindarkan, tayangan kriminal meledak. Acara berbau mistik dengan menebeng dimensi religius boom. Program berbau sensualitas kian pekat di malam hari. Pengelola televisi tinggal memainkan tiga mata dagangan utama tersebut. Keringat programer televisi terletak kepada kecekatan dan kepintaran memainkan skedul tayangan dikaitkan dengan pergerakan saluran televisi kompetitornya. Kalau stasiun A menayangkan berita malam, stasiun B mengudarakan tayangan sensual. Stasiun C memutar film lepas berkategori Dewasa.
Pokoknya, tidak menayangkan tipe program sama pada jam yang bersamaan. Kecuali, program yang dimiliki begitu kuat, sehingga ia mampu “memakan” penonton saluran pesaingnya. Acuan utama program berlaga di layar kaca terletak bukan pada kualitas acara, tapi pada kuantitas jumlah penonton. Begitu saja polanya. Titik.

Anak = Objek TV
Dalam struktur logika seperti itu, posisi anak di mata pengelola televisi tidak dapat masuk ke layar kaca kalau tidak melewati pintu masuk lorong kekerasan. Kamera menyorot anak manakala anak sedang berkutatan dengan kekerasan fisik yang memilukan. Gambar-gambar ekstrem disajikan secara leluasa pada anak yang sedang menjadi korban tindak kekerasan.
Semakin ekstrem, semakin yahud karena niscaya ditonton orang. Begitu kira-kira benak pengelola acara televisi berujar. Karena itulah, televisi langka menampilkan program bergenre pada anak berprestasi. Yang terjadi adalah, televisi memblow-up sisi malang bin tragis kehidupan anak. Produser program seakan berlomba adu cepat menayangkan kekerasan terhadap anak, dan “merekayasa” melalui teknik penyuntingan dengan meniupkan efek-efek sehingga visual menjadi tampak lebih dramatis. Meski secara etis, berita tidak boleh melakukan montage, toh program berita di televisi masih sarat dengan kiat seperti itu. Anak menjadi objek kamera, bukan subjek tayangan.
Celakanya, berdasarkan analisis menit ke menit program dikaitkan jumlah penonton, ditemukan data bahwa peristiwa kekerasan fisik, dari aksi dorong-dorongan hingga ratusan nyawa melayang merupakan event favorit penonton. Atas nama memenuhi selera penonton yang tidak edukatif kepada anak tersebut, pengelola televisi menggeber tayangan yang tidak jauh beringsut dari kocoran darah dan amarah massa.

Sosok Ganas
Televisi telah menjadi sosok yang ganas. Tidak cukup puas menayangkan satu korban tewas, kalau bisa ratusan, bahkan puluhan korban melayang. Televisi sudah tidak kaget lagi dengan perkosaan. Karena ia mendambakan perkosaan plus sadisme. Ada keinginan menghadirkan peristiwa secara eskalatis, terus dan terus meningkat.
Sebagai sebuah tontonan, kejadian eskalatis kekerasan menjadi semacam dramaturgi dan sensasionalitas layar kaca. Tidak mengherankan bila label “top news” lebih diarahkan menggambarkan peristiwa berkekerasan dengan intensitas tinggi dan skala luas. Kalau kejadian lapangan dirasa kurang sangar, teknik editing dilakukan untuk mengemas kejadian agar aroma kekerasan lebih terasa.
Tekanan finansial, kungkungan rating, desakan pengiklan, serta ideologi kekerasan yang menancap di benak pengelola televisi seperti itu niscaya mengabaikan kepentingan segmen penonton anak. Bila mungkin, pengelola televisi menguruk durasi tayangnya dengan dawai-dawai kejadian berjubah kekerasan di setiap detiknya.
Pada teritori itulah, penonton yang tidak kritis tergilas dan larut merayakan kekerasan. Kelak ia berpotensi melakukan kekerasan di dunia nyata. Sementara mengiba ke pengelola televisi agar menanggalkan tayangan kekerasan pasti sia-sia. Karena mereka telah tersungkup oleh ideologi rating.
Kini, energi perlawanan tersemat pada penonton kritis. Sosok penonton televisi yang dibaluri semangat aktivisme melawan kekuatan raksasa televisi dengan melakukan konter pandangan. Gerakan mengkritisi tayangan televisi dimaksudkan untuk menyuarakan kepentingan tersebunyi yang bercokol di balik tayangan. Arah kekritisan difokuskan pada aspek-aspek yang cenderung negatif bagi perkembangan kepribadian anak.—(triana julianty dan teguh imawan)

1 komentar:

fisca mengatakan...

mau tanya ni...
Jika dalam prosentase 100% dari seluuh program tv di indonesia
kira - kira berapa % program anak yang ditayangkan di stasiun tv indonesia
terima kasih....