15 November 2008

Tayangan Infotainment: Maaf, Ini Ruang Pribadi Kami

TRANSTV / Kompas Images
Salah satu adegan dalam reality show Termehek-Mehek.
Minggu, 16 November 2008 | 03:00 WIB

Susi Ivvaty

Siapa yang belum pernah menonton infotainmen, disengaja atau tidak? Tayangan itu menunjukkan betapa batas antara ruang privat dan ruang publik hanyalah sebuah garis yang sangat tipis.

Program infotainmen bisa dibilang reality show yang sesungguhnya—kisah nyata yang dikemas menjadi satu tontonan. Ada proses editing, namun tanpa rekayasa. Kisah tentang perceraian, perselisihan keluarga, perselingkuhan, poligami, hingga dukacita menjadi drama "mengasyikkan".

Konflik artis Kiki Fatmala dengan ibunya, Farida, hanya satu contoh. Perseteruan keduanya sudah diliput infotainmen sejak empat tahun lalu. Bagaimana Farida berteriak sambil mengacung- acungkan tangan, mengucap kata-kata kasar, sedangkan Kiki berurai air mata. Semua itu terekam kamera, bukan adegan dalam sinetron.

Kiki merasa sangat tegang kala itu. "Mood jadi gak bagus dan itu terbawa ke dalam rumah tangga. Keadaan itu memicu perceraianku dengan suami," tutur Kiki.

Karena cerita sudah telanjur bergulir, ia hanya berharap bisa rujuk dengan ibunya. Namun, yang terjadi, "Semakin banyak cerita, keadaan makin tidak karu- karuan. Aku merasa dipojokkan karena yang ditayangkan yang buruk-buruk saja."

Kiki menahan diri untuk tidak bicara dan membela diri. "Tapi para pekerja infotainmen selalu mencari kesalahanku. Bayangkan, rumahku ditungguin sampai pukul 03.00," paparnya.

Saking tegangnya, tiap hari Kiki menjerit dan menjedot-jedot kepalanya sendiri. "Mataku sempat buram gak bisa melihat karena saraf mata tegang," ujarnya.

Penyanyi dan presenter Dewi Sandra juga pernah "dikejar-kejar" pemburu berita. Mulai dari waktu ia menikah "diam-diam" dengan Surya Saputra, lantas bercerai, dan menikah lagi "diam-diam" dengan Glenn Fredly. Oya, menikah "diam-diam" di sini maksudnya menikah tanpa mengundang wartawan untuk meliput acara itu.

Pernikahan Dewi dengan Glenn di Bali juga menjadi berita menarik yang tampaknya sayang dilewatkan. Meski tidak bisa masuk ke ruang pernikahan, reporter infotainmen berhasil mendapatkan informasi dari para tamu undangan. "Mungkin hidupku ini memang penuh drama, jadi banyak yang doyan," kata Dewi seraya tertawa.

Penyanyi dan promotor pertunjukan musik Melanie Subono pun pernah merasa sangat terganggu saat perseteruan dengan ayahnya, Adrie Subono, direkam kamera infotainmen. Juga ketika ia berkonflik dengan suami pertamanya, Radja, dan lantas bercerai. "Reporter dan pekerja infotainmen nongkrong di depan rumah gua sampai pagi," ujarnya.

Melanie punya taktik jitu. Ia "menghilang" dua tahun untuk menyepi. Ia sama sekali tidak menghubungi keluarganya, dan ternyata hal itu justru langkah penyembuhan buat ia dan keluarga. Bahkan, ia lantas menemukan jodoh yang sekarang menjadi suaminya, I Gusti Ngurah Agus Wijaya.

Ini ruang privat

Dewi dengan tegas membedakan batas antara ruang privat dan publik. Keluarga, pernikahan, perceraian, dan agama adalah sesuatu yang privat. Makanya, ia enggan pernikahan yang ia nilai sakral sampai tersebar, bahkan menjadi tontonan. Begitu pula dengan perceraian, jika tersebar luas, rasanya seperti mempertontonkan persoalan pribadi di muka umum.

"Bahkan ketika ibuku meninggal dua bulan lalu, aku tak mau jenazahnya sampai direkam kamera. Aku juga tidak mau diwawancarai. Aku bilang, please… kami sedang berduka. Kalau aku yang nanti mati, boleh di-shooting," papar Dewi.

Maka itu, kalau ditanya sesuatu yang personal, Dewi akan menjawab sesingkat mungkin. Kalau ditanya bagaimana hubungan dengan Glenn, ia akan menjawab baik.

Soal anak juga hal privat buat Dewi. Jangankan ditanya wartawan, ditanya tetangga atau kerabat dekat saja rasanya risi. Meski hanya pertanyaan standar, "Kapan punya momongan? Kok belum juga punya anak?"

Buat presenter Tamara Geraldine, masalah keluarga dan rumah tangganya juga sangat privat. Batasannya sangat jelas. Ada banyak hal dalam kehidupannya yang tidak ingin ia bagi dengan orang lain. "Jangankan ke infotainmen, ke suami saja kadang aku tak mau bagi," terangnya.

Sama dengan para artis itu, orang biasa yang tidak terkenal pun enggan wilayah pribadinya diungkap. Rangga (25), misalnya. Meski ia pernah dua kali ikut acara reality show, namun semua itu direkayasa. Shooting biasanya dikerjakan dua hari, dan sehari ia dibayar Rp 300.000.

Wilayah abu-abu

Buat pekerja infotainmen, mereka telah melakukan sesuatu yang tepat, yakni memberi informasi kepada masyarakat. Wilayah hitam dan putih bagi artis pada akhirnya bisa menjadi "abu-abu" karena si artis sendiri yang menjadikannya "abu-abu", begitu kata produser acara Kabar-kabari dan Kasak-kusuk, Aroz Hadi.

Aroz menjelaskan, sejumlah artis justru menggelar jumpa pers soal perceraiannya. Dari sana lalu muncul pendapat umum bahwa perceraian bukan hal tabu untuk diungkap. "Tapi kalau artis tegas- tegas tidak mau bicara, kami juga bisa apa," ujarnya.

Kiki, Tamara, Dewi, maupun Melanie berpendapat sama. Mereka lebih menghargai peliputan tentang prestasi, kerja, dan karya dibandingkan gosip rumah tangga.

Namun ya bagaimana lagi. Berita soal konflik rumah tangga selalu meraih rating tinggi. "Masyarakat lebih antusias melihat sesuatu yang personal, misalnya merek sepatu KD dibanding KD meluncurkan album apa," jelas Aroz.

Soalnya, bagi pebisnis media tampaknya memang itu: rating, bisnis, bisnis.... (Ilham Khoiri/ Budi Suwarna)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/16/01444787/maaf.ini.ruang.pribadi.kami


Mati-matian Melindungi Privasi
WARTA KOTA/IGNATIUS AGUNG NUGROHO / Kompas Images
Kiki Fatmala, duduk kedua dari kiri, memberikan penjelasan kepada wartawan mengenai konflik dengan ibunya.
Minggu, 16 November 2008 | 03:00 WIB

Sejumlah artis dunia mati- matian melindungi privasinya. Namun, makin ditutupi, para pemburu gosip makin tertantang untuk mengungkapnya.

"Akhirnya, Jodie Foster muncul juga". Begitulah judul Times Online edisi 12 September 2007 menyusul pernyataan Foster yang mengungkapkan bahwa dia selalu bersama Cydney Bernard dalam suka dan duka. Bernard adalah produser film yang sebelumnya diduga sebagai pasangan lesbian Foster.

Apa pun, pengakuan itu memang mengejutkan. Pasalnya, Foster terkenal sebagai artis yang selama 15 tahun terakhir tidak mau ditanya wartawan perihal kehidupan pribadinya, termasuk membicarakan masalah kesehatannya, ayahnya, anaknya, dan pertanyaan remeh-temeh lain.

"Tidak masalah semua orang menulis kehidupan saya. Tapi saya tidak akan membiarkan keluarga saya menjadi bahan pemberitaan. Mengapa? Karena saya tidak ingin mengundang orang lain datang dan duduk di luar pintu rumah saya dan menunggu anak-anak saya pergi sekolah," ujarnya dalam sebuah wawancara dengan majalah More, September 2007.

Vokalis U2, Bono, juga bersikap sama. Bono dan istrinya, Alison Stewart Hewson, sangat memproteksi privasi keluarganya. Itu sebabnya media sangat jarang mendapatkan foto anak kedua pasangan itu. Kehidupan pribadi Bono hanyalah ilusi alias hanya bisa dibayangkan media.

Namun, tak selamanya Bono berhasil menutupi privasinya. Oktober 2008, foto Bono yang sedang merangkul dua perempuan berbikini di sebuah bar di tepi pantai tersebar. Seperti mendapat durian runtuh, media gosip pun mengekspos foto itu lengkap dengan analisis: apa kira-kira komentar istri Bono ketika melihat foto itu?

Robert de Niro juga mati-matian menjauhkan masalah pribadi dan keluarganya dari jangkauan media. Pada awal kariernya, dia bersedia memberikan wawancara kepada media. Namun, dia akhirnya sebal juga dengan pertanyaan wartawan yang itu-itu saja.

"Saya pikir apa pentingnya (menjawab pertanyaan) Anda sekolah di mana dan apa hobi Anda.... Apa hubungannya dengan akting dan intelektualitas saya? ujarnya kepada The Guardian. (BSW)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/16/01440039/mati-matian.melindungi.privasi


Olok-olok Soal Privasi
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Minggu, 16 November 2008 | 03:00 WIB

Budi Suwarna

Masih adakah ruang privat di era ketika televisi bisa seenaknya membeberkan kisah cinta, keretakan rumah tangga, hingga perceraian siapa saja?

Anda mungkin masih ingat konflik Kiki Fatmala dan ibunya, Farida, yang dibeberkan hampir semua infotainmen tahun 2006. Saat itu, jutaan pemirsa TV bisa menyaksikan bagaimana Farida dengan geram mengutuki Kiki.

Kiki hanyalah salah seorang dari banyak pesohor yang ruang pribadinya habis dikoyak-koyak infotainmen dan media gosip. Perselisihan dengan ibunya, masa lalunya, dan proses perceraian dengan suaminya diulas sampai tandas.

Ketika penonton mulai jenuh dengan berita kawin-cerai dan konflik selebriti, televisi pun melirik urusan pribadi masyarakat umum. Maka, muncullah acara- acara reality show, seperti Playboy Kabel, Backstreet (SCTV), Termehek-mehek (Trans TV), Face to Face, Cinta Patut Diuji (antv), Mata-mata (RCTI), dan seabrek acara sejenis.

Seperti infotainmen, reality show semacam ini kerap membeberkan masalah pribadi orang lain dengan amat detail. Percintaan, perselingkuhan, konflik, dan tingkah negatif seseorang diintip, kemudian dijadikan tontonan layaknya sinetron, lengkap dengan tangisan, gamparan, dan makian.

Secara umum, acara-acara semacam itu melayani siapa saja yang ingin mengadukan masalah pribadinya. Karena itu, ada istilah pelapor atau klien buat mereka yang mengadu. Ada pula istilah target buat mereka yang diadukan.

Tengoklah Termehek-mehek episode 9 Agustus 2008. Seorang perempuan yang dihamili dan ditinggal begitu saja oleh pacarnya mengadu ke kru Termehek-mehek. Kru langsung menindaklanjuti pengaduan itu dengan mencarikan pacar si perempuan (target). Singkat cerita, kru berhasil menemukan target di rumah orangtuanya.

Di depan orangtua target, si perempuan meminta pertanggungjawaban sambil mengiba-iba. Orangtua target tampak begitu kaget, marah, dan malu bukan main. Apalagi semua masalah itu diabadikan kamera. Dia pun menampar wajah anaknya dan meminta kru mematikan kamera.

Pada salah satu episode Playboy Kabel, seorang perempuan (pelapor) meminta kru menguji kesetiaan pacarnya (target). Kru pun mengirim seorang perempuan lain untuk menggoda target. Semua aktivitas dan obrolan penggoda dan target direkam kamera tersembunyi dan bisa dilihat serta didengar langsung pelapor.

"Elu udah punya pacar?" kata perempuan penggoda. "Belum," jawab si target.

Maka, murkalah si pelapor mendengar jawaban target yang tak lain adalah pacarnya. Dia pun keluar dari persembunyian dan mendatangi pacarnya. Plak... plak... plak. Dia menampar pacarnya dan saat itu minta putus.

Pimpinan PT Triwarsana Helmy Yahya yang memproduksi sebagian besar reality show semacam itu mengklaim, kisah yang diangkat benar-benar nyata. Meski begitu, dia akui ada unsur rekayasa pada plot cerita. "Kami memilih adegan-adegan yang bisa menguras emosi pemirsa," katanya, Selasa (11/11).

Kepala Departemen Marketing PR Trans TV Hadiansyah Lubis juga mengklaim kisah Termehek-mehek adalah nyata. Bahkan, acara itu dimainkan langsung si pemilik kisah. Menurut dia, sekarang ini tidak sulit untuk menemukan orang yang bersedia membeberkan masalah pribadinya, asalkan bisa masuk televisi. Dalam satu minggu, katanya, pihaknya menerima 25-50 surat elektronik dari orang-orang yang ingin kisah pribadinya diangkat Termehek-mehek.

Namun, cerita Rangga (25) agak berbeda. Pegawai swasta ini mengaku pernah main dalam dua reality show cinta-cintaan yang berbeda. "Kisah yang gue mainin bukan masalah pribadi gue. Itu ada skenarionya. Malu dong kalau masalah pribadi gue dibeberkan ke jutaan pemirsa," katanya.

Jika ukurannya rating, reality show yang mengulas masalah pribadi tergolong digemari penonton. Menurut Hadiansyah, Termehek-mehek ratingnya rata-rata 7 atau ditonton sekitar 3,5 juta orang setiap episode. "Rating acara ini mengalahkan semua acara hiburan di seluruh televisi nasional saat ini," katanya, Rabu (12/11).

Budi Darmawan, Manager PR SCTV, menambahkan, reality show cinta-cintaan di stasiunnya juga memperoleh sambutan yang baik dari penonton. Karena itu, SCTV memasang sekaligus beberapa reality show cinta dalam sepekan.

Soal etika

Mengapa acara seperti itu digemari? Abdul (32), warga Cileduk, mengatakan, dia sering merasa terhanyut dengan kisah yang diangkat reality show. "Istri saya kadang ikut menangis kalau melihat kisah orang dikhianati cintanya," kata Abdul yang biasa menonton reality show berdua istrinya.

Namun, sebagian penonton mengaku muak dengan acara-acara semacam itu. "Acara televisi kok isinya ribuuut melulu," kata Waluyo (27), warga Kemanggisan.

Harry (32), warga Cakung, menilai, reality show kurang etis karena membeberkan rahasia kehidupan orang lain di televisi. "Itu sebabnya saya malas nonton acara semacam itu," ujarnya.

Reality show yang mengulas masalah pribadi memang menimbulkan pro-kontra. Namun, bagi pembuat reality show, etis tidaknya membeberkan masalah pribadi ke ruang publik ternyata sekadar perkara teknis.

Menurut Helmy, sepanjang yang bersangkutan bersedia mengungkap kisah pribadinya di televisi, berarti tidak ada masalah. "Yang penting tidak merugikan orang lain."

Hadiansyah menambahkan, pihaknya selalu memperlihatkan hasil shooting sebelum ditayangkan. Jika yang bersangkutan keberatan, tayangan akan dibatalkan.

Apa pun penilaian orang, Helmy mengatakan, dia akan tetap memproduksi acara-acara semacam itu. "Saya sudah kebal dikomentari, diprotes. Saya memilih menulikan kuping," ujarnya.

Helmy mengingatkan bahwa reality show semacam itu ada karena masyarakat memiliki kegemaran mengintip urusan pribadi orang lain. "Kita kan seperti itu," katanya.

Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, berpendapat, bangsa ini memang memiliki tabiat suka memarodikan diri sendiri. Kita senang mengolok-olok dan melihat orang diolok-olok. Itu sebabnya, kita gemar menonton tayangan gosip dan reality show yang menerabas batas privasi orang lain. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa kita selama ini tidak memiliki kedewasaan dan tanggung jawab.

Pengamat media massa, Ashadi Siregar, menambahkan, kita jangan terlalu berharap televisi akan memiliki kesadaran tentang batas ruang privat dan publik. Pasalnya, kesadaran mereka sebatas pada konsumen. "Dunia televisi sekarang ini adalah dunia dagang. Yang mereka buat bukan (acara) yang pantas atau tidak, tapi sensasional atau tidak. Kalau sekarang konflik (pribadi) laku dijual, maka itulah yang dijual." (Susi Ivvaty/Ilham Khoiri)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/16/01433236/olok-olok.soal.privasi


Sebagian Kelewat Batas
Minggu, 16 November 2008 | 01:43 WIB

Bagaimana sikap Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI atas tayangan reality show yang menabrak privasi? "Sebagian terkadang out of control," kata Yazirwan Uyun, Kepala Bidang Penyiaran KPI Pusat, Kamis (13/11).

Menurut dia, ada beberapa hal yang berpotensi dilanggar reality show, yakni masalah privasi, kekerasan, dan ucapan kotor. Mengapa? Karena jalan ceritanya penuh dengan konflik.

Selama Januari-Oktober 2008, KPI Pusat telah menerima 38 pengaduan dan keberatan masyarakat atas tayangan reality show. Namun, KPI baru menemukan satu reality show, yakni Face to Face (antv), yang melanggar UU Penyiaran dan Standar Program Siaran (SPS).

Pelanggaran itu tidak menyangkut privasi, melainkan ucapan kotor. Atas pelanggaran itu, KPI menegur antv pada 11 November lalu.

Sejauh ini KPI belum menemukan pelanggaran terkait masalah privasi.

"Menurut kami, sejauh para pemain yang terlibat setuju masalah pribadinya diungkap di televisi, maka tidak ada pelanggaran privasi," katanya.

Yazirwan mengatakan, di Amerika Serikat, Federal Communication Commission (FCC)—lembaga yang fungsinya sama dengan KPI—mengatur acara reality show. Aturan tersebut melarang eksploitasi anak, pengucapan kata-kata kotor, dan pornografi. Selain itu, FCC juga bisa menghukum pembuat reality show jika ternyata acara itu penuh rekayasa dan dibuat-buat.

Di Indonesia, tidak ada aturan yang secara khusus mengatur reality show. Jenis acara itu, seperti tayangan lain, tunduk pada UU Penyiaran dan SPS.

Kedua aturan itu, antara lain, mengatur pelanggaran atas hak pribadi, kekerasan, makian, penggunaan dan kamera tersembunyi.

Akan tetapi, lanjut Yazirwan, tidak semua pasal dalam SPS bersifat operasional. "Ada beberapa pasal yang multitafsir. Itulah yang harus diubah," ungkap Yazirwan.

Pengamat media massa, Ashadi Siregar, berpendapat, pengawasan atas tayangan televisi tidak bisa diserahkan seluruhnya kepada KPI. Kaum profesional penyiaran semestinya mengembangkan sendiri kesadaran etik mereka. (BSW/IAM)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/16/01430180/sebagian.kelewat.batas

Tidak ada komentar: