
Tayangan seks cabul dan mesum tersebut cenderung mengangkat liputan peristiwa, analisis, atau perbincangan dengan memposisikan (tubuh) perempuan sebagai objek. Kelompok masyarakat atau seseorang yang “bermasalah” dengan seks dipinggirkan dengan menyoroti sisi buruk maupun keterpurukannya.
Selain kecabulan, tendensi acara seks elah merambah ke sisi pelecehan perempuan. Bahkan seolah membenarkan berlangsungnya hubungan seks bebas. Nyaris tiada acara seks yang secara sadar didedikasikan untuk pemberdayaan perempuan (empowering woman) demi mengejar kesetaraan dan keadilan gender.
Cara Eksploitasi
Ada beberapa cara pebisnis media televisi mengeksploitasi tayangan seks (seksploitasi). Pertama, adalah menambah jumlah (durasi) jam tayang acara seks bernuansa mesum dan/atau cabul. Cara mempertebal jam tayang itu dilakukan dengan menghadirkan program baru.
Contohnya, Lativi menyajikan acara bernama Rahasia Malam, Lorong Lorong Ibukota, Jejak Malam, Athmosphere, Curhat, Sinema Malam, Sinema Tengah Malam, dan Bioskop Dewasa, untuk memperkuat citra sebagai stasiun pemutar “acara laki-laki” sebagaimana promosinya. Juga demi memperkuat tayangan “legendaris” bertajuk Layar Tancep.
Sementara itu, Trans TV lebih memilih menambah frekuensi acara ketimbang memproduksi program seks baru. Misalnya saja, sekitar Desember 2005 menayangkan acara Fenomena, sebuah acara yang dinubuatkan untuk pria, menjadi hampir setiap hari, kecuali hari Minggu. Taktik serupa juga dilakukan SCTV melalui tayangan berlabel Malem-Malem, dari dua (2) kali menjadi empat (4) kali seminggu.
Kedua, mengubah judul acara tanpa mengubah isi secara mendasar. Acara bernama Komedi Tengah Malam diubah menjadi Komedi Malam Seksi. Lativi melalui perubahan nama tersebut ingin menekankan sisi Seks(i)-nya. Nama acara lain yang diubah Lativi dengan penekanan daya tarik acara adalah Behind The Scene menjadi The Scene Model dan The Scene Special Celebrities. Acara yang berisi sesi pemotretan itu tak beda jauh dengan isinya dengan tabloid atau majalah edisi cetak.
Demikian pula acara Komedi Nakal Trans TV, setelah mendapat peringatan tertulis Komisi Penyiaran Indonesia, diubah namanya menjadi Komedi Malam . Seiring dengan perubahan itu, Trans TV menambah frekuensi tayangan, dari tiga (3) kali menjadi lima (5) kali seminggu. Agar tampak variatif, tiap tayangannya diberi label berbeda. Contohnya, Komedi Malam Gadis, Komedi Malam Angels, Komedi Malam Misteri, Komedi Malam Penjaga, dan seterusnya.
Ketiga, pengelola televisi menambah durasi dengan cara menjadikan segmen/rubrik program yang telah ada untuk selalu diisi dengan liputan bertema seks. Mulai dari cara bersetubuh, obat kuat, penyimpangan seks, fantasi seks, problema prostitusi, hingga akibat pergaulan bebas. Contohnya, TV7 hampir setiap hari di bulan Maret ini melalui segmen/rubrik Gaya Hidup di program berita Galeri Tujuh Malam menampilkan liputan dari diskotik ke diskotik di Jakarta dengan fokus ke gerakan penarinya. Tak pelak, segmen ini seolah menjadi kontes penari diskotik. Lativi juga melakukan kiat serupa dengan liputan lebih variatif pada segmen Sisi Gelap program Tikam (Tindak Kriminal).
Mendua Sikap
Kombinasi cara seksploitasi seperti itu, membuat tiada hari libur layar televisi dari acara bernuansa mesum. Melihat tidak adanya para pihak mempersoalkan maraknya tayangan seperti itu maka dapat dikatakan bahwa ada semacam ambigu. Sebuah kondisi memprihatinkan sarat tayangan mengumbar hasrat –sekaligus mengubur nalar--, tapi pada pada saat yang sama ada rasa suka terhadap daki tubuh yang seharusnya dibuang.
Dengan demikian, ada ironi menyikapi tayangan mesum dan cabul di layar kaca. Budaya bertelevisi yang ditopang oleh sejumlah sifat tak konsisten, anomali, kontradiksi dalam perilaku sehari-hari. Situasi mendua atau sikap dua muka itu sangat kentara sekali kalau menyimak pro kontra terhadap Rencana Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).
Ketika pembahasan RUU APP memasuki tahap dengar pendapat para seniman, tokoh publik, dan semacamnya dengan anggota DPR, polisi dengan sigap melakukan razia berbagai bentuk media cetak yang dianggap porno. Sejumlah penerbitan majalah dan tabloid disita, dan pengelolanya diproses secara hukum. Tapi, tidak demikian halnya dengan tayangan layar kaca.
Jalan raya boleh saja dipenuhi aksi massa menolak maupun mendukung regulasi soal pornografi. Tapi layar kaca tetaplah tenang dan tak tersentuh emosi, meski setiap malam menayangkan acara seks vulgar. Demonstrasi jalanan pro kontra terhadap RUU APP boleh saja hilir mudik berganti. Tapi acara mesum dan cabul di televisi tidaklah tersentuh polisi.
Justru di saat langit kultural dirasuki dan pekat dengan debat soal pornografi, layar kaca mendemonstrasikan diri memperbanyak, mempercanggih, dan memperhebat kadar acara mesum di malam hari. Inilah kenjanggalan sikap bersama sekaligus buah ironi bertelevisi.
Melihat ini bisa menjadi geli, misalnya, ada kalangan yang menentang habis-habisan rencana terbitnya majalah Playboy (simbol eksploitasi ekonomi terhadap perempuan). Pada sisi lain, tidak ada pihak yang peduli dengan sejumlah acara televisi yang pada prinsipnya tak beda jauh dengan isi tabloid yang telah dirazia ke dalam bentuk audio-visual.
Ada semacam ketidakadilan. Minimal tidak ada tolok ukur standar menakar kadar kepornoan media. Tampak ada diskriminasi aparat penegak hukum memperlakukan media cetak dan media penyiaran televisi, meski substansi materi produk/tayangan sama. (Teguh Imawan)—
Jawa Pos, 20 Maret 2006, hamanan opini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar