30 Mei 2010

Banyak Penegak Hukum Belum Pahami UU Pers

Jakarta, kompas - Meskipun berlaku sejak 11 tahun lalu, ternyata masih banyak penegak hukum, terutama yang berada di daerah, yang masih juga belum memahami Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Baik pengacara, polisi, jaksa, maupun hakim sering kali tidak mengedepankan mekanisme penyelesaian sengketa pers yang diatur dalam UU, yaitu proses mediasi melalui Dewan Pers.

Pengacara, yang seharusnya memberikan advis kepada kliennya yang merasa dirugikan pemberitaan pers, tidak juga membawa persoalan itu ke Dewan Pers, tetapi malahan membawa perkara tersebut ke jalur pidana atau gugatan perdata. Fenomena ini diduga kuat berkenaan dengan faktor kepentingan ekonomi yang kental dibandingkan dengan melaksanakan UU.

Koordinator Divisi Riset dan Pendidikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Arief Ariyanto mengatakan hal itu, Minggu (30/5) di Jakarta.

"Sosialisasi UU Pers masih kurang. Banyak polisi dan hakim di daerah yang belum memahami. Bahkan, banyak pula hakim di daerah yang tidak mengindahkan surat edaran Ketua Mahkamah Agung (MA) agar mendengarkan keterangan Dewan Pers sebelum memutus perkara pers," ujar Arief lagi.

Padahal, ungkap Arief, Ketua MA Harifin A Tumpa sudah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2008 mengenai imbauan perlunya mendengarkan keterangan Dewan Pers sebagai saksi ahli untuk setiap perkara/sengketa pers. Baru hakim di Jakarta yang melaksanakan surat edaran ini. Beberapa orang di antaranya bahkan menggunakan pendapat Dewan Pers itu dalam putusannya.

Namun, tak semua hakim memiliki pemikiran seperti itu. "Masih banyak yang menggunakan paradigma lama. Padahal, ketentuan UU Pers sudah jelas," katanya.

Hal yang sama juga terjadi pada aparat penegak hukum lainnya, misalnya polisi. Penyidik polisi di daerah biasanya langsung memberlakukan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) daripada menggunakan UU Pers. "Jika polisi di tingkat Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mungkin tidak, tetapi jika ke daerah, yang terjadi sama seperti hakim. Barangkali karena pemahaman terhadap UU Pers, faktor sumber daya manusianya yang tidak sama," ujarnya.

UU Pers bermasalah

Secara terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, mengakui pula, banyak penegak hukum yang belum memahami perubahan asas antara UU Pers lama (tahun 1982) dan UU Pers baru (1999).

Indriyanto juga mengemukakan, masih maraknya proses penyelesaian hukum terhadap perkara dugaan pelanggaran pers juga terjadi akibat masih bermasalahnya UU Pers. UU itu mengandung dualisme penegakan terhadap pelanggaran pers.

"Di satu sisi dianjurkan menggunakan hak jawab, tetapi di sisi lain ada aturan sanksi pidana dalam UU Pers," katanya. (ana)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/31/02521631/banyak.penegak.hukum.belum.pahami.uu.pers

Tidak ada komentar: