25 Februari 2009

Putusan MK Perkuat UU Pers

Jakarta, Kompas  - Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan Undang-Undang Pemilu yang mengatur sanksi terhadap lembaga pers dan penyiaran yang melanggar pembatasan iklan kampanye. MK menyatakan pasal tersebut bertentangan langsung dengan UUD 1945.

Putusan itu dibacakan pada sidang terbuka di Gedung MK, Selasa (24/2). MK mengabulkan permohonan yang diajukan delapan pemimpin redaksi dari Harian Terbit, Sinar Harapan, Suara Merdeka, Rakyat Merdeka, Media Bangsa, Koran Jakarta, Warta Kota, serta tabloid Cek dan Ricek.

Menurut MK, penjatuhan sanksi yang diatur dalam Pasal 98 Ayat 2, 3, 4 dan Pasal 99 Ayat 1 dan 2 bertentangan langsung dengan Pasal 28 E Ayat 3 dan Pasal 28 F UUD 1945. Konstitusi telah memberikan jaminan yang sangat tegas terhadap kebebasan berekspresi. Jaminan itu diwujudkan, antara lain, dengan mencabut keharusan adanya surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) dan segala bentuknya.

Meskipun ketentuan sanksi tersebut dibatalkan, MK menyatakan tidak terjadi kekosongan hukum bagi perlindungan publik apabila lembaga penyiaran dan media cetak melakukan pelanggaran iklan kampanye.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan UU Pemilu cenderung menggeneralisasi institusi pers, yaitu media cetak dan lembaga penyiaran. Padahal, terdapat perbedaan mendasar antara lembaga penyiaran yang diatur dalam UU No 32/2002 dan media cetak yang diatur dalam UU No 40/1999. Lembaga penyiaran yang menggunakan spektrum udara yang terbatas memerlukan perizinan dari Menteri Komunikasi dan Informatika serta Komisi Penyiaran Indonesia. Media massa cetak tidak memerlukan perizinan dari instansi mana pun.

Menanggapi putusan tersebut, Pemimpin Redaksi Harian Terbit Tarman Azzam menyatakan putusan tersebut sangat maju dan memahami soal kebebasan pers. Pada dasarnya, segala ketentuan mengenai pembredelan harus dilawan.

Ketua Dewan Pers Leo Batubara dan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Sasa Djuarsa Sendjaja, secara terpisah di Jakarta, menilai, keputusan itu menghargai keberadaan UU Pers dan UU Penyiaran.

Menurut Leo, aturan dalam UU No 10/2008 memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk mencabut izin media cetak yang dianggap melanggar prinsip keadilan dalam berita maupun iklan politik. Padahal, UU Pers telah menegaskan bahwa untuk penerbitan media cetak, tidak diperlukan izin sehingga tidak dapat dicabut izinnya.

"Peserta pemilu yang tidak puas dengan pemberitaan di media cetak tertentu bebas membuat koran sendiri," katanya.

Ketua Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir menyambut baik putusan MK itu. Menurut dia, iklan menggerakkan ekonomi yang tidak hanya menguntungkan pemilik media, tetapi juga industri pendukung lain. Apalagi jika penggunaan spanduk dan baliho juga dibebaskan.

"Bayangkan, ada ribuan orang yang memesan spanduk, poster, dan sebagainya, maka ekonomi akan berputar," ujarnya.

Senada dengan Soetrisno, Ketua Umum Partai Bintang Reformasi Bursah Zarnubi juga menyambut baik liberalisasi kampanye semacam ini. Namun, kebebasan jangan hanya ditujukan pada iklan yang ada di media massa, tetapi juga di luar ruang.

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Irgan Chairul Mahfiz mengatakan, keputusan itu bisa berdampak positif dan negatif. Positif karena partai akan semakin berlomba membuat iklan. "Namun, saya khawatir akan makin banyak iklan yang negatif, saling serang, black campaign," ujarnya.(ANA/MZW/INA/MAM)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/25/00150584/putusan.mk.perkuat.uu.pers

Tidak ada komentar: