09 Januari 2011

Langgam Melayu Tionghoa yang Semakin Menghilang...

KEHIDUPAN PERS

Beberapa pekan silam, sebuah diskusi berlangsung di kawasan Menteng, Jakarta. Ini bukan diskusi berat yang membahas rancangan undang-undang bidang politik, melainkan lebih menyerupai pertemuan santai untuk membahas sebuah buku yang berisikan kumpulan tulisan ringan.

Menjadi Tjamboek Berdoeri, demikian judul buku itu. Diterbitkan Komunitas Bambu pada 2010, buku ini berisikan kumpulan tulisan karya Kwee Thiam Tjing (1900-1974), seorang wartawan yang cukup dikenal pada masa hidupnya di Malang, Jawa Timur. Tulisan yang masuk dalam buku Menjadi Tjamboek Berdoeri pernah dipublikasikan di surat kabar Indonesia Raya, yakni pada Juli 1971-Juli 1973.

Ada beragam tema yang dihasilkan Kwee melalui tulisannya. Keterlibatannya yang cukup intens dengan aktivitas pergerakan politik di Jawa, misalnya, membuat ia dengan ringan tetapi cukup detail dapat menceritakan siapa Dokter Soetomo. Dalam tulisan berjudul "Mas Tom", Soetomo diceritakan sebagai dokter yang tidak pernah meminta bayaran, tetapi sebaliknya dengan gampang memberikan uang kepada pasien yang tidak mampu.

Ada pula tulisan Kwee yang mengisahkan tentang pengorbanan induk tikus kepada anaknya. Dalam tulisan berjudul "Betapa Sajangnya Tikus pada Anaknja" itu, ia menyampaikan kisah mengharukan induk tikus yang dengan susah payah memberikan keju kepada anaknya meski tubuhnya lumpuh separuh akibat disiram air panas. Kisah itu tampaknya berangkat dari pengalaman Kwee menyaksikan temannya yang berhasil menangkap tikus memakai perangkap.

Karya Kwee mengingatkan bagaimana seharusnya tulisan jurnalistik dibuat: fakta di sana-sini, tetapi tetap tidak kehilangan keindahan narasi yang memikat dan mengalir.

Diskusi yang menghadirkan editor buku Ben Anderson dan Arief W Djati itu terus berkembang dan akhirnya tidak berhenti hanya pada nostalgia seputar karya Kwee. Pembicaraan menukik pada langgam bahasa yang dipakai Kwee dalam tulisannya. Melayu Pasar, demikian Arief W Djati menyebutkan langgam yang dipakai Kwee. Sayangnya, langgam bahasa ini sudah punah. Ragam bahasa Melayu Pasar yang dipergunakan Kwee sangat khas karena memakai kosakata Jawa Timur dan diperkaya Kwee dengan kosakata dari Jepang, Belanda, Inggris, Latin, dan Hokkian.

Buku Menjadi Tjamboek Berdoeri pun cukup memiliki nilai sejarah, tidak saja karena isinya menggambarkan situasi masyarakat Indonesia pada penjajahan Belanda, tetapi juga karena memakai ragam bahasa yang sudah hilang.

Menurut Arief, langgam Melayu Pasar peranakan Tionghoa masih dipakai hingga tahun 1948. Namun, akhirnya langgam itu hilang dari dunia surat kabar pada 1950-an ketika golongan Tionghoa digencet habis-habisan oleh pemerintah kala itu.

Cerita silat masih berusaha mempertahankannya pada tahun 1950-an. Namun, seiring berlalunya waktu dan kegigihan Orde Baru untuk membakukan bahasa Indonesia, langgam Melayu Pasar akhirnya hilang sama sekali.

Pengalaman keluarga Tionghoa yang mati-matian berlatih berbicara dengan bahasa Indonesia sesuai Ejaan yang Disempurnakan (EYD) disampaikan seorang peserta diskusi. Cerita ini membuat miris karena menggambarkan bagaimana kelompok etnis tertentu harus rela "membunuh" kekayaan budayanya sendiri agar bisa diterima secara politik dan sosial.

Ragam Melayu Pasar peranakan Tionghoa mungkin sudah punah, tetapi kita bisa mengenangnya lewat buku. (ato)

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/10/02451241/langgam.melayu.tionghoa.yang.semakin.menghilang...

Tidak ada komentar: