20 Oktober 2008

Iklan Politik Marak, Jadi Lahan Bisnis Baru yang Menggiurkan - Abaikan Etika, Materi Tak Jujur Tetap Tayang

Pemilu tahun depan, baik pileg (pemilihan legislatif) maupun pilpres (pemilihan presiden), boleh jadi bakal menjadi ajang pesta para biro iklan, konsultan politik, dan lembaga PR (public relation). Selama Januari-Agustus lalu, hampir Rp 1 triliun sudah dikucurkan parpol-parpol untuk belanja iklan.

Parpol-parpol yang mulai getol beriklan di media massa maupun di sejumlah titik outdoor di beberapa kota besar adalah Partai Golkar dan Partai Demokrat. Juga, Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Yang tak kalah getol adalah dua parpol baru: Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat).

Partai-partai lain seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terkesan masih belum marak beriklan.

Menurut data AC Nielsen Indonesia, secara beruntun, belanja iklan politik terus meningkat. Pada Januari-Maret 2008, belanja iklan meningkat 62 persen dibanding periode yang sama 2007. Lalu, Januari-Juni 2008, belanja iklan politik melonjak 79 persen dengan nominal sekitar Rp 770 miliar dibanding periode yang sama 2007.

''Menjelang 2009, angkanya bakal meningkat tajam,'' kata Senior Manager AC Nielsen Indonesia Febby Ramaun dalam sebuah kesempatan. Survei Nielsen Media Research (NMR) juga mencatat, besaran nominal belanja iklan akan berbanding lurus dengan hasil pemilu yang diperoleh sebuah parpol. Dia berpendapat, belanja iklan cukup berdampak positif untuk mengerek perolehan suara parpol.

Empiris pada 2004 bisa menjadi buktinya. Selama kampanye 2004, data survei NMR merekam, PDIP dan Partai Golkar paling banyak membelanjakan uangnya untuk beriklan. PDIP mengeluarkan Rp 39,25 miliar untuk sebulan kampanye, sedangkan Partai Golkar membelanjakan Rp 21,75 miliar. Hasilnya, Partai Golkar menempati nomor urut 1 dan PDIP menjadi pendulang suara terbesar kedua.

Pengamat kebijakan publik dan media Ichsanuddin Noorsy menyatakan, modal awal agar dipilih masyarakat adalah harus dikenal. Wahana untuk dikenal itu tidak cukup mengandalkan pengerahan massa dan aksi panggung. Karena itu, dipilihlah jalur iklan di beragam media. ''Yang berkembang kemudian, iklan kampanye pilkada, pemilu legislatif, serta pilpres di media cetak dan televisi menjadi lahan bisnis baru bagi perusahaan periklanan,'' jelasnya.

Hanya, dia mengingatkan, di tengah pesatnya perubahan dalam industri komunikasi, ketaatan pada etika moral dan tanggung jawab profesi periklanan harus ditingkatkan. ''Bukan hanya perusahaan periklanan. Sebab, saat ini lembaga konsultan, studio, dan event organizer juga bisa membuat iklan. Pertanyaannya, apakah mereka paham soal etika periklanan? Itulah yang harus diperhatikan,'' tegas Noorsy.

Artinya, penerima order iklan jangan hanya menerima materi iklan mentah dari klien. Etika beriklan harus diperhatikan. Harus ada dialog antara perusahaan periklanan dengan klien. Rambu dan kode etik tidak boleh dilanggar. Sayangnya, tayangan iklan dengan aktor capres atau elite parpol masih lip service atau pura-pura peduli rakyat.

''Banyak materi iklan yang tidak profesional, tidak jujur, tapi tetap tayang. Kondisi itu menunjukkan bahwa integritas perusahaan periklanan tersebut rendah,'' ujarnya.

Sekjen Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) Irfan Ramli menuturkan, belanja iklan politik memang sangat menguras kantong parpol atau capres. Namun, meski sudah membayar sangat mahal, parpol/capres tidak bisa semaunya menentukan materi iklan tanpa memperhatikan etika. ''Kode etik periklanan tetap harus diperhatikan,'' tegasnya.

Irfan mengakui, kantong biro iklan, jasa konsultan, dan lembaga PR bakal makin tebal jika bisa menggaet partai tertentu atau partai besar sebagai klien. ''Belanja iklan partai politik untuk Pemilu 2009 pasti lebih menjulang dibanding Pemilu 2004,'' katanya. Tanda-tanda marak iklan parpol sudah terasa sejak kuartal pertama 2008.(yun/pri/dyn)

Tidak ada komentar: