
Direktur Kajian Media & Literasi Televisi (KameliaTV)
Tidak hanya itu, dengan rajin dan tanpa lelah, puluhan judul acara infotainmen di berbagai stasiun televisi, mulai pagi hingga petang, juga gencar mempertontonkan adegan kekerasan fisik.
Aneka Kekerasan
Salah satu contoh fenomenal berlaganya kekerasan psikis dapat diamati pada sosok Dhani Dewa 19. Hampir setiap hari, pentolan grup musik papan atas Indonesia ini “berceramah” di layar kaca berkaitan prahara rumah tangganya, khususnya persoalan dengan istrinya, Maia Estianty.
Seolah pancaram mata air sumur, tiada henti-hentinya dan habis-habisnya infotainmen menimba berbagai sudut berita bersumber dari Dhani dan Maia. Tak ayal, selama lebih dari setahun terakhir ini, mencuat di ruang publik penonton televisi mengenai: isu, kabar burung, desas-desus soal selingkuh, kehadiran wanita lain.
Lantas disambung dengan penayangan: saling tuding antara suami dan istri, proses sidang perceraian, kehadiran pihak (lelaki) ketiga, pembagian harga gono-gini, gugat menggugat di meja hijau. Bahkan, diteruskan dengan ekspos pertikaian hukum Dhani dengan pengusaha restoran cepat saji Bambang Rachmadi plus kelompok komunal etnis tertentu.
Sedangkan adegan kekerasan fisik melalui tayangan infotainmen yang begitu dramatis, sensasional, dan menggetarkan hati, melabrak layar kaca manakala Fatma Farida, Ibunda artis Kiki Fatmala, menjambak rambut dan mencakar wajah putri kandungnya sendiri di depan puluhan sorot lampu dan mata kamera infotainmen.
Bila menyaksikan aura jumpa pers Ibunda Kiki Fatmala di hadapan para kru infotainmen, seolah terkandung maksud ibunda Kiki Fatmala betul-betul memanfaatkan momentun untuk membalas sakit hatinya kepada anak-anaknya. Terlepas dari problem internal keluarga, para pekerja infotainmen niscaya melihat adegan kekerasan fisik sedemikian memikat mata tersebut amat sayang diabaikan begitu saja.
Apalagi, dalam situasi persaingan keras dan ketat acara infotainmen, kehadiran kekerasan fisik yang tertangkap kamera merupakan permata adegan yang begitu berharga untuk menghidupkan tayangan. Dengan demikian, yang menyeruak di benak produser infotainmen, adalah bagaimana cara “mengoprek” kekerasan fisik demi merengkuh semaksimal mungkin penonton.
Maka, peristiwa kekerasan keluarga yang tak layak, tak patut, dan tak pantas ditonton anak dan remaja pun bebas melintas di ruang keluarga penonton seantero
Tidak ada komentar:
Posting Komentar