08 Februari 2009

Anomali Ruang Publik Media - Opini Agus Sudibyo

"Ruang publik sebagai potensi demokratis media akan tenggelam saat rasionalitas birokrasi atau rasionalitas modal mendominasi fungsi, sistem kerja, dan orientasi produksi media."

Pernyataan Robert McChesney dalam buku Corporate Media and The Threat to Democracy, Seven Stories Press, The Open Media Pamphlet Series, 1997, itu menjadi titik awal untuk meninjau situasi terkini media di Indonesia.

Reformasi sistem media nasional selama satu dekade terakhir tidak otomatis membuat praktik produksi, orientasi, dan kecenderungan politik media kian didasarkan pada prinsip-prinsip keutamaan publik. Reformasi itu juga belum berujung pada lahirnya ruang publik ideal, yang relatif otonom dari dominasi rasionalitas modal maupun birokrasi, dan mampu menggerakkan diskursus sosial yang berkualitas, deliberatif, dan mempunyai signifikansi bagi nilai kewargaan.

Reformasi sistem media itu belakangan mengalami anomali. Praktik bermedia dan perubahan kebijakan media kian menunjukkan gejala rekolonialisasi ranah media oleh imperatif-imperatif ekonomi atau birokrasi. Terutama pada media penyiaran, subsistem rasionalitas ekonomi pasar dan subsistem administratif negara secara sistemik mendeterminasi hampir semua aspek media: perizinan, permodalan, orientasi produksi, distribusi, dan relasi dengan masyarakat.

Rekomersialisasi

Kebebasan media belum tentu identik dengan kebebasan khalayak untuk mendapatkan informasi berkualitas. Kebebasan itu juga diinterpretasikan sebagai kebebasan mendirikan media. Kini mudah didapat semua media, mulai dari yang menyajikan diskursus sosial-politik hingga yang menggeluti gosip selebriti, cerita gaib, ramalan nasib, atau bisnis "esek-esek". Kebebasan media direduksi sebagai kebebasan memproduksi informasi tanpa mempertimbangkan relevansi dan kelayakannya.

Matra komodifikasi tanpa batas tampaknya berlaku di media, terutama televisi, semua hal praktis diperlakukan sebagai komoditas. Tanpa peduli yang esensial maupun yang artifisial, yang sacred maupun profan, semua disajikan berdasarkan psikologi budaya populer. Di layar televisi, wilayah dunia kehidupan, budaya, seni, moralitas, bahkan agama, harus tunduk pada mekanisme pencitraan yang berorientasi pada tampilan serba populer, dramatis, dan sensasional.

Ruang media pertama-tama adalah ruang komersial, bukan ruang publik yang selalu menuntut kelayakan. Namun, rekomersialisasi ruang media ini mendapatkan legitimasi hukum. PP Penyiaran Nomor 49, 50, 51, 52 Tahun 2005 sebagai ketentuan pelaksana UU Penyiaran mengarahkan penyiaran Indonesia menuju sistem yang hampir sepenuhnya komersial. Regulasi kepemilikan media, permodalan, jaringan media, perizinan, dan isi siaran amat berpihak pada kepentingan penyiaran komersial. Tak terlihat lagi orientasi pelembagaan sistem penyiaran yang berpihak pada kepentingan berbasis komunitas atau publik, yang mengakomodasi pengembangan potensi lokal.

Rebirokratisasi

Paket PP Penyiaran itu juga memberi dasar bagi proses rebirokratisasi media penyiaran, dengan meneguhkan kembali kedudukan pemerintah, khususnya Depkominfo sebagai regulator penyiaran. Dengan menegasikan KPI sebagai regulator penyiaran menurut UU Penyiaran No 32/2002, pemerintah membuka jalan bagi dirinya sendiri untuk kembali mengintervensi dunia media.

Tren rebirokratisasi ranah media juga tecermin dalam rencana amandemen UU Pers. Draf RUU Pers pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah di bidang pers tidak benar-benar bertujuan menciptakan ruang publik media yang demokratis, tetapi lebih berorientasi mengembalikan otoritas pemerintah dalam mengatur segi-segi kehidupan media. Kecenderungan legislasi bidang media mencerminkan politik kontrol dan pembatasan, dengan menghidupkan kembali mekanisme sejenis SIUPP, bredel, dan pengaturan lisensi profesi jurnalistik.

Perubahan regulasi bidang media tidak sungguh-sungguh dimaksudkan untuk menyerahkan urusan publik kepada publik guna mengeliminasi determinasi sistem bisnis dan birokrasi terhadap ruang publik. Perubahan regulasi justru memfasilitasi gerak rebirokratisasi dan rekomersialisasi ruang publik media.

Pada ranah penyiaran, pemerintah dan industri media sama- sama terancam reformasi kebijakan yang secara garis besar hendak menyerahkan kendali regulasi penyiaran kepada publik. Yang terjadi adalah simbiosis mutualisme. Regulasi pemerintah di bawah UU Penyiaran tidak dimaksudkan memperkuat kedudukan publik vis a vis industri media, tetapi untuk menjamin establishment kepentingan bisnis penyiaran. Sebaliknya, industri penyiaran melegitimasi kedudukan pemerintah sebagai regulator media. Industri televisi nasional tidak melakukan perlawanan saat PP Penyiaran meneguhkan intervensi pemerintah terhadap media penyiaran.

Reorganisasi rasionalitas modal dan rasionalitas birokrasi inilah kendala utama untuk mengembalikan karakter media sebagai institusi sosial saat ini. Praktik bermedia lebih ditentukan matra komodifikasi dan pengendalian, bukan matra pemberdayaan. Jika tren ini terus berlanjut, pembentukan watak kultural masyarakat melalui media kian tidak ditentukan oleh prinsip kewargaan, tetapi reifikasi terhadap sistem ekonomi dan politik yang dominan.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/09/00510848/anomali.ruang.publik.media

Tidak ada komentar: