25 April 2009

Menggugat Industri Politik (Opini Garin Nugroho)

Televisi Indonesia luar biasa dalam meliput pemilu legislatif. Namun, jika tidak cukup berani mengkritisi, bangsa ini akan kehilangan masyarakat politiknya.

Masyarakat tidak lagi menjadi warga negara, yang punya ikatan atas dasar cita-cita berbangsa, tetapi menjadi warga konsumen dan warga penonton. Masyarakat Indonesia juga akan kehilangan negarawan yang ditunggu ucapannya oleh pemirsa dalam situasi dan kondisi apa pun. Yang tertinggal hanya ikatan hiburan olok-olok, tragedi, dan puncak drama politik dengan medium pemilu penuh kemasan.

Inilah ucapan seorang pembuat dokumenter dari Jerman melihat aneka bentuk program televisi terkait pemilu legislatif, saat televisi berubah menjadi televisi pemilu dan terjadi lomba kompetisi menarik perhatian masyarakat menuju rating.

Harus dicatat, sejak awal kelahirannya, hubungan televisi dengan demokratisasi telah menjadi kajian sendiri yang penuh dialektika. Sebutlah relasi yang saling memakan alias kanibalistik yang dikumandangkan Bernard Ingham dari Kantor Pers Kementerian Inggris (1991) atau hubungan penuh adaptasi lewat kajian Blumer dan Gurevitch, atau kajian yang menekankan pluralisme lewat pengamatan Seaton dan Pimmlot. Semua melahirkan bentuk-bentuk program inovatif yang memperkaya nilai-nilai masyarakat demokratis.

Contohnya adalah lahirnya TVOne yang harus dipuji karena mendeklarasikan diri sebagai Televisi Pemilu dengan program inovatif yang melahirkan kompetisi antarstasiun televisi dalam mengelola program komunikasi politik.

Teknokapitalis politik

Pemilu 2009 hakikatnya adalah pemilu di tengah era politik, bisnis, dan industri populer. Kondisi ini telah diramalkan dalam iklan televisi RCA pertama kali di surat kabar Amerika (1950), "Televisi adalah mimbar politik terbesar di ruang keluarga".

Sejarah kemudian mencatat lahirnya era perlombaan keterampilan mengelola kandidat dan citra partai lewat industri televisi sebagai teknokapitalisme. Bentuknya serba melipatgandakan penyebaran, percepatan, dan sifatnya yang terus-menerus dan terbuka.

Jangan heran, saat itu Eishenhower memilih duduk di studio televisi, sebelum menyapa langsung basis-basis politiknya yang tersebar luas. Televisi adalah lompatan kuantum untuk masuk ke pelosok masyarakat, dari ruang keluarga, ruang tunggu bandara, hingga ke bar-bar. Inilah era ketika televisi dikelola menjadi mimbar headline berita politik di tiap detiknya.

Bisa ditebak, relasi televisi dengan pemilu senantiasa seperti Dewa Yanus dalam mitologi Yunani, senantiasa berwajah dua. Di satu sisi, televisi menjadi medium sosialisasi, konsultasi publik, dan dialog demokratisasi yang terbuka dan inovatif. Di sisi lain, politik justru menjadi budak televisi sebagai industri kapitalis. Pemilu tidak lebih sebagai tontonan alias dikelola layaknya program komersial yang mengejar rating dengan menghalalkan segala cara.

Coba simak, hanya di Indonesia, para kandidat legislator berperilaku layaknya pengikut kuis di televisi, ramai-ramai mau melontarkan yell-yell yang kadang tidak sesuai dengan karakter gerakan politik dan kenegarawanan.

Simak pula, pemirsa hampir tidak bisa membedakan status dan peran pelawak, pemandu acara, hingga politikus, bahkan iklan-iklan politik hampir 95 persen hanya iklan mengingatkan nama, lambang, nomor partai, dan wajah tokoh. Sebuah gejala ketakutan politikus atas pengakuan publik.

Alhasil, iklan menjadi politik hafalan yang lebih pada penetrasi tayangan daripada inovasi komunikasi politik. Kita menjadi mafhum jika komunikasi politik telah kehilangan fungsi pendidikan warga negaranya.

Politik "rating"

Dilema industri politik sebenarnya terletak pada dua aspek. Pertama, industri politik masuk dalam era kompetisi televisi yang jauh dari kompetisi yang sehat melayani masyarakat sipil.

Yang muncul adalah lomba meraih rating dengan jurus meraih perhatian tiap detik, lewat program-program dengan jurus gampangan guna meraih penonton. Yakni serba hadiah, konsumtif, vulgar, olok-olok, instant, serba kemasan, sering abai pada etika yang melekat di televisi. Sebut, etika konsumen, etika jurnalistik, etika politik, dan lainnya. Sebut acara kekerasan dalam keluarga, atau acara anak-anak dengan kemasan dewasa.

Dilema kedua, pemilu legislatif ini ditandai dengan popularitas partai yang merosot, juga melahirkan kandidat dan partai baru yang tidak memiliki prestasi publik. Akibatnya, televisi menjadi mimbar penetrasi perkenalan serta iklan kemampuan kerja dan cita-cita partai maupun kandidat yang ingin serba melompat. Ironisnya lagi, televisi juga menjadi mimbar laporan keberhasilan pembangunan. Para menteri berlomba memasang iklan institusi dan talk show yang berlebihan.

Situasi itu menjadikan wajah pemilu di televisi serba paradoksal. Di satu sisi penuh kemasan, tetapi kehilangan esensi, penuh tokoh yang menghibur tetapi kehilangan negarawan yang memesona, terbuka tetapi kehilangan etika politik seperti nilai rasa hormat, ingar-bingar tetapi sering terkikis daya ucap kebangsaannya, penuh lompatan inovasi tetapi juga kedangkalan.

Jika sifat kritis terhadap industri politik tidak melekat pada para elite politik, bisa ditebak, masa depan politik Indonesia dipenuhi elite politik yang serba vulgar, instant, konsumtif, serba gaya, tetapi tak memiliki esensi profesionalisme politik.

Artinya, elite politik layaknya produk iklan dan selebriti, serba pandai bicara dan terampil tampil di televisi, tetapi dalam realitas, warga negara tidak merasakan dinamika kerja kebangsaan memecahkan masalah-masalah hidup mereka sehari-hari.

Alhasil, kita kehilangan warga negara dengan hak-hak dan kewajiban yang perlu ditumbuhkembangkan dalam ikatan kebangsaan. Yang tersisa hanya warga penonton dan warga konsumen yang diikat hiburan, tontonan olok-olok tanpa respek, dan politik sebagai opera sabun yang dipenuhi hadiah serta impian.

Garin Nugroho Pemerhati Komunikasi Politik
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/25/03095231/menggugat.industri.politik

Tidak ada komentar: