16 Agustus 2010

Akhirnya Kasus Pembunuhan Udin Pun Kedaluwarsa

 Budiman Tanuredjo

Dalam alinea berikutnya, Kompas menulis penganiayaan Udin—demikian Fuad Muhammad Syafruddin sering dipanggil—itu diduga berkait dengan tulisan yang ia buat dan dimuat di harian Bernas menyangkut kemungkinan adanya kasus manipulasi tanah dan pemotongan dana inpres desa tertinggal atau IDT di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tanpa sengaja, saya teringat kembali cerita soal Udin ketika bertemu dengan Priyambodo, seorang pengurus PWI Pusat dan juga pengajar jurnalistik di Lembaga Pendidikan Dr Soetomo. Kala itu, saat menghadiri malam penganugerahan Mochtar Lubis Award 2010 di Hotel Santika, Kamis, 22 Juli, Priyambodo mengingatkan bahwa tahun 2010 ini adalah 14 tahun kematian Udin. "Kasus pidananya bakal kedaluwarsa," ujar Priyambodo membuka percakapan.

Seusai ngobrol dengan Priyambodo, saya mencari arsip di harian Kompas. Dan ternyata benar, penganiayaan Udin terjadi pada Selasa, 13 Agustus 1996, 14 tahun lalu. Sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sebuah tindak pidana menjadi kedaluwarsa setelah berumur 14 tahun. Artinya, kasus kematian Udin akan masuk dalam dark number, sebuah kasus yang tak terungkap.

Siapa penganiaya Udin tetaplah menjadi sebuah misteri. Dan, setelah memasuki masa kedaluwarsa sesuai KUHP, upaya pengungkapan kasus itu bakal tertutup secara hukum.

"Itu ada preseden buruk di mana negara tak mampu memberikan keadilan pada wartawan," kata Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers, di Jakarta, Sabtu (14/8). Siapa pembunuh Udin tak pernah terungkap karena Polri tidak cukup punya keseriusan untuk mengungkapkannya.

Orde Baru dan sekarang

Penganiayaan Udin terjadi pada saat Orde Baru berkuasa, tahun 1996. Udin yang aktif menulis praktik menyimpang atau korupsi di lingkungan Pemkab Bantul akhirnya menemui ajalnya. Ia dianiaya karena berita yang ditulisnya. Hanya karena tekanan publik yang demikian keras pada waktu itu, memaksa penyidik di Polres Bantul berupaya mengungkap kasus yang mendapat sorotan nasional maupun dunia. Namun, dalam perjalanannya, penyidik Polres Bantul bukannya mencoba mencari siapa sebenarnya dalang pembunuhan Udin, tetapi justru membangun skenario cerita sendiri untuk menutupi siapa aktor sebenarnya.

Penyidik menangkap Dwi Sumadji alias Iwik. Penyidik pun menahan Dwi Sumadji. Namun, upaya Polres Bantul waktu itu untuk menjerat Iwik gagal total. Kekuatan masyarakat sipil, termasuk Ny Marsiyem sendiri, meragukan Iwik adalah pembunuh Udin.

Iwik akhirnya diadili. Namun, di dalam persidangan itu terungkap adanya rekayasa dalam penanganan kasus Udin. Jaksa penuntut umum Amran Naim akhirnya menuntut bebas Iwik. Jaksa tak bisa membuktikan unsur barang siapa, sebuah unsur dalam pasal pembunuhan. Para saksi yang dihadirkan ke persidangan meragukan Iwik sebagai terdakwa pembunuh Udin. Dan, jaksa pun tak bisa berkata lain selain menuntut bebas Iwik.

Skenario busuk itu akhirnya diungkapkan majelis hakim dalam putusannya. Majelis hakim yang terdiri dari Ny Endang Sri Murwati, dengan anggota Soeparno dan Ny Mikaela, mengatakan, Iwik menjadi terdakwa dalam kasus itu karena adanya skenario yang tak benar yang dibuat Sersan Mayor (Pol) Edi Wuryanto (anggota Reserse Polres Bantul).

Majelis hakim kemudian mengatakan, Iwik mengikuti kemauan Edi Wuryanto sebab ketakutan akan ditembak dan mayatnya akan dibuang, maupun dijanjikan akan diberi pekerjaan, diberikan rumah dan mobil. Edi Wuryanto, menurut majelis hakim, menjanjikan keselamatan Iwik akan dijamin, keluarganya tidak ada yang tahu, dan takkan diberitakan media massa.

Gagalnya rekayasa pengungkapan kasus Udin oleh penyidik Polres Bantul dengan menetapkan Dwi Sumadji sebagai terdakwa tak bisa dilepaskan dari tekanan yang dilakukan kelompok masyarakat sipil kala itu. Artinya, kekuasaan Orde Baru yang kokoh pada waktu itu tak mampu dengan mulus menyusun rekayasa kriminal untuk menersangkakan Dwi Sumadji. Kekuatan kelompok masyarakat sipil telah mampu menghindari terjadinya peradilan sesat. Meskipun, sampai sekarang, pembunuh Udin tetaplah gelap. Akan tetapi, boleh jadi pembunuhnya masih berkeliaran.

Kekerasan pada wartawan

Rezim politik Orde Baru boleh saja berganti dengan datangnya sistem politik yang terbuka. Namun, bukan berarti kekerasan wartawan berkurang. Kekerasan terhadap wartawan justru tetap terjadi dengan tingkat kesadisan yang kian tinggi. Wartawan Radar Bali, AA Narendra Prabangsa, dibunuh secara sadis oleh pihak-pihak di Bali yang merasa terpojok karena berita-berita yang ditulis Prabangsa.

Wartawan Merauke TV Ardiansyah Matra'is (25), pada Jumat (30/7) pagi ditemukan tewas terapung di Sungai Marau, kawasan Gudang Arang. Polisi mengaku tidak menemukan bekas penganiayaan pada tubuh Ardiansyah, Otopsi masih dilakukan untuk mengetahui secara pasti penyebab kematian korban.

Majalah Tempo sempat diteror dengan pelemparan bom molotov. Belum diketahui apakah ada kaitan pelemparan molotov dengan berita-berita kritis yang ditulis Tempo. Namun, faktanya, seorang aktivis antikorupsi Tama Langkun dianiaya orang tak dikenal. Ia adalah orang yang melaporkan adanya rekening mencurigakan yang dimiliki sejumlah pejabat Polri.

Sejauh ini, pihak Polri belum bisa mengungkap ada apa di balik pelemparan bom molotov di Kantor Tempo dan penganiayaan aktivis antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Meski dalam sebuah diskusi di Dewan Pers, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Edward Aritonang beberapa waktu lalu mengatakan, pelemparan bom molotov terhadap Kantor Tempo jangan terlalu cepat disimpulkan sebagai ancaman terhadap kebebasan pers.

Mengenai kebebasan pers di Indonesia, menarik apa yang ditulis Jose Manuel Tesoro, mantan koresponden di Jakarta untuk majalah Asiaweek yang diterbitkan di Hongkong. Ia menyebut, media pers di Indonesia kini tidak terbelenggu, tetapi juga tidak terlindungi. Ia menulis, pembatasan dan petunjuk pemerintah sudah lenyap. Namun, wartawan Indonesia tetaplah meraba-raba, seberapa jauh masyarakat memberi keleluasaan kepada media untuk bisa bebas.

Anggoto Dewan Pers, Agus Sudibyo, menilai tren ancaman terhadap wartawan cenderung meningkat pada tahun 2010. "Itu di luar dugaan, kami mengira tahun 2009 saat pemilu bakal meningkat, tapi justru peningkatan terjadi tahun 2010," katanya.

Agus membeberkan ancaman terhadap sejumlah wartawan yang memberitakan pencemaran lingkungan, pembalakan hutan, kasus korupsi, ataupun pilkada. "Modusnya mereka menggunakan preman yang dibayar," katanya seraya menyebut, "Ini adalah kemunduran."

Meski demikian, Agus mengakui ada juga sisi kemajuan. Mabes Polri dan Dewan Pers telah membuat nota kesepahaman untuk kasus-kasus pers yang diadukan ke Polri akan terlebih dahulu disampaikan ke Dewan Pers.

Terjadinya kekerasan terhadap wartawan, menurut Agus, jelas disebabkan oleh pihak yang merasa terpojok oleh pemberitaan, entah itu korupsi, pemilihan kepala daerah, pembalakan liar hutan, atau model berita investigatif. "Biasanya mereka akan menggunakan tangan ketiga," katanya.

Kekerasan itu terjadi karena masyarakat tidak memahami fungsi sosial media dan juga tidak memahami bagaimana keberatan terhadap sebuah pemberitaan media diselesaikan secara demokratis, bukan dengan cara kekerasan atau gugatan hukum di luar batas kewajaran.

Berkaitan dengan meningkatnya ancaman terhadap wartawan, Dewan Pers telah mengeluarkan seruan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencermati betul ancaman-ancaman kekerasan terhadap wartawan karena upaya membungkam wartawan hanya akan mematikan demokrasi yang masih muda.

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/16/0450052/akhirnya.kasus.pembunuhan.udin.pun.kedaluwarsa

Tidak ada komentar: