Penonton anak danremaja cenderung mempercayai apa yang ditampilkan di TV.
Ani (bukan nama sebenarnya) terkejut saat melihat putranya. Bocah berusia tiga tahun menirukan perempuan hamil dengan memasukkan boneka ke perutnya dan mengatakan "hamil". Ani pun gusar melihat hal itu, lalu dia menanyakan tahu dari mana bocah itu tentang perempuan hamil. Si bocah pun menjawab dari sinetron yang ditayangkan setiap hari (striping). Bukan hanya adegan perempuan hamil saja yang bisa ditiru si bocah, melainkan lagu bertema cinta yang menjadi soundtrack sinetron diputar setiap malam di televisi swasta itu pun dihafalnya.
Kegusaran Ani sebagai se- orang ibu merupakan sekelumit gambaran kegusaran orangtua terhadap perilaku anaknya. Kegusaran itu semakin bertambah, ketika bocah "demam" menyaksikan kontes menyanyi anak-anak. Pasalnya, durasi penayangan yang memakan waktu berjam-jam membuat anak tidak beranjak dari depan TV. Selain itu, lagu-lagu yang dibawakan peserta yang semuanya adalah anak-anak kebanyakan lagu orang dewasa. Di layar kaca muncul anak menyanyikan lagu cinta pada usia yang sangat belia. Usai menonton reality show, mata penonton termasuk penonton anak digiring menyaksikan tayangan sinetron yang ditayangkan setiap hari mulai pukul 19.00 WIB.
Di Venezuela, kegusaran orangtua terhadap tayangan TV direspons pemerintah setem- pat. Baru-baru ini, Pemerintah Venezuela menarik serial kar- tun Amerika Serikat (AS) The Simpsons dari tayangan TV. Pasalnya, kartun yang diciptakan tahun 1989 itu berpotensi membawa pengaruh buruk bagi anak-anak. The Simpsons, komedi satir tentang kehidupan keluarga AS, ditayangkan di Venezuela oleh stasiun televisi Televen pada jam 11 pagi menggunakan bahasa Spanyol. Di Indonesia, serial The Simpson ternyata baru ditayangkan ulang oleh stasiun televisi ANTV. Serial animasi ini ditayangkan setiap Jumat pukul 20.00 WIB.
Kegusaran para orangtua terhadap pola menonton TV cukup beralasan. Seperti dikatakan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi, yang prihatin dengan kualitas acara TV di Indonesia. Menurut Seto pada tahun 2007 berdasarkan data dari Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) sinetron mendominasi tayangan televisi, sedangkan, tayangan yang mengandung edukasi hanya 0,07 persen.
"Jika tayangan TV didominasi tayangan yang tidak edukatif, hal tersebut telah melanggar hak anak. Aspek negatif dari tayangan menurunkan kualitas sumber daya manusia karena sejak anak-anak sudah dijejali tayangan berbau negatif," katanya.
Tayangan televisi yang mengandung unsur edukasi sangat sedikit.
Di TV, seringkali tokoh anak sekolah remaja di sekolah mengenakan seragam yang tidak sesuai.
21 Persen
Menurut Seto, kontes menyanyi anak-anak yang ada saat ini di berbagai stasiun TV membuat anak-anak menjadi lebih cepat dewasa. Seorang anak tampil bak orang dewasa, dan menyanyikan lagu-lagu orang dewasa. Hal ini berdampak pada psikoseksual anak. Seorang anak lebih cepat dewasa, tetapi tidak siap menghadapi perubahan. Meski demikian, katanya, ada beberapa tayangan anak-anak yang bersifat edukatif, baik produk lokal maupun impor.
Penonton TV dari kalangan anak memang besar, dan ini menjadi bidikan para pengelola TV dengan sejumlah programnya, baik yang edukatif maupun non-edukatif. Berdasarkan data AGB Nielsen Media Research per April 2008, 21 persen pemirsa TV adalah anak-anak berusia 5-14 tahun. Angka ini diperoleh berdasarkan survei kepemirsaan TV AGB Nielsen di 10 kota. Suatu jumlah yang cukup besar dibandingkan dengan target pemirsa lainnya. Anak-anak tersebut menonton TV terutama pada pukul 06.00 sampai 10.00 dan antara jam 12.00 sampai 21.00. Pada jam tayang utama (18.00 sampai 21.00) ada 1,4 juta anak-anak di antara 42,6 juta populasi TV yang menonton TV. Jumlah ini lebih tinggi 15 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Dalam sehari, anak-anak menghabiskan rata-rata 3 jam untuk menonton TV. Dua puluh menit di antaranya untuk menonton program anak, sedang-kan 50 menit untuk menonton program serial (sinetron). Namun, kebiasaan menonton ini berbeda antara anak-anak menengah atas dengan anak-anak menengah bawah. Anak-anak menengah bawah menonton TV rata-rata 3 jam 24 menit, lebih lama 30 menit daripada anak-anak menengah atas. Namun, untuk program anak, keduanya sama-sama menghabiskan rata-rata 22 menit per hari. Sementara itu, untuk kategori program informasi, anak-anak menengah atas menghabiskan rata-rata 18 menit per hari, lebih lama 2 menit daripada anak-anak menengah bawah.
Pilihan program mereka pun berbeda. Anak-anak kelas menengah atas cenderung lebih selektif menonton program yang sesuai dengan usianya. Ini terlihat dari tontonannya yang lebih variatif, di antaranya kartun anak, film barat anak, musik, sepakbola dan sinetron. Sementara itu, tontonan anak-anak menengah bawah masih didominasi oleh sinetron. Khusus program anak, program yang paling banyak ditonton anak-anak adalah Idola Seleb (RCTI). Namun, program kartun anak impor masih mendominasi tontonan anak-anak. Lima di antara 20 program yang paling banyak ditonton adalah program produksi lokal, seperti Idola Cilik (RCTI), Pilih Dua Bintang (INDOSIAR), dan Soccer Boys (TRANS7).
Kamar Tidur
Dampak menonton di kalangan remaja berusia 15-18 tahun diteliti para peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Minnesota AS. Hasil penelitian itu dilansir Reuters pekan lalu. Peneliti berfokus pada remaja yang memiliki TV di kamar tidur, dan menemukan remaja yang memiliki TV di kamar tidur cenderung memiliki kebiasaan diet dan olahraga yang jelek, serta nilai yang lebih rendah di sekolah dibanding remaja yang tidak memiliki TV di kamar tidur.
Sebanyak 781 orang berusia 15-18 tahun di kawasan Minneapolis diwawancarai. Hasilnya, sebanyak 62 persen di antaranya memiliki TV di kamar tidur. Mereka yang memiliki TV di kamar tidur memiliki porsi menonton yang lebih banyak, berkisar empat sampai lima jam lebih banyak per minggu di depan TV. Bagi remaja yang dua kali lebih banyak menonton TV dari jumlah tersebut digolongkan sebagai penonton berat. Sedikitnya, golongan ini menonton TV lima jam sehari dibandingkan remaja yang tidak memiliki TV di kamar tidur.
Remaja putri yang memiliki TV di kamar tidur dilaporkan lebih sedikit melakukan olahraga yang energik (mengeluarkan banyak energi), yakni 1,8 jam per minggu dibanding 2,5 jam oleh remaja putri tanpa TV di kamar tidur. Mereka juga mengonsumsi lebih sedikit sayur, meminum lebih banyak minuman yang manis, dan jarang makan bersama keluarga.
Sementara itu, remaja putra yang memiliki TV di kamar tidur dilaporkan memiliki nilai rata-rata lebih rendah dibanding remaja putra yang tidak memiliki TV di kamar tidur. Selain itu, mereka juga mengonsumsi buah-buahan lebih sedikit, dan jarang makan bersama keluarga.
"Secara jelas hasil penelitian memperlihatkan beberapa hal yang patut tidak mengizinkan anak Anda memiliki TV di kamar tidur. Ketika Anda meletakkan TV Anda di ruang duduk dan Anda memiliki TV lebih kecil yang tertinggal zaman namun masih bisa dipakai, orangtua harus menolak meletakkan TV di salah satu kamar-kamar anak Anda, dan menolak tekanan dari anak untuk memiliki TV di kamar tidur mereka," ujar peneliti Daheia Barr-Anderson.
Cenderung Laki-laki
Para peneliti juga menemukan, laki-laki cenderung memiliki TV di kamar tidur (68 persen) dibanding perempuan (58 persen). Dari sisi kemampuan ekonomi, remaja dari keluarga yang berpenghasilan lebih tinggi cenderung lebih sedikit memiliki TV di kamar tidur dibanding dari seluruh golongan penghasilan keluarga yang diteliti. Di antara remaja berkulit hitam, 82 persen dilaporkan memiliki TV di kamar tidur dibanding 66 persen pada keturunan Spanyol, 60 persen berkulit putih, dan 39 persen pada keturunan Amerika-Asia.
Kedua kelompok, laki-laki dan perempuan yang memiliki TV di kamar tidur menghabiskan waktu lebih sedikit untuk membaca dan mengerjakan pekerjaan rumah, sekalipun para peneliti menuturkan perbedaan-perbedaan itu tidak signifikan secara statistik. Perihal memiliki TV di kamar tidur itu, Akademi Ilmu Kesehatan Anak-anak di AS juga menyerukan para orangtua memindahkan TV dari kamar tidur anak-anak.
Keberadaan TV di kamar tidur, menurut Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dr Tjut Rifameutia MA, cenderung mengurangi waktu untuk melakukan kegiatan lain, dan mengurangi kontrol dalam penggunaannya. Anak dan remaja bebas memilih program yang diinginkan, dan bebas menonton kapan saja.
Kenyamanan yang diperoleh dengan menonton TV akan mengurangi komunikasi dan interaksi anak/remaja dengan dunia luar (anggota keluarga, saudara, pembantu maupunteman).
Kebiasaan menonton TV di kamar ini pula, ujar Rifameutia yang juga psikolog pendidikan, membuat anak/remaja bebas dengan keadaannya, seperti berpakaian sekehendaknya, bahkan seringkali pula sambil makan dan menikmati makanan ringan. Kebiasaan ini membuat anak/remaja kurang bergerak dan makin lama merasa tidak membutuhkan orang lain di sekitarnya.
"Waktu belajar dengan bersungguh-sungguh menjadi berkurang. Banyak remaja yang belajar sambil menonton TV. Hal ini akan mengurangi konsentrasi dan kesungguhan mereka dalam belajar. Tidak mengherankan bila kemudian berdampak buruk pada nilai mereka di sekolah," kata perempuan yang memiliki nama panggilan Tia ini.
Pada kenyataannya banyak orangtua yang merasa lebih aman/tenteram bila anak tinggal di rumah daripada melakukan kegiatan di luar. Anak berdiam di kamar menonton TV dianggap lebih aman daripada keluar rumah. Padahal, hal ini dapat berakibat pada tidak terasahnya kemampuan interpersonal skills.
Meskipun tidak tertutup kemungkinan, kata Tia, anak melihat contoh-contoh yang baik melalui program TV. Namun, anak melihatnya secara pasif. Waktu untuk mempraktikkan hal-hal yang positif tersebut dalam kehidupan sehari-hari menjadi berkurang karena anak/remaja lebih asyik di dalam kamar. Jadi, merupakan langkah yang baik bila orangtua tidak meletakkan TV di ruang anak. [SP/Nancy Nainggolan]
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/04/17/index.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar