Penetapan Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur mengenai kemenangan Soekarwo-Saifullah Yusuf dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur yang berbeda dengan hasil prediksi quick count menyisakan persoalan besar bagi eksistensi penyelenggaraan survei di negeri ini. Kualitas survei patut dipertanyakan.
Saat Pilkada Jawa Timur berlangsung, hasil prediksi lembaga survei, di antaranya Lingkaran Survei Indonesia, Lembaga Survei Indonesia, Lembaga Survei Nasional dan Puskaptis, menampilkan perolehan suara pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) yang relatif lebih besar dibandingkan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa). Meskipun demikian, oleh karena perbedaan prediksi lembaga survei terhadap kedua pasangan yang bersaing teramat tipis dan dianggap berada dalam batas margin of error survey +/- 1 persen, maka institusi penyelenggara survei tidak dapat memastikan siapa pemenang pilkada.
Hanya, dalam benak sebagian masyarakat hasil quick count yang diumumkan sesaat setelah proses penghitungan suara di tingkat tempat pemungutan suara (TPS) usai, telanjur diterima sebagai legitimasi kemenangan pasangan Kaji. Apa pun istilah- istilah statistik yang digunakan institusi survei untuk menyimpulkan ketidakmampuan survei dalam memprediksi pemenang pilkada, tidak demikian diterima publik. Yang mereka pahami, hasil quick count memaparkan proporsi absolut perolehan Kaji lebih besar daripada Karsa. Oleh karena selama ini quick count tepat memprediksi, maka demikian juga untuk kesempatan kali ini. Tak heran, begitu penghitungan resmi KPUD menyatakan hasil yang berbeda, berbagai protes bermunculan. Patut dipertanyakan apakah quick count masih dapat diandalkan dalam memprediksi ajang kontestasi politik di negeri ini?
Kontroversi survei
Oleh karena hasil yang berbeda, Pilkada Jatim mengundang kontroversi. Jika diperdebatkan mana yang benar, apakah hasil penghitungan KPUD atau hasil prediksi sebagian besar lembaga survei, masih terlalu kabur disimpulkan. Sejauh ini belum ada jaminan penghitungan KPUD bebas dari ketidakakuratan. Jarak waktu antara proses pencoblosan suara dan penghitungan manual yang panjang, misalnya, salah satu aspek yang berpotensi menyumbang ketidakakuratan. Sebaliknya, sejauh ini belum pula terbukti jika terjadi salah penghitungan ataupun kecurangan dalam proses penghitungan. Hukum yang akan membuktikannya.
Di sisi lain, yang menjadi fokus tulisan ini, survei yang menitikberatkan pada pengambilan sampel dari suatu populasi pun selalu berpotensi mengandung ketidakakuratan. Setidaknya terdapat dua jenis potensi ketidakakuratan. Pertama, potensi ketidakakuratan yang ditimbulkan dari suatu proses penentuan dan pengambilan sampel dari populasi. Ketidakakuratan demikian kerap disebut sampling error, atau dalam teknis kalkulasi statistik sering disebut margin of error. Kedua, potensi ketidakakuratan yang timbul lantaran di luar faktor prosedur sampling, seperti akibat kesalahan para peneliti dalam pengumpulan data, analisis, maupun penginterpretasian hasil analisis. Ketidakakuratan demikian dikenal dengan non sampling error. Kedua jenis ketidakakuratan ini nyaris tidak terhindarkan dalam setiap survei. Namun, keduanya dapat diperkecil potensi kemunculannya. Terhadap margin of error, misalnya, secara teori dapat diperkecil dengan cara memperbesar jumlah sampel. Makin besar sampel yang digunakan, terlebih mendekati jumlah seluruh pemilih pilkada, maka akan semakin kecil margin of error yang dihasilkan. Dengan rumusan statistik, besar kecilnya margin of error dapat diketahui.
Dalam Pilkada Jatim, persoalan yang timbul memang tergolong unik. Untuk pertama kali dalam sejarah survei di Indonesia, di mana hasil prediksi quick count yang relatif sama dari berbagai institusi survei, tetapi pada kenyataannya berbeda dengan proporsi penghitungan resmi. Bagi para penyelenggara survei, tampak terasa janggal. Baru kali ini pula para penyelenggara survei diliputi kegalauan. Sayang, di tengah kegalauan, upaya untuk mengetahui lebih detail sisi penyebab dari persoalan ini belum tampak. Sejauh ini, justru respons "pengingkaran" yang muncul. Dengan menyatakan bahwa sejak semula institusi survei tidak dapat memastikan siapa pemenang Pilkada Jatim oleh karena proporsi perolehan kedua pasang kandidat masih berada dalam batas margin of error +/- 1 persen, maka selesai tugas dan tanggung jawab penyelenggara survei.
Sebenarnya, tidak cukup sampai di sini. Masih banyak yang perlu diperjelas. Munculnya margin of error +/- 1 persen, misalnya, masih menyisakan keingintahuan. Melihat sampel yang digunakan, berkisar 300 dan 400 TPS, secara statistik kemungkinan margin of error yang dihasilkan tidak mungkin mencapai +/- 1 persen. Kecuali institusi survei memiliki penghitungan ataupun pertimbangan tersendiri terhadap hal ini. Sebagai gambaran, jika diperkirakan hanya 50 persen pemilih dari ideal 400 pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihnya di masing-masing TPS, maka sampel quick count untuk 400 TPS minimal diperkirakan berjumlah 80.000 pemilih. Jumlah sampel sebesar itu, dengan menggunakan rumusan statistik, maka pada tingkat kepercayaan 95 persen margin of error survei menjadi +/- 0,3 persen. Dengan margin of error demikian, implikasi prediksi quick count masing-masing lembaga idealnya menempatkan pasangan Kaji sebagai pemenang (Tabel).
Mengkhawatirkan
Lepas dari kalkulasi teknis di atas, kontroversi Pilkada Jatim seakan mementahkan kualitas penyelenggaraan survei di negeri ini. Peristiwa kali ini juga menambah panjang polemik ketidakakuratan survei. Awal September 2008, misalnya, masih belum terlupakan kontroversi hasil quick count dalam ajang pemilihan kepala daerah Sumatera Selatan. Jika Lembaga Survei Indonesia dan Lingkaran Survei Indonesia memprediksi secara tepat pasangan Alex Noerdin-Eddy Yusuf sebagai pemenang, Puskaptis justru memprediksi sebaliknya, kemenangan pada pasangan Syahrial Oesman-Helmy Yahya. Saat berbagai hasil beberapa quick count diumumkan, masing-masing pendukung kandidat sempat bersikeras bahwa kubu mereka pemenang pilkada.
Polemik kekeliruan prediksi semakin bertambah jika merunut hasil Pilkada Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan bahkan semakin panjang jika beragam survei prediksi pre-election yang didasarkan pada opini publik ditambahkan. Kasus prediksi Pilkada Jawa Barat, April 2008, dan Pilkada Nanggroe Aceh Darussalam, Desember 2006, menegaskan keyakinan masih rapuhnya kualitas penyelenggaraan survei di negeri ini. Betapa mengkhawatirkan. Padahal, semenjak awal kemunculan survei opini publik dalam Pemilu 1999, terlebih di era Pemilu 2004 serta ajang pilkada, quick count maupun survei opini publik telah mendapat tempat di masyarakat. Institusi survei pun telah mengenyam banyak sekali pengalaman kurun waktu tersebut. Jika beragam kegagalan terus berlanjut, patut dipertanyakan, ada apa dengan institusi survei di negeri ini?
Bestian Nainggolan, Litbang Kompas
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/17/0215367/masih.layakkah.survei.dipercaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar