01 Februari 2008
MEMERANGI KORUPSI VIA INFOTAINMENT
Oleh Teguh Imawan
Semula ada kasus biasa. Sebagaimana lazim dialami warga kebanyakan. Ibu artis film dan sinetron Sandy Aulia, Elyse Dupong, mengurus surat IMB untuk rumah anaknya ke kantor kecamatan. Biasa juga, prosesnya molor. Padahal, pihak Sandy telah mengeluarkan biaya cukup besar. Hingga waktu dijanjikan camat, IMB belum juga keluar. Setiap kali ditanya, camat menjawab belum jadi. Akhirnya, keluarga Sandy menunjuk kuasa hukum Ruhut Sitompul, dikenal sebagai pengacara artis. Untuk memperkuat tekanan, Sandy meminta dukungan Anwar Fuady, Ketua Persatuan Artis Sinetron.
Sampai pada saat, Elyse mengatakan ke camat bahwa ia menyerahkan persoalan ke pengacaranya. Ucapan itu dianggap camat sebagai bentuk ancama terhadap dirinya, dan balik menantang agar membawa pengacaranya ke kantornya. Lantas, Elyse bersama Sandy Aulia, Ruhut Sitompul, Anwar Fuady, serta wartawan infotainment, mendatangi kantor camat. Tapi, camat tidak ada di lokasi.
Berhasil
Kejadian itu menjadi “luar biasa”, karena disiarkan infotainment televisi. Suasana emosional di lokasi tampak dominan dalam tayangan. Denga berapi-api, pihak Sandy mengungkap empat poin. Pertama, camat dianggap sosok pengecut, karena tak menemui Sandy. Kedua, mempertanyakan kapasitas camat yang nol prestasi saat menjabat wakil camat, tapi bisa menjadi camat.
Ketiga, camat telah korupsi saat memungut uang IMB melebihi ketentuan, sehingga camat ini merupakan cermin birokrat korup. Camat yang mempersulit rakyat demi keuntungan pribadi semata. Keempat, selaku sahabat Gubernur Sutiyoso, Ruhut Sitompul dan Anwar Fuady meminta gubernur DKI menindak aparatnya yang memalukan warga Jakarta.
Setelah kasus tersebut diinfotainmentkan, keluarlah surat IMB. Begitu surat IMB di tangan dan uang pelicin sekitar Rp 15 juta dikembalikan, suasana berubah drastis. Wajah amarah menjadi ceria. Semula problem dianggap serius menyangkut korupsi berubah sebagai problem khilaf seorang manusia.
Pihak Sandy menganggap kasus telah usai melewati cara kekeluargaan. Lantas Sandy, Elyse, dan Ruhut mengatakan bahwa kasus tak usah dipanjang-panjangkan, sembari memplesetkan lirik grup musik Seuriues, “Camat juga manusia. Punya salah, punya hati.”
Masgul
Kenyataan seperti itu memperlihatkan efektivitas infotainment menebarkan fakta koruptif dan memeranginya. Selain itum infotainment perkasa sebagai alat mengembalikan kerugian material pihak tertentu. Tapi, tampak jelas, narasumber infotainment gagal menampilkan spirit penegakan kultur antikorupsi. Tidak ada rasa sesal, bahwa menyogok birokrat sebagai tindakan keliru. Landasan menyelesaikan problem lebih menekankan perkawanan dengan gubernur ketimbang merujuk pada aturan hukum.
Artis masih sebatas berjuang --melalui infotainment-- untuk mengembalikan kerugiannya. Ia tak mau menjadi mata tombak pendobrak praktik korupsi. Puncaknya, model penyelesaian “jabat tangan” pihak Sandy dengan camat disertai excuse atau permakluman dibungkus “camat juga manusia” mencerminkan pandangan masih remehnya kasus korupsi di level bawah birokrasi. Meski penyelewengan itu menjadi makanan sehari-hari yang menggelisahkan rakyat bawah.
Dapat dipahami kalau ada infotainment yang masgul dan kecewa, karena spirit menginfotainmentkan korupsi terhadang oleh kepentingan sesaat. Padahal, pengelola infotainment terlihat bersemangat mengolah kasus Sandy menjadi martil tayangan edukatif memerangi pejabat publik koruptif. Pihak Sandy, mengingat tingginya emosionalitas di awal kasus, dibayangkan kukuh menempuh “jalan hukum” meski IMB telah ditangan, bukan rute “jabat tangan”.
Hal itu penting bagi infotainment sebagai bukti bahwa dirinya tak melulu mengudal-udal persoalah privasi arits seputar kawin-cerai-selingkuh, tapi juga bisa menyajikan probem publik. Isu korupsi infotainment merupakan terobosan cita rasa baru mengisi tema liputan.
Selain memperlebar ruang liputan, menu korupsi menumbuhkan semangat kompetisi dengan jurnalisme mainstream, jurnalisme umum non infotainment. Sekaligus melengkapi kegemilangan prestasi infotainment mengendus dan membongkar skandal artis-selebritis. Maknanya, infotainment dapat menjadi tayangan pengontrol korupsi aparat pemerintah/negara. Dengan demikian, infotainment dapat memperlihatkan tanggungjawab sosial dengan menjadikan dirinya sarana gerakan antikorupsi.
Tantangan
Pragmatisme narasumber dan upaya terobosan infotainment terhadap korupsi sedemikian itu memperlihatkan kepada kita semua, ada tantangan besar menegakkan budaya antikorupsi. Power infotainment mendesak pejabat korup dan memancing kepedulian publik (penonton) terhadap problem kronis bersama, belum mendapat sambutan setara dari narasumber artisnya.
Infotainment kelihatan belum menemukan artis mata tombak memerangi korupsi. Semangat infotainment memerangi korupsi dengan pintu masuk artis-selebritis belum mulus, bahkan terganjal. Pertanyaan besarnya adalah, apakah infotainment akan terus berusaha mengisi tayangannya dengan tema korupsi?
Kalau “ya”, infotainment dapat mengalokasikan durasinya sebagai arena antikorupsi. Memberikan waktu tayang mengangkat informasi pengalaman praktek koruptif dalam kehidupan sehari-hari. Dari lingkungan sekolah, tempat bekerja, lokasi peribadatan, dan aneka layanan publik. Bukankah artis juga manusia, yang bersekolah, bekerja, beribadah, dan bersentuhan public service.
Bukankah tempat itu bisa dijumpai praktek koruptif? Kalau itu diakomodasi, sungguh, ada sekuntum energi positif memerangi korupsi via infotainment.—
Jawa Pos 20 Januari 2006, halaman Opini
Semula ada kasus biasa. Sebagaimana lazim dialami warga kebanyakan. Ibu artis film dan sinetron Sandy Aulia, Elyse Dupong, mengurus surat IMB untuk rumah anaknya ke kantor kecamatan. Biasa juga, prosesnya molor. Padahal, pihak Sandy telah mengeluarkan biaya cukup besar. Hingga waktu dijanjikan camat, IMB belum juga keluar. Setiap kali ditanya, camat menjawab belum jadi. Akhirnya, keluarga Sandy menunjuk kuasa hukum Ruhut Sitompul, dikenal sebagai pengacara artis. Untuk memperkuat tekanan, Sandy meminta dukungan Anwar Fuady, Ketua Persatuan Artis Sinetron.
Sampai pada saat, Elyse mengatakan ke camat bahwa ia menyerahkan persoalan ke pengacaranya. Ucapan itu dianggap camat sebagai bentuk ancama terhadap dirinya, dan balik menantang agar membawa pengacaranya ke kantornya. Lantas, Elyse bersama Sandy Aulia, Ruhut Sitompul, Anwar Fuady, serta wartawan infotainment, mendatangi kantor camat. Tapi, camat tidak ada di lokasi.
Berhasil
Kejadian itu menjadi “luar biasa”, karena disiarkan infotainment televisi. Suasana emosional di lokasi tampak dominan dalam tayangan. Denga berapi-api, pihak Sandy mengungkap empat poin. Pertama, camat dianggap sosok pengecut, karena tak menemui Sandy. Kedua, mempertanyakan kapasitas camat yang nol prestasi saat menjabat wakil camat, tapi bisa menjadi camat.
Ketiga, camat telah korupsi saat memungut uang IMB melebihi ketentuan, sehingga camat ini merupakan cermin birokrat korup. Camat yang mempersulit rakyat demi keuntungan pribadi semata. Keempat, selaku sahabat Gubernur Sutiyoso, Ruhut Sitompul dan Anwar Fuady meminta gubernur DKI menindak aparatnya yang memalukan warga Jakarta.
Setelah kasus tersebut diinfotainmentkan, keluarlah surat IMB. Begitu surat IMB di tangan dan uang pelicin sekitar Rp 15 juta dikembalikan, suasana berubah drastis. Wajah amarah menjadi ceria. Semula problem dianggap serius menyangkut korupsi berubah sebagai problem khilaf seorang manusia.
Pihak Sandy menganggap kasus telah usai melewati cara kekeluargaan. Lantas Sandy, Elyse, dan Ruhut mengatakan bahwa kasus tak usah dipanjang-panjangkan, sembari memplesetkan lirik grup musik Seuriues, “Camat juga manusia. Punya salah, punya hati.”
Masgul
Kenyataan seperti itu memperlihatkan efektivitas infotainment menebarkan fakta koruptif dan memeranginya. Selain itum infotainment perkasa sebagai alat mengembalikan kerugian material pihak tertentu. Tapi, tampak jelas, narasumber infotainment gagal menampilkan spirit penegakan kultur antikorupsi. Tidak ada rasa sesal, bahwa menyogok birokrat sebagai tindakan keliru. Landasan menyelesaikan problem lebih menekankan perkawanan dengan gubernur ketimbang merujuk pada aturan hukum.
Artis masih sebatas berjuang --melalui infotainment-- untuk mengembalikan kerugiannya. Ia tak mau menjadi mata tombak pendobrak praktik korupsi. Puncaknya, model penyelesaian “jabat tangan” pihak Sandy dengan camat disertai excuse atau permakluman dibungkus “camat juga manusia” mencerminkan pandangan masih remehnya kasus korupsi di level bawah birokrasi. Meski penyelewengan itu menjadi makanan sehari-hari yang menggelisahkan rakyat bawah.
Dapat dipahami kalau ada infotainment yang masgul dan kecewa, karena spirit menginfotainmentkan korupsi terhadang oleh kepentingan sesaat. Padahal, pengelola infotainment terlihat bersemangat mengolah kasus Sandy menjadi martil tayangan edukatif memerangi pejabat publik koruptif. Pihak Sandy, mengingat tingginya emosionalitas di awal kasus, dibayangkan kukuh menempuh “jalan hukum” meski IMB telah ditangan, bukan rute “jabat tangan”.
Hal itu penting bagi infotainment sebagai bukti bahwa dirinya tak melulu mengudal-udal persoalah privasi arits seputar kawin-cerai-selingkuh, tapi juga bisa menyajikan probem publik. Isu korupsi infotainment merupakan terobosan cita rasa baru mengisi tema liputan.
Selain memperlebar ruang liputan, menu korupsi menumbuhkan semangat kompetisi dengan jurnalisme mainstream, jurnalisme umum non infotainment. Sekaligus melengkapi kegemilangan prestasi infotainment mengendus dan membongkar skandal artis-selebritis. Maknanya, infotainment dapat menjadi tayangan pengontrol korupsi aparat pemerintah/negara. Dengan demikian, infotainment dapat memperlihatkan tanggungjawab sosial dengan menjadikan dirinya sarana gerakan antikorupsi.
Tantangan
Pragmatisme narasumber dan upaya terobosan infotainment terhadap korupsi sedemikian itu memperlihatkan kepada kita semua, ada tantangan besar menegakkan budaya antikorupsi. Power infotainment mendesak pejabat korup dan memancing kepedulian publik (penonton) terhadap problem kronis bersama, belum mendapat sambutan setara dari narasumber artisnya.
Infotainment kelihatan belum menemukan artis mata tombak memerangi korupsi. Semangat infotainment memerangi korupsi dengan pintu masuk artis-selebritis belum mulus, bahkan terganjal. Pertanyaan besarnya adalah, apakah infotainment akan terus berusaha mengisi tayangannya dengan tema korupsi?
Kalau “ya”, infotainment dapat mengalokasikan durasinya sebagai arena antikorupsi. Memberikan waktu tayang mengangkat informasi pengalaman praktek koruptif dalam kehidupan sehari-hari. Dari lingkungan sekolah, tempat bekerja, lokasi peribadatan, dan aneka layanan publik. Bukankah artis juga manusia, yang bersekolah, bekerja, beribadah, dan bersentuhan public service.
Bukankah tempat itu bisa dijumpai praktek koruptif? Kalau itu diakomodasi, sungguh, ada sekuntum energi positif memerangi korupsi via infotainment.—
Jawa Pos 20 Januari 2006, halaman Opini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar