10 Februari 2009

Nasionalisme Rambo ala Presiden SBY - Oleh: Dhimam Abror

Selasa, 10 Februari 2009 

Tidak biasanya presiden SBY membanyol di depan orang ketika berpidato. Tetapi dalam acara puncak peringatan Hari Pers Nasional dan HUT PWI ke-63 di gelanggang tenis indoor Senayan, Jakarta, Senin (9/2) tadi malam, SBY beberapa kali membuat hadirin tertawa.

Ketika membuka sambutan di depan ratusan anggota PWI dan tokoh pers dari seluruh Indonesia, SBY membuat hadirin tertawa dan bertepuk tangan ketika mengatakan dia ingin menjadi sersan. Lho, dia kan jenderal? ''Saya ingin serius tapi santai,'' kata SBY yang didampingi Ibu Negara Ani Yudhoyono.

Ia pun berbicara panjang tanpa teks mengenai media massa dalam pemilu.  Ia bercerita mengenai kisah pewayangan Ramayana untuk memberi ilustrasi bagaimana peran media dalam membela kepentingan negara.

SBY pun mengutip adagium nasionalisme, ''Banyak yang mengatakan right or wrong is my country, kesetiaannya mutlak kepada negara,'' kata presiden kelahiran Pacitan ini.

Tapi, lanjutnya, ada pula yang mengatakan right is right, wrong is wrong yang benar tetap benar, salah tetap salah.

SBY lalu mengutip kisah Ramayana mengenai tokoh Rahwana yang memimpin negeri Alengka. Rahwana mempunyai dua adik yang berbeda bentuk, sifat, dan karakter. Kumbakarna, sang adik pertama, berwajah seram dan bertubuh raksasa. Ia sangat setia kepada Rahwana yang juga raksasa.

Adik kedua adalah Gunawan Wibisana seorang satria berwajah halus dan bertubuh ramping.

Ketika Rahwana berkonflik dengan Prabu Rama memperebutkan Dewi Sinta, Kumbakarna dan Wibisana berbeda haluan.

Ketika perang besar akan berkobar karena pasukan Rama bersiap menyerang, Rahwana memanggil kedua adiknya. Ia meminta keduanya untuk maju ke medan laga membela kakaknya dan negaranya.

Kumbakarna marah mengetahui ulah kakaknya yang menculik istri orang. Tetapi, Kumbakarna tetap berangkat ke medan perang. Ia maju perang membela negaranya dan tewas di tangan lawan. ''Kumbakarna gugur sebagai patriot pembela negara,'' kata SBY. Di mata Kumbakarna right or wrong Alengka is my country.

Sedangkan Wibisana yang tahu Rahwana bersalah merebut istri orang memutuskan membelot ke pihak penyerang dan menjadi penasihat Prabu Rama. Atas nasihat-nasihat Wibisana, Rama bisa mengalahkan Alengka. ''Di mata Wibisana right is right, wrong is wrong,'' kata SBY yang tadi malam menerima medali emas kemerdekaan pers dari PWI.

Pers Indonesia, kata SBY, silakan menafsirkan kisah epik itu ketika menulis mengenai persoalan-persoalan bangsa.

Presiden juga mengutip kisah dari khazanah Konfusianisme. ''Dalam ajaran Konfusianisme ada yang disebut kebenaran kecil dan kebenaran besar,'' kutipnya.

Alkisah, Konghucu punya seorang murid yang amat pintar dan ada seorang murid yang bodoh.

Suatu ketika si murid bodoh menantang taruhan murid yang pandai.

Si bodoh bertanya kepada si pintar, ''Berapa 8x3''. Sang murid pintar menjawab, ''24". Si bodoh menyalahkan dan menyebut 8x3 adalah 24.

Terjadi perdebatan hebat. Keduanya saling menyalahkan tak mau mengalah. "Kalau begitu kita bertaruh," kata si bodoh.

Kalau si bodoh salah dia akan memotong lehernya sendiri. Sebaliknya kalau si pintar yang salah dia harus melepas  topinya selamanya. Dalam tradisi China Konfusian melepas topi bagi seorang murid adalah aib seumur hidup karena topi adalah simbol intelektualitas.

Mereka memutuskan untuk menghadap Konghucu untuk menanyakan kebenaran.

Konghucu menjawab bahwa si murid bodoh yang benar dan si pintar salah dan kalah.

Alangkah marahnya si murid pintar. Ia dipermalukan oleh gurunya sendiri. Ia pun mengancam meninggalkan perguruan.

Konghucu mengizinkan murid kesayangannya itu pergi. Tapi ia menitipkan peringatan, ''Kalau nanti kamu masuk hutan akan terjadi hujan sangat lebat," kata Konghucu.

Jika terjadi demikian, kata Konghucu kepada muridnya, janganlah si murid berteduh di bawah pohon besar karena pohon itu akan ambruk diterjang badai.

Benar saja. Begitu keluar dari perguruan dan akan masuk hutan terjadi hujan badai. Sang murid berpikir hendak berlindung di bawah sebuah pohon besar. Tetapi sang murid teringat nasihat Konghucu, dan diapun segera mengurungkan niatnya.

Benar saja. Sejurus kemudian pohon besar itu berderak ambruk dengan dahsyat menghancurkan apa saja yang ditimpanya.

Sang murid kontan tersadar bahwa gurunya benar. Ia pun memutuskan untuk kembali ke perguruan untuk menjadi murid lagi. Konghucu menerima muridnya dengan tangan terbuka. Ia pun membeberkan hikmah di balik keputusannya membenarkan si bodoh.

"Kalau aku membenarkanmu," kata Konghucu, "Akan ada satu nyawa melayang dan kamu akan menyesal seumur hidupmu".

Dia melanjutkan, "8x3 sama dengan 24 adalah kebenaran kecil. Sedangkan selamatnya nyawa si bodoh adalah kebenaran besar".

SBY mengajak seluruh wartawan untuk merenungi hikmah kisah ini. Jika terjadi konflik antarkelompok masyarakat dan jatuh korban, akankah wartawan mengungkap semua "kebenaran" fakta misalnya korban yang tewas dan rumah yang rusak. Padahal wartawan tahu dengan mengungkap semua fakta itu secara telanjang akan memicu konflik yang lebih besar dan akan jatuh korban yang lebih besar.

Di mata SBY mengungkapkan fakta apa adanya dalam kasus konflik itu adalah sebuah kebenaran kecil. Sedangkan menulis dengan bijaksana dengan mempertimbangkan dampak sosial yang lebih besar adalah sebuah kebenaran besar.

Dalam pidato panjang itu Presiden SBY sempat juga menyitir film 'The First Blood' yang menampilkan tokoh Rambo yang diperankan oleh Silvester Stalone.

Rambo, seorang prajurit green baret yang hebat, masuk Vietnam untuk membebaskan teman-temannya yang masih menjadi tawanan perang. Ia nyaris mati dalam aksinya itu. Ia sukses dengan misinya. Tetapi, ternyata pemerintahnya sendiri berusaha menghentikan operasi itu karena alasan-alasan politik.

Rambo merasa dikhianati. Ia kembali ke Washington dengan marah. Ia menghancurkan apa saja yang ada di markasnya untuk melampiaskan murkanya.

Lalu muncullah Kolonel Truthman, mentor Rambo. Dia berhasil menenangkan anak didiknya.

Setelah kemarahan Rambo reda kolonel berkata kepadanya, "John, this war may be wrong (perang Vietnam ini mungkin salah, Red)," kutip SBY dalam bahasa Inggris. "Dan mungkin juga terjadi pada waktu dan tempat yang salah," lanjutnya.

Tetapi satu hal, lanjut sang kolonel, "Jangan biarkan negeri ini menjadi salah".

Kata SBY, negara kita mungkin salah dalam mengambil sebuah keputusan. Tugas kita, kata SBY, bukan lantas menggkritik membabi buta. "Yang lebih penting, kita semua, termasuk pers, harus punya tanggung jawab untuk tidak membiarkan negara kita terus salah," pungkas SBY.

http://surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=9910489e4ff310896dce21303a8e7fda&jenis=c4ca4238a0b923820dcc509a6f75849b

Tidak ada komentar: