Sekolah Kandank Jurank Doank. Luput, jika membayangkan bakal menemukan bangunan sekolah di kawasan Ciputat, Tangerang itu, layaknya bangunan sekolah yang biasa kita temui. Pemandangan yang segera tampak di depan mata adalah lapangan rumput yang terawat, lapangan bulu tangkis, bangunan bekas perpustakaan yang sekarang menjadi ruang bercerita, arena terbuka setengah lingkaran, bangunan-bangunan kayu, serta sebuah bangunan baru dengan arsitektur unik.
ak ada dinding-dinding membatasi. Tak ada sekat-sekat. Kandank Jurank Doank, sekolah alam yang dikelola Dik Doank itu, langsung berbatasan dengan alam. Di tempat itu berkumpul anak-anak kurang mampu, yang sulit mendapatkan pendidikan yang layak.
Keprihatinan terhadap nasib pendidikan sebagian anak-anak mendorong Dik Doank mengembangkan sekolah itu. Dari belasan anak, kini jumlah "muridnya" mencapai sekitar 2.500 anak. Anak-anak itu berkumpul setiap minggu, belajar dan bermain.
Atas upayanya itu, Dik Doank, yang selama ini diberi predikat artis, penyanyi, presenter, dan desainer grafis, mendapat satu tam-bahan predikat. Sebuah majalah memasang fotonya di sampul depan, menyejajarkannya dengan tiga tokoh lain yang selama ini dikenal sebagai filantropis. Apa pun sebutannya, Dik Doank lebih menyebut apa yang telah diperbuatnya sebagai "hidup berbagi".
Di sela-sela kesibukannya menerima tamu dari Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, berkaitan dengan pemberian penghargaan pada Peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2008, Dik Doank menerima SP berbincang-bincang. Berikut petikannya:
Dalam usia yang boleh dikata masih muda, pada saat teman- teman sebaya masih berjuang menggapai kehidupan lebih baik, ada semacam titik pijak dalam perjalanan kehidupan yang membuat Anda mengedepankan, hidup adalah berbagi. Apa yang mendorong?
Ketika saya mencari agama saya, saya menemukan, bahwa kita harus masuk secara menyeluruh, kekafahan (kesempurnaan sebagai Umat Muslim, Red). Ketika kita di dalam kekafahan, kita harus melihat konteksnya. Ternyata, kita harus menjaga hubungan itu. Artinya, kita harus mengerjakan perintah-Nya, dan harus menjauhi larangan-Nya.
Apa sih perintah-Nya? Rukun Islam, bagi yang beragama Islam. Saya yakin, orang yang mengerjakan rukun Islam dengan tawaduk, ikhlas, rida, akan menjadi orang yang kaya hati, kaya harta, yang pernah diciptakan oleh Allah di atas muka bumi ini.
Pesan berikutnya, "Kalau engkau sudah kaya, kaya hati dan kaya harta, maka bangunlah kemaslahatan orang banyak. Kalau engkau sanggup, bangunlah masjid. Kalau tidak sanggup, bangunlah musala. Kalaupun tak sanggup, karena senantiasa tinggal di rumah kontrakan, maka ada sajadah yang terhampar, mengingatkan lima waktu untuk salat. Hal lain, bangunlah pendidikan, sekolah, bangunlah rumah sakit."
Kalau atas biaya hati yang penuh kekafahan, maka tidak ada yang mahal dengan itu. Kandank Jurank Doank ini adalah wujud dari kekafahan.
Ibarat tambal sulam, yang akan menyulam ibadah kita misalnya, ketika kita kurang sempurna menjalankan salat. Atau, ketika beramal sedekah, kita masih menganggap, apa yang kita amalkan dan sedekahkan milik kita. Inilah yang menambal sulam. Ketika bertemu orang, kita tersenyum. Masuk rumah, mengatakan assalamualaikum, berjabat tangan, jika minum mengucap bismillah, pakai kancing mengucap bismillah, jika selesai mengucap alhamdulillah. Itu adalah tambal sulam.
Jadi, apa dibaliknya? Ketika saya menemukan agama saya, saya menemukan cara saya hidup.
Di negeri ini orang masih mementingkan predikat, sebutan. Label yang melekat kepada Anda selama ini adalah artis, penyanyi, presenter, desainer grafis, dan belakangan, filantropis. Anda sendiri ingin disebut apa?
Bagi anak-anak, saya adalah sahabat anak. Bukan guru, karena saya tidak ada semangat menggurui. Bagi anak-anak saya pun, saya juga tidak jauh berbeda, ingin jadi sahabat anak-anak saya. Karena, saya memahami betul, usia 0 tahun sampai 7 tahun, adalah usia anak-anak untuk bermain, bermain, dan bermain.
Lalu, ada yang protes, Dik Doank, anak saya sudah umur 5 tahun, sudah bisa masuk SD, bukan? Memang, bisa saja tidak berdasarkan umur, namun berdasarkan kemampuan. Tetapi, janganlah mencabut masa bermain anak dengan cepat, karena kelak kita akan menemukan anak-anak kita yang dewasa, tetapi kekanak-kanakan. Contohnya, sudah kuliah, masih berkelahi. Punya kedudukan, tapi korupsi. Bukankah itu kurang puas main petak umpetnya? Merasa enak karena tidak diketemukan? Atau, ketika punya istri yang baik, malah selingkuh. Bukankah itu karena dia tidak pernah dinyanyikan 'serong ke kiri serong ke kanan' pada waktu hendak berangkat tidur saat kecil?
Artinya, balancing-nya kurang. Sampai dengan 7 tahun adalah usia bermain. Lalu, usia 7 - 14 tahun adalah usia emas. Anak kita tidak akan pernah meleset menerima apa yang kita ajarkan di usia itu. Apa pun. Ke gereja mereka akan ke gereja, yang ke masjid akan ke masjid. Itu kita tanamkan.
Tetapi, usia 14 - 21 tahun adalah usia bersahabat. Apa yang kita katakan tidak akan pernah masuk lagi. Kita kencengin, dia lari ke sahabatnya. Kita kencengin lebih kenceng lagi, dia akan lari ke pacarnya. Kemudian, usia 21 tahun, usia kerja dan menikah, kita akan dilupakannya.
Mengingat hal periodik itu, maka ketika dia bermain, saya adalah sahabatnya, bukan orangtuanya. Ketika dia ingin belajar dan menanamkan ilmu, saya bukanlah guru, tetapi sahabatnya. Ketika dia mencari sahabat, kitalah sahabatnya, sehingga ketika dia dewasa dan menikah, bekerja, kita tidak akan dilupakannya.
Rasulullah, Nabi Isa, mengajarkan bahwa hari terakhir hidupnya, bersama sahabatnya, bukan bersama orangtuanya. Nabi Isa lahir, tanpa orangtua, Tuhan ingin membimbing langsung. Tetapi, kita sebagai orangtua, malah jadi sayap-sayap yang patah. Tidak jadi dokter, memaksa anak menjadi dokter. Begitu jadi dokter, mungkin dokter yang tidak bener. Atau, dokter yang paksaan. Nuraninya akan tergores.
Nabi Muhammad begitu lahir, yatim-piatu. Tinggal bersama kakeknya, kakeknya meninggal. Tinggal bersama pamannya, enam tahun, pamannya juga meninggal. Apa yang hendak dikehendaki oleh Allah? Bimbingan-Nya langsung.
Jadi, kalau kita punya sikap atas kepasrahan bahwa semuanya itu bukan milik kita, maka jadinya akan lain.
Saya misalnya. Saya kumpulkan anak-anak, Putti, Geddi, dan Ratta. Juga ibunya. Saya katakan, "Kalau ayah (Dik Doank, Red) mati, izinkan ibu menikah lagi, karena ibu masih muda. Jangan tuntut suami ibu untuk membangun Kandank Jurank Doank. Karena ini beda. Biarkan vakum saja. Yang penting, tugas dia adalah menyekolahkanmu. Ketika engkau sudah jadi, bangunkan lagi Kandank Jurank Doank, karena ini tanggung jawabmu."
Bisakah kita ikhlas seperti itu? Bisakah orang mati mengatur yang hidup?
Siapa orang yang paling berpengaruh dalam hidup Anda? Ibu? Ayah?
Semuanya. Daun yang jatuh pun memengaruhi saya. Saya belajar dari alam karena saya berpegang pada Alquran. Alquran adalah ayat, dan ayat adalah tanda.
Jadi, kalau orang bisa membaca Alquran, dia bisa membaca tanda kehidupan. Dengan masing-masing kitabnya.
Jadi, dengan penjelasan itu semua, jika dikaitkan dengan keberadaan dan keberlangsungan sekolah di Kandank Jurank Doank ini, apa sebetulnya obsesi Anda?
Itu berkaitan dengan tiga hidup pilihan kita, yang kasat mata. Bahwa kalau kita mau miskin, gampang saja. Pikir saja mulut sama perut, pasti kita miskin. Kalau kita ingin hidup sederhana, pikirkan saja keluarga, pasti kita membeli handphone, punya motor, punya mobil. Pasti, karena kita memikirkan keluarga. Tetapi, kalau kita ingin seperti Liem Sioe Liong, Ciputra, Rachmat Gobel, dan Bill Gates, maka pikirkanlah orang lain. Keluarga kita titipkan kepada Sang Pencipta.
Maka, "Liem Sioe Liong" itu, ada orang Kristen, orang Buddha, orang Hindu, orang Islam, bahkan orang-orang tak beragama pun bekerja padanya. Tetapi, apa yang terjadi kalau di kita? "Kalau tidak Islam, jangan ikut kami". "Kalau tidak Kristen, bukan golongan kita". Padahal, Nabi Muhammad menyuapi orang Yahudi, yang buta, dan yang menghina-Nya di dalam sebuah pasar. Dan, orang itu merasa sangat kehilangan ketika ditinggalkan Nabi Muhammad.
Ngomong-ngomong, mengapa lebih suka pakai "nk", bukanya "ng"?
Itu ciri. Karakter. Menulisnya pun begini (Dik menuliskan dalam buku catatan): dikDOANK.
PEWAWANCARA: SOTYATI
Panggil Saja Dik Doank...
ama yang diberikan orangtuanya panjang, Raden Rizki Mulyawan Kertanegara Hayang Denda Kusuma. Tetapi, pria kelahiran 21 September 1968 ini, telanjur akrab dipanggil Dik Doank. Menuliskan namanya pun, yang benar, menurutnya, dikDOANK.
Dik, lulusan Institut Kesenian Jakarta, awalnya dikenal sebagai desainer grafis. Dari tangannya, lahir karya-karya sampul kaset untuk album Chrisye, Ebiet G Ade, AB Three, Atiek CB, Broery Pesolima, Nike Ardilla, dan Koes Plus. Dalam perjalanan karier berikutnya, ia kemudian mengepakkan sayap, menekuni bidang tarik suara. Dik meluncurkan beberapa album, menyajikan lagu-lagu bertema sosial, dengan lirik-lirik yang sedikit "nakal", di antaranya album Pulang (1997), Jangan Takut (1999), dan 180 Derajat (2004). Perjalanan karier lebih jauh mengantarnya menjadi presenter acara olahraga di televisi dan bintang iklan. Ia tampil sebagai ikon iklan obat rambut, minuman penambah energi, dan iklan operator seluler.
Belakangan, Dik lebih dikenal sebagai pendiri dan pengelola Sekolah Kandank Jurank Doank, sekolah bertema alam untuk anak-anak kurang mampu. Bukan hal baru sebetulnya, karena Dik telah merintisnya sejak tahun 1993. Tanpa bantuan siapa pun, dan mulai dengan hanya sembilan anak. Keprihatinan melihat sistem pendidikan di negeri ini mengusik hatinya untuk berbuat sesuatu.
Di sekolah itu ia banyak mengajarkan menggambar. "Menggambar apa saja, sepeda, anatomi manusia, kuda, rumah adat, hingga setan dalam bayangan seorang anak. Menggambar adalah dasar untuk bisa mencipta. Ingat Wright Bersaudara (Orville dan Wilbur Wright, Red)? Dari menggambar, mereka bisa mem- buat pesawat terbang," katanya, dalam percakapan penggal pertengahan pekan lalu di kompleks Kandank Jurank Doank, di Jurangmangu, Ciputat, Tangerang.
Ia juga mengajarkan anak-anak berkreasi membuat kerajinan, termasuk membuat pensil. Sesekali, ia membawa anak-anak itu berkunjung ke tempat-tempat yang bisa menambah pengetahuan. Sekolah Dik itu berkembang kini, muridnya pun mencapai 2.000-an anak.
Dik yang suka menggambar dan mengarang komik sejak kecil, sampai sekarang masih terus mengembangkan bakatnya melukis. Di sela-sela kesibukannya, ia menyisihkan waktu untuk membenamkan diri di studio lukisnya, di bangunan utama di kompleks sekolah, yang bersisian dengan ruang menyimpan koleksi sepeda kumbangnya. Karya-karya lukisnya, juga bertema sosial dan salah satu di antaranya tentang keberagaman keberagamaan, menghiasi ruang-ruang pamer di bangunan utama itu.
Perjalanan kehidupan Dik juga mengantarnya bertemu dengan tokoh-tokoh terkenal dunia, seperti pemain bola asal Italia Alessandro Del Piero, bertepatan dengan Kejuaraan Sepakbola Dunia 2002 Korea-Jepang. Ia juga terpilih sebagai pembawa obor Olimpiade Beijing 2008 yang baru lalu, di Nanjing. Dik, yang mempersunting Mirna Yuanita, dikaruniai tiga anak, yakni Anak Ratta Billa Baggi, Geddi Jaddi Membummi, dan Putti Kayya Hatti Imanni. [A-18]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar