01 Februari 2008

SEX ON TV, MENGAPA MARAK?

Oleh Teguh Imawan

Di tengah aura publik memerangi pornografi, tayangan berbau seks tetap tenang melenggang di layar telivisi. Disebut berbau seks, karena isi tayangan dominan mengupas renik-renik kehidupan seks belaka.
Indikasi kekentalan tayangan seperti dapat dilongok saat malam hari di televisi Trans dan Lativi. Sebagai contoh, secara stripping (hampir setiap hari), TransTV memutar acara Fenomena dan Komedi Nakal. Sedangkan, Lativi menyiarkan Komedi Tengah Malam Seksi, Lorong-Lorong Ibukota, Atmosphere, Layar Tancap, Bioskop Malam, dan sejenisnya.
Secara spesifik, Lativi mempromosikan deretan mata acara itu dengan gimmick tontonan lelaki. Pengelola televisi mencoba melabelinya dengan liputan ala jurnalisme investigatif, maupun bermantelkan komedi-hiburan.

Tuntutan Pasar
Realitas maraknya tayangan vulgar dan mesum dunia seks itu merupakan resultante dari hebatnya tekanan “pasar” kepada industri televisi. Dedy N. Hidayat (1999) menyebutkan, televisi selaku institusi kapitalis terdesak oleh tuntutan pasar pemirsa dan pasar pengiklan. Pasar pemirsa menuntut televisi untuk memproduksi informasi dan hiburan sesuai permintaan pasar penonton. Biasanya tuntutan itu tak berkisar jauh dari tuntutan pemberitaan kritis, berani, objektif, dan aktual. Di samping itu penonton juga menginginkan tayangan yang mengedepankan sisi hiburan dan sensasi berbumbu airmata, darah, dan sperma.
Tuntutan kedua, berupa tekanan kepada industri televisi untuk mampu menyerap sebanyak mungkin khalayak pemirsa/penonton. Jumlah penonton yang direbut stasiun televisi merupakan komoditi yang bisa diagunkan di pasar pengiklan yang butuh akses ke konsumen untuk mempromosikan produknya.
Sayangnya, televisi kadang cenderung memilih “jalan sperma” sebagai mata dagang. Televisi kian agresif meniti pematang seks sebagai rute cepat merenggut pemirsa. Karena itulah, penonton televisi gampang menyaksikan acara yang tak bisa beringsut dari komodifikasi hasrat. Acara memang didedikasikan mengangkat soal hubungan seks, pemerkosaan/pemaksaan seksual, eksploitasi seks, talkshow mengenai seks, perilaku seks menyimpang, pekerja seks komersial, homoseksual/lesbian, dan adegan telanjang.

Libidonomics
Piliang (2005) menandaskan, televisi telah terjebak dalam pusaran perkembangan sistem kapitalisme yang tersungkup cara pandang libidonomics (komodifikasi hasrat). Di dalamnya terperagakan secara kasat mata, eksploitasi secara ekstrem mengenai potensi libido, demi meneguk keuntungan maksimal. Dengan demikian, ada megaambisi televisi melakukan parade presentasi added values melalui tubuh perempuan sebagai titik sentral.
Cara kerja komodifikasi hasrat tak tanggung-tanggung. Ia langsung menggebrak pasar melalui proliferasi dan multiplikasi soal tubuh perempuan. Maka dioptimalkanlah tubuh pada nilai guna (use value), nilai tukar (exchange value), serta nilai tanda (sign value). Ketiga nilai tubuh tersebut telah menjadi rantai bisnis laris tiada tara, semisal pelacuran, gadis model, dan aktris porno.
Pada tayangan seks, keseluruhan nilai tubuh dioperasionalisikan oleh “intelektual tayangan”, dengan menonjolkan tiga sisi utama. Yakni, body appearance atau tampilan badan. Caranya, menonjolkan usia sebagai sarana memancing sensualitas. Itulah sebabnya, sorotan menajam ke ke prostitusi usia anak (Ciblek), ABG/SMP-SMA (Kupu-kupu Abu-Abu), atau Mahasiswi (Ayam Kampus). Terpancar gambaran usia muda identik rasa kesegaran.
Kedua, produser acara mengungkap-umbar perilaku badan, ketika mengclose-up habis perangkat tubuh yang memancarkan daya sensualitas tinggi. Lazimnya itu divisualisasikan dengan zoom kerlingan mata (tanda menggoda lelaki), lirikan (nakal), belai-usap (lembut-manja-memancing), pose (menantang), busana (mengundang), dan seterusnya.
Cara terakhir, adalah mengandalkan gerakan tubuh. Melalui itu ditonjolkan bagaimana cara: menyentuh yang sensasional, pijatan dan jillatan nikmat, ataupun rabaan menggelorakan hasrat.

Zona Cabul
Dalam bahasa kamera televisi, seluruh perangkat tayangan berbahan dasar tubuh perempuan itu diracik, disusun, dikonstruksi, dan disistematisasikan secara utuh agar kalau digelar di layar mampu memikat mata pemirsa. Teknisnya, frame-frame layar kaca tak beringsut jauh dari zona cabul (paha, pinggul, pantat, pinggang, pusar, maupun payudara).
Kesemuanya itu masih dibalut dengan pose sandar badan, liukan berjalan, variasi tatapan mata, model gerakan bibir, serta tone erangan-rintihan-derai tawa. Bila fakta tubuh sedemikian itu dinilai kurang “catcher”, produser tayangan masih bisa mempermak dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi penyuntingan, baik pada visual, audio, serta grafis-animasinya. Aneka rekadaya produksi itu diklaim demi memenuhi selera pasar (pemirsa).
Kalau melihat kuatnya kepentingan finansial dan gampangnya teknis pembuatan acara seks, tak ayal layar televisi menjadi etalase meriah menjajakan produk komodifikasi hasrat. Dalam kenyataannya, produk perkawinan kapitalisme hasrat tubuh dengan gagasan posmodernisme dekonstruktif nilai tubuh perempuan ini bertabrakan dengan kalangan masyarakat (silent majority) yang memegang teguh nilai kesusilaan dan kesopanan.
Kesemuanya ini memang layak dikembalikan kepada industri televisi dalam melakukan pembenahan program dan kualitas personelnya, terkhusus pada acara seks vulgas yang cabul demi kepentingan keberadaban kultural. Hakekatnya, tayangan seks adalah kekerasan visual layar kepada pemirsanya. Ada pelecehan martabat perempuan, karena ia semata sebagai pemuas hasrat.
Di sisi lain, penonton televisi perlu kian melek media. Mampu menseleksi dan memilih tayangan televisi yang sehat dan mencerdaskan. Inilah cara paling manjur memerangi tayangan seks di layar kaca.—


Jawa Pos, 10 Februari 2006, halaman opini

Tidak ada komentar: