02 Januari 2010

Infotainment; Di Balik Perlawanan Luna Maya (INDRA TRANGGONO)

Minggu, 3 Januari 2010 | Infotainment telah muncul sebagai kekuatan hegemonik di jagat industri hiburan di televisi. Tidak banyak artis yang berani bersikap kritis bahkan melawannya karena takut tidak diekspose, dikucilkan, atau diboikot. Maklum, infotainment telanjur dianggap memiliki "kesaktian" mediatik yang menjanjikan popularitas.

Namun, Luna Maya berani melawan kuasa infotainment. Di balik kalimatnya yang dianggap sarkas dan vulgar, sejatinya ia memberikan pesan genting: infotainment tidak berhak dan tidak etis mengacak-acak wilayah pribadi orang.

Atas nama moralitas, berbagai pihak mengecam tayangan infotainment, termasuk ketika muncul kasus artis Luna Maya yang dianggap melecehkan wartawan infotainment. PBNU pun menilai infotainment hukumnya haram karena termasuk dalam ghibah (menggunjing orang), sedangkan Fatayat NU meminta tayangan infotainment dibatasi.

Bagi industri hiburan di televisi, semua hal bisa dijadikan "barang dagangan", termasuk persoalan personal para tokoh masyarakat (pesohor). Prinsipnya: orang terkenal selalu menjadi berita (name makes news). Bagi seorang artis populer, tidur mendengkur adalah berita. Bagi politisi kondang, sakit sariawan adalah berita. Meskipun sesungguhnya masyarakat tidak mendapatkan makna penting atas berita-berita tersebut. Industri hiburanlah yang memaksakan hal-hal remeh itu penting sebagai kebutuhan.

Terbukti kebutuhan dapat diciptakan dan dikondisikan melalui pencucian kesadaran yang intens dan kontinu. Siapa pun bisa meyakini bahwa ketela itu sebagai roti jika ada kekuatan dan kekuasaan yang melakukan pemaksaan. Sehingga pada akhirnya orang tidak lagi mampu membedakan antara ketela dan roti, antara yang bermutu tinggi dan yang rendah, antara yang esensial dan yang artifisial. Industri hiburan mampu menjadikan publik mengalami disidentifikasi atas realitas dan makna. Begitu pula dengan "makhluk" bernama infotainment. Ia bisa mereduksi hal penting menjadi tidak penting dan hal tidak penting menjadi mahapenting.

Disidentifikasi realitas

Infotainment tanpa kriteria jurnalistik yang berbasis pada logika (pertimbangan kualitas dan kuantitas pemberitaan, kepentingan publik) dan etika (pantas dan tidak pantas, sopan dan tidak sopan) akan terjerumus pada jurnalisme gosip yang bombastis dan sarkastis. Jurnalisme gosip bekerja atas kepentingan subyektif (industri) bukan kepentingan obyektif (publik).

Industri hiburan cenderung mengutamakan keuntungan finansial tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip moral. Karena ia menganggap semua hal, termasuk manusia, adalah "benda" yang harus dieksploitasi dan dijual. Untuk itu, jurnalisme gosip tidak beroperasi di arus utama dinamika publik, melainkan di ceruk-ceruk domestik tokoh. Problem personal menjadi targetnya: perselingkungan, perceraian, persoalan tubuh, penampilan, kehidupan seks, dan hal-hal tabu lainnya. "Kamera dan pena infotainment sudah memasuki ruang-ruang privat. Sangat mengerikan," keluh seorang artis.

Infotainment yang berideologi jurnalisme gosip meyakini bahwa hal-hal yang tabu sangat disukai publik. Ini klop dengan watak sebagian publik yang memiliki hobi untuk ngrasani, ngrumpi atau menggunjing orang, terutama terkait isu yang miring dan kelam. Tradisi ngrasani menjadi bukti bahwa sejatinya relasi antarmanusia itu tidak selalu sentosa dan harmonis, tapi juga rapuh. Dalam konteks ngrasani, kebaikan dan keberhasilan orang bukanlah berita yang layak dan sedap disantap. Yang dianggap berita panas adalah keburukan dan kelemahan orang lain. Dengan ngrasani, orang merasa "katarsis", padahal sesungguhnya yang terjadi adalah perawatan atas jiwa yang sakit. Dan infotainment yang berideologi gosip telah sukses menyuburkan jiwa sakit masyarakat.

 Tak perlu dilarang

Jika Luna Maya melawan, bisa jadi karena industri infotainment sudah kebangetan di dalam "melucuti" wilayah pribadi orang. Persoalan dalam kasus Luna Maya versus wartawan infotainment sesungguhnya lebih condong ke moralitas daripada hukum formal. Penghinaan yang dituduhkan atas Luna Maya hanyalah akibat saja. Kasus Luna Maya semestinya menjadi pelajaran penting agar wartawan infotainment lebih elegan dan sopan dalam pemberitaan yang terkiat dengan persoalan pribadi orang sehingga terhindar dari tuduhan merampas hak asasi manusia.

Infotainment tidak perlu dilarang, melainkan dituntut melakukan perubahan ideologi pemberitaan yang mengutamakan kebenaran data dan fakta serta etika. Informasi bukan gosip, kebenaran realitas baik secara sosiologis maupun psikologis. Hiburan yang bergizi bukan hal-hal sensasional, bombastis dan sarkastis, melainkan kenyataan simbolik yang mampu memberikan pencerahan kepada publik.

Saatnya industri hiburan mengubah perangainya: memuliakan publik. Setiap jurnalis ditantang untuk membangun publik yang ideal: bermartabat dan toleran. Karena itu, mitos bahwa "yang tidak bermutu pasti laku" harus diakhiri dengan pandangan baru: hanya yang bermutu yang laku.

Terbangunnya masyarakat yang cerdas dan pasar yang berkualitas merupakan tantangan industri hiburan di televisi, termasuk infotainment. INDRA TRANGGONO Pemerhati Budaya - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/03/04221793/di.balik.perlawanan.luna.maya

Penyanyi Cilik; Oh Buyung, di Mana Nyanyianmu?

DOK KOMPAS
Ira Maya Sopha (kiri) dan Dina Mariana dalam operet Cinderella tahun 1978.

Aku adalah anak gembala

Selalu riang serta gembira

Karena aku senang bekerja

Tak pernah malas ataupun lengah

La la la la la la la

Masih ingat bagaimana gaya Tasya menyanyikan lagu "Anak Gembala" 10 tahun lalu di TV? Penampilan Tasya yang lucu dan menggemaskan membuat salah satu lagu anak sepanjang masa karya AT Mahmud tersebut populer saat itu.

Selain "Anak Gembala", Tasya juga membuat anak-anak pada masa itu menyukai lagu "Libur Telah Tiba". Tasya, yang pada saat itu berusia 7 tahun, memang tengah memopulerkan lagu-lagu karya AT Mahmud melalui album Libur Telah Tiba (2000).

Lima tahun kemudian, Tasya kembali memopulerkan lagu-lagu anak zaman dulu yang digabungkan dengan lagu baru seperti "Jangan Takut Akan Gelar" karya Eros (Sheila on 7) dalam album The Very Best of Tasya.

Sebelum era Tasya, di paruh kedua era 1970-an Chicha Koeswoyo dengan lucu menaynyikan "Helly," yang bertutur tentang anjing kecil kesayangannya. Chicha dan Helly-nya menjadi loko penarik lagu-lagi anak-anak dari Joan Tanamal, Adi Bing Slamet dan banyak lagi.

Kemudian di era 1990-an Enno Lerian populer lewat salah satunya lagu "Nyamuk Nakal", Melisa dengan "Abang Tukang Bakso", dan Trio Kwek Kwek "Jangan Marah". Lalu muncul Sherina yang tak hanya menyanyi, tetapi juga terkenal melalui film Petualangan Sherina.

Salah satu personel Trio Kwek Kwek, Leony, bercerita, kelompok yang dibentuk oleh Papa T Bob itu mengeluarkan tujuh album inti saat eksis di tahun 1992-2001. "Kami diarahkan untuk menyanyikan lagu anak-anak. Kami juga punya album seleksi lagu daerah. Tujuannya supaya anak-anak tahu lagu-lagu daerah," kata Leony yang bergabung dengan Trio Kwek Kwek sejak kelas I SD.

Leony menuturkan, dia tahu benar lagu anak zaman dulu, lagu daerah, hingga lagu perjuangan. Ini karena lagu-lagu tersebut diajarkan di sekolah.

Saat membandingkan dengan masa kecilnya dulu, Leony mengaku khawatir pada perkembangan anak-anak sekarang yang lebih hafal lagu-lagu bertema dewasa. "Penyanyi anak sekarang ini sebenarnya banyak. Yang tidak ada adalah lagu anak. Buktinya, ada acara TV yang isinya anak-anak yang menyanyikan lagu dewasa," tutur Leony.

Penyanyi yang kini telah berusia 22 tahun ini juga mengkhawatirkan perkembangan anak-anak yang dicekoki lagu dewasa. "Kasihan, mental mereka belum siap untuk mengetahui arti lagu-lagu yang dinyanyikan," kata Leony.

Budi pekerti

Sementara itu, mantan artis cilik Ira Maya Sopha berpendapat dunia lagu anak dulu dan sekarang sangat berbeda serta tidak bisa dibandingkan.

"Materi lagu anak dulu sangat ringan dengan lirik yang mudah dimengerti, seperti soal budi pekerti dan alam. Unsur edukasinya tinggi. Sekarang pola pikir anak sudah berbeda. Anak banyak sekali menyerap informasi dari berbagai jenis media, termasuk informasi lagu dan penampilan seorang penyanyi di atas panggung. Penyanyi anak sekarang lebih matang," kata Ira.

Meski demikian, Ira menyadari kalau anak-anak sekarang tidak banyak tahu lagu-lagu anak zaman dulu. "Tetapi kalau dikasih lagu band pop dewasa, mereka langsung nyambung. Kita pernah mencoba memberikan lagu-lagu AT Mahmud, penontonnya tidak mengerti. Kalau diberi lagu ST12 mereka langsung nyambung," tutur Ira yang menjadi salah satu juri acara Pentas Idola Cilik di RCTI.

Artis yang pada masa kecilnya identik dengan Putri Sepatu Kaca ini menjelaskan, hal tersebut terjadi karena lagu-lagu pop dewasa justru menjadi lagu yang tiap hari didengar anak-anak. Ini karena industri musik sekarang sedang tidak berpihak ke lagu anak.

"Tapi kita tidak bisa menyalahkan industri karena logika industri itu kan mencari keuntungan. Kalau pasar tidak ada, bagaimana lagi. Media (massa) yang khusus mengupas dunia anak juga belum ada," kata Ira.

Untuk itulah, Ira berpendapat alangkah baiknya kalau orangtualah yang mengajarkan lagu anak kepada anak-anaknya. Memopulerkan kembali lagu anak bisa dilakukan dengan menggelar festival lagu anak dan dengan menyediakan jam tayang khusus untuk anak. (IYA/BSW) - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/03/04024595/oh.buyung..di.mana.nyanyianmu

Cilik-cilik Nyanyi Lagu Cinta

KOMPAS/BUDI SUWARNA
Deva (12), peserta Idola Cilik 3 berada di atas panggung, Rabu (30/12). Dia menggemari lagu-lagu Gigi, The Changcuters, dan Superman Is Dead.

Minggu, 3 Januari 2010 | Budi Suwarna dan Yulia Sapthiani :: Adakah perbedaan penyanyi cilik sekarang dengan penyanyi dewasa? Rasanya hampir tidak ada. Mereka tampil sama-sama energik, bahkan kadang sama genitnya. Sebagian besar dari mereka pun sama-sama senang menyanyikan lagu pop bertema cinta. Wow?

Agung Satya Gandhi naik ke panggung dengan percaya diri. Tanpa banyak basa-basi dia menyanyikan lagu "Rasa yang Tertinggal" milik ST12 yang berkisah tentang orang yang sedang kasmaran namun tidak mampu mengungkapkan isi hatinya.

Di bagian refrain yang bertempo cepat dan mengentak, Gandhi—begitu dia disapa—melompat-lompat. Penampilan energik Gandhi langsung disambut meriah sekitar 500 penonton. Mereka ikut melompat-lompat dan ikut bernyanyi.

Itu bukan deskripsi suasana konser musik dengan penampil penyanyi dewasa, melainkan konser Menuju Pentas Idola Cilik 3, Rabu (30/12), yang penyanyinya terhitung bocah. Gandhi, misalnya, baru berusia 11 tahun. Peserta lain yang tampil hari itu, Deva, Salma, Aren, dan yang tampil hari berikutnya Nyopon, Ian, Yosia, dan Rizky usianya kurang lebih sama.

Penontonnya pun kebanyakan bocah SD atau SMP. Bahkan, ada beberapa penonton yang masih anak balita dan ikut mengangguk-angguk di pangkuan ibunya ketika mendengar lagu ST12.

Bocah cilik menyanyi dan mendengarkan lagu cinta remaja? Ah, sekarang mungkin sudah biasa dan tidak hanya terjadi di acara Idola Cilik. Pada acara game show Indosiar Holiday on Happy Song kita bahkan bisa melihat betapa akrabnya anak-anak sekarang dengan lagu-lagu dewasa.

Acara yang sudah berlangsung dua musim ini adalah versi anak acara Happy Song yang lebih dulu ngetop di Indosiar. Di acara ini, peserta bocah diminta menebak judul lagu atau melanjutkan lirik lagu-lagu dewasa yang dimainkan sebuah band pengiring.

"Melepasmu dari hidupku," kata M Fiqri Farhan (12) menebak dengan jitu penggalan lirik yang hilang dari lagu "Melepasmu" milik Drive. Berkat kepiawaiannya menebak lagu dewasa, Fiqri menang hari itu, Selasa (29/12), dan meraih Rp 2 juta.

Fiqri mengatakan, dia hafal hampir semua lagu dewasa yang sedang populer terutama lagu ST12. Ia hafal lirik lagu-lagu kelompok ini seperti, "Saat Terakhir", "Cari Pacar Lagi", dan "Rasa yang Tertinggal".

Gandhi juga menyukai lagu ST12. "Lagunya enak seperti lagu Melayu," kata peserta asal Padang yang saat audisi Idola Cilik menyanyikan lagu Andra and The Backbone, "Sempurna", dan Nidji, "Laskar Pelangi". Sementara itu, Deva, peserta Idola Cilik asal Bali suka dengan lagu-lagu Gigi, The Changcuters, dan Superman Is Dead.

Apakah mereka tahu lagu-lagu anak? Fiqri, Deva, dan Gandhi mengaku tahu lagu "Balonku" dan "Pelangi", tetapi mereka terus terang bilang kurang suka. "Saya lebih senang lagu ST12," kata Fiqri.

Generasi ST12

Mengapa bocah-bocah itu begitu akrab dengan lagu dewasa? Ya, karena lagu-lagu dewasalah yang setiap hari mereka dengar melalui radio, televisi, pemutar cakram padat (CD), internet, dan nada sambung telepon genggam.

Siti Farika (35), ibu Fiqri, menceritakan, putranya setiap hari mendengarkan ST12. "Makanya dia hafal di luar kepala lagu-lagu mereka," ujarnya.

Indah Seme, ibunda Bulan yang juga ikut Holiday on Happy Song menambahkan, putrinya adalah penggemar berat acara musik di televisi seperti Inbox, Dahsyat, dan Derings yang menampilkan penyanyi atau band pop dewasa seperti D'Masiv, The Changcuters, Kuburan, Hijau Daun, ST12, The Virgin, Wali, dan Ungu. "Hampir setiap hari dia nonton acara itu, apalagi saat liburan seperti sekarang," katanya.

Karena anak-anak lebih senang dengan lagu pop dewasa, produser acara Idola Cilik dan Holiday on Happy Song juga harus "menyesuaikan diri". "Di musim pertama, kami sempat menyajikan lagu-lagu anak, tapi peserta tidak ngerti. Penontonnya yang kebanyakan anak-anak juga diam semua. Kalau dikasih lagu pop seperti D'Masiv dan ST12 mereka langsung ngerti dan lompat-lompat," ujar Ida Simatupang, Produser Holiday on Happy Song.

Maria E Febriyani, Eksekutif Produser Menuju Pentas Idola Cilik 3, menambahkan, sejak audisi hanya 40 persen dari sekitar 12.000 peserta yang menyanyikan lagu anak-anak seperti "Anak Gembala" dan "Pemandangan Alam". Sisanya menyanyikan lagu dewasa.

RCTI, kata Maria, membolehkan peserta menyanyikan lagu-lagu dewasa namun temanya dibatasi. "Kalaupun lagu cinta tapi cinta yang umum, bukan cinta-cintaan antara dua orang yang sedang pacaran. Coba deh perhatikan," ujar Maria.

Zaman memang sudah berubah. Dan, anak-anak sekarang—yang kita saksikan di televisi—tampak lebih dewasa dibandingkan dengan usianya. Sebagian berdandan medok seperti tante-tante. Bahkan, Amel, pemain sinetron cilik, yang tampil sebagai pendamping presenter Oky Lukman dengan cuek menggoyang-goyangkan badan dan bertanya kepada penonton, "Aku seksi kan?"

Buat orang yang menghabiskan masa kecil di zaman Chicha Koeswoyo, Ira Maya Sopha, dan Puput Novel hal itu mungkin mengherankan. Bagaimana mungkin anak kecil bicara soal keseksian.

Ira Maya Sopha, mantan artis cilik yang sekarang menjadi komentator Idola Cilik, mengatakan, anak-anak sekarang memang beda dengan dulu. Penyanyi cilik sekarang jauh lebih matang dan ekspresif. "Kita tidak bisa membanding-bandingkan. Generasinya beda," katanya. Beda generasi, beda selera memang. Tetapi di mana letak lagu-lagu yang sarat edukasi seperti "Kasih Ibu" atau "Bangun Tidur" misalnya? - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/03/04230718/cilik-cilik.nyanyi.lagu.cinta

Anak-anak Tanpa Lagu Anak


DOK DENDANG KENCANA
AT Mahmud menyanyi bersama anak-anak dalam lomba paduan suara anak-anak tingkat TK dan SD Dendang Kencana se-Jabotabek di Bentara Budaya Jakarta akhir November 1994.

Minggu, 3 Januari 2010 | Putu Fajar arcana :: Sudah lebih dari satu dekade ketika Tasya, yang menggemaskan itu, menyanyikan lagu-lagu ciptaan AT Mahmud. Setelah itu boleh dikata tak pernah terdengar lagi lagu anak yang mengumandang lewat radio atau televisi. Anak-anak malahan lebih fasih menyanyikan lagu cinta dari band-band dewasa. Waduh!

Kelangkaan lagu anak bisa menjadi petunjuk lunturnya "tradisi" bertutur untuk mewariskan berbagai pesan moral yang klop dengan dunia anak. Secara amat mudah industri rekaman komersial, seperti Musica Studio, Sony Music, atau Gema Nada Pertiwi (GNP), bisa dituding tak lagi berpihak pada anak. Perusahaan-perusahaan rekaman inilah yang tadinya memproduksi album lagu anak dari penyanyi cilik seperti Tasya atau para bintang yang memenangkan kontes menyanyi seperti Idola Cilik.

Musica memang masih setia memproduksi album Idola Cilik bekerja sama dengan stasiun televisi RCTI sebagai penyelenggara Idola Cilik. Tetapi, perekaman itu hanya berlangsung setahun sekali dan oleh sebab itu sejak tahun 2007, Musica baru merilis dua album lagu anak-anak.

Direktur Musica Studio Indrawati Wijaya memang tetap bertekad di tahun 2010 ini studionya merekam lagi lagu-lagu anak yang dinyanyikan oleh anak-anak pemenang kontes itu. Cuma masalahnya, kata Indrawati, tidak sesederhana yang dibayangkan. Ia menyadari bahwa kontes Idola Cilik nyaris tidak menyertakan lagu anak. Anak-anak malah lebih senang dan fasih menyanyikan lagu-lagu ciptaan kelompok band seperti ST12, Drive, D'Masiv, atau Wali. Dan tahu, sudah banyak yang paham lagu-lagu mereka tak jauh-jauh dari kisah cinta-cintaan ala remaja.

"Kami sampai memesan khusus kepada para pencipta lagu untuk membuat lagu anak. Jadi bukan lagu-lagu yang di Idola Cilik itu yang direkam," tutur Indrawati, Selasa (29/12).

Pendeknya, Musica mengalami kesulitan menemukan pencipta lagu anak, dalam pengertian lagu-lagu yang benar-benar mendekatkan anak pada dunia mereka. Oleh sebab itu, pada album ketiga nanti, Indrawati sudah memesan lagu-lagu anak yang lebih ceria, meriah, ringan, renyah, dan sedapat mungkin memberi tuntunan moral. Idrawati tetap "keras kepala" merilis album anak lantaran ia melihat potensi pasar yang tidak kecil. Pada album Idola Cilik pertama dan kedua, Musica berhasil menjual lebih dari 50.000 keping CD dan kaset.

Nyaris sama

Masalah yang kurang lebih serupa dihadapi Sony Music Entertainment dan GNP. Sundari dari Departemen Promosi Sony Music memberi alasan mengapa mereka kini tidak lagi memproduksi album rekaman anak. "Pasar sedang tidak memihak lagu anak. Tren musik sekarang ke RBT (ring back tone). RBT jelas bukan pasar anak-anak," kata Sundari.

Di luar soal itu, tambah Sundari, memproduksi album lagu anak tidak semudah yang diduga. Lagu anak harus tetap memiliki sisi menghibur, mendidik, tetapi sekaligus komersial. Dan, "Sekarang materi lagu anak seperti itu sulit didapat," ujar Sundari.

Melihat kecenderungan ini agaknya masa bulan madu album lagu anak di Sony sudah pudar. Terakhir mereka mengecap rezeki manis saat merilis album Libur Telah Tiba dari Tasya tahun 2000 lalu. Album ini kemudian disusul Gembira Berkumpul (2001), Ketupat Lebaran (2002), Istana Pizza (2003), dan The Very Best of Tasya (2005). Semua album itu hanya berisikan suara menggemaskan dari penyanyi cilik populer waktu itu, Tasya.

Soal kesulitan memperoleh materi lagu anak juga dialami GNP. Itu sebabnya, sejak meledaknya album Si Komo tahun 1990-an, perusahaan rekaman ini "hanya" merilis album anak dengan memberi sentuhan segar pada lagu-lagu seperti "Balonku", "Burung Kakatua", atau "Desaku". Mereka bahkan berani memberi sentuhan jazz pada lagu-lagu ini sebagaimana terlihat pada album Jazz for Family.

Menurut Marketing Manager GNP Sufeni Susilo, pasar lagu anak-anak masih tetap ada. Ia menggambarkan satu album anak bisa terjual puluhan ribu kopi dalam setahun, tetapi lagi-lagi ia bilang, "Sekarang jarang ada pencipta lagu yang menawarkan lagu anak pada kami. Kalau ada, itu pun sering kali tidak bagus," tutur Sufeni.

"Edutainment"

Penata musik dan pencipta lagu Elfa Secioria mengaku geram menghadapi kondisi sekarang ini. Ia melihat keran distribusi lagu-lagu anak ditutup oleh industri hiburan seperti televisi. "Kami hanya bisa berjualan secara recehan di internet," ujar Elfa.

Menurutnya, televisi sekarang ini sama sekali tidak menyediakan slot untuk lagu anak. Lagu anak harus dimasukkan ke dalam slot lagu-lagu populer. "Terus terang saya geregetan dan prihatin dengan masalah ini," kata pemilik Elfa Music School ini.

Soalnya, kata Elfa, lagu anak dibuat bukan untuk menjadikan anak sebagai penyanyi, tetapi lebih untuk memberikan pelajaran moral dan budi pekerti kepada anak. Lebih jauh soal ini, pengamat pendidikan Arief Rachman mengungkapkan, lagu anak harus memiliki semangat edutainment, yakni mengandung spirit mendidik sekaligus menghibur.

Setidaknya, tambah Arief Rachman, ada lima hal yang harus terkandung dalam lagu anak. Pertama, menumbuhkan moralitas luhur, yang mengingatkan kita kepada Sang Pencipta. Kedua, penghormatan kepada orangtua dan guru. Ketiga, mengembangkan persahabatan dan kesetiakawanan.

"Keempat, berisi kepedulian pada lingkungan dan kelima, kekaguman pada alam semesta," tutur Arief.

Dan pesan-pesan itu terkandung dalam lagu-lagu zaman dulu, seperti "Bintang Kecil", "Pelangi", "Pergi ke Sekolah", dan "Naik Kereta Api". Itulah mengapa lagu anak memiliki peran strategis di dalam menumbuhkan keluhuran budi pekerti. "Lagu itu menjadi instrumen pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan terpuji pada anak," kata Arief.

Lagu-lagu yang dinyanyikan anak-anak sekarang, kata Arief, lebih banyak bersemangat ecotainment, lebih mementingkan ekonomi atau unsur-unsur hiburan semata. Kontes menyanyi di televisi hanya positif dari sisi penanaman nilai kompetisi pada anak. Tetapi anak-anak sekarang seolah dikarbit untuk menjadi penampil yang sama dengan orang dewasa. "Itu kan tidak klop dengan semangat mendidik," ujar Arief.

Menurut dia, jika kondisi ini terus-menerus terjadi, di mana anak-anak dieksploitasi untuk tujuan-tujuan ekonomi dan popularitas, akan lahir generasi yang rapuh dan miskin kesadaran akan Tuhan dan lingkungan. Bisa saja nanti, anak-anak tidak lagi bisa menghormati orangtua dan guru mereka sendiri.

Apakah mereka juga akan menjadi orang-orang yang bermartabat mulia? Itulah pertanyaan besarnya! (Budi Suwarna/Ilham Khoiri) -- http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/03/04291381/anak-anak.tanpa.lagu.anak

28 Desember 2009

MUI Minta Pemerintah Tegas Larang Siaran Gosip


Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan sikapnya terhadap tayangan-tayangan televisi dan infotainment yang mengandung gosip atau ghibah. "Kami sudah mengeluarkan fatwa haram itu sudah lama, namun ternyata pihak media-media terus melakukannya. Jelas dalam hal ini pemerintah harus tegas dan melarang," tutur KH Ma'ruf Amin, Ketua MUI dalam perbincangan dengan Republika di Jakarta, pekan lalu..

Tayangan-tayangan infotainment yang mengandung gosip, kata dia, senantiasa menyebarkan aib seseorang dan rumah tangga seseorang. Perbuatan seperti ini, dinilainya, sebagai ghibah dan haram hukumnya. "Namun apalah daya kami. MUI hanya sebatas mengeluarkan fatwa. Pemerintah yang dituntut mengambil peranan di sini. pemerintah harus tegas," kata dia.

Diakui Kiai Ma'ruf bahwa MUI juga sudah berulangkali melakukan pertemuan dengan sejumlah media televisi untuk menyampaikan sikap itu. Namun, menurut dia, ternyata imbauan MUI sama sekali tidak diperhatikan. Red/RG dari Republika -- http://www.kpi.go.id/?etats=detail&nid=1587 Senin, 28 Desember 2009

TV Nasional Belum Siap Siaran Berjaringan; Tidak Ada Sanksi bagi yang Belum Bisa Menyelenggarakan

Bandung, Kompas - Televisi nasional belum siap menyelenggarakan penyiaran sistem stasiun jaringan. Kendala utamanya adalah keterbatasan infrastruktur dan waktu yang terlalu singkat untuk mengurus badan hukum, mengingat peraturan menteri baru ditandatangani 19 Oktober 2009.

Demikian antara lain yang mengemuka dalam seminar dan lokakarya tentang sistem stasiun televisi berjaringan di Ghra Kompas Gramedia Bandung, Senin (28/12). "Pembuatan badan hukum memang tidak mungkin selesai dalam sebulan," kata Uni Lubis, mewakili Asosiasi TV Nasional.

Seminar membahas soal Peraturan Menteri Nomor 43/PER/M.KOMINFO/10/2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Melalui Sistem Stasiun Jaringan oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi. Sistem stasiun jaringan seharusnya mulai Desember 2007, tetapi ditunda hingga paling lambat Desember 2009

Menurut Uni, pengurusan izin badan hukum tersebut menjadi kendala tersendiri. Meskipun badan usaha lokal, harus diurus di Jakarta.

Infrastruktur belum siap

Untuk Jawa Barat, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat Dadang Rahmat menjelaskan, semua stasiun televisi sudah mempunyai badan hukum. Hanya saja mereka belum mempersiapkan infrastruktur sehingga meminta agar pemberlakuan sistem stasiun televisi berjaringan ditunda. Sebagian minta ditunda sampai Januari 2010 dan ada juga yang meminta ditunda sampai Februari 2010.

Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Amar Ahmad, menjelaskan, tidak ada sanksi khusus bagi pemilik stasiun televisi yang belum bisa menyelenggarakan sistem stasiun televisi berjaringan. Yang penting saat ini adalah adanya iktikad baik dari mereka untuk mematuhi Permen Nomor 43 Tahun 2009 tersebut.

Masalah lainnya, kata Uni, tidak mudah memecah atau mengalihkan aset perusahaan pertelevisian dari pusat ke daerah. Sebab, ini butuh persetujuan pemilik saham, baik pemilik saham mayoritas maupun publik.

Meski demikian, lanjutnya, beberapa televisi telah siap menjalankan Permen No 43/2009 tersebut. ANTV, misalnya, mulai 29 Desember 2009 menyiarkan topik pagi pukul 05.30-06.00 yang disiarkan secara lokal dengan muatan lokal di Bandung, Surabaya, dan Medan. "Ini sebagai langkah awal," kata Uni yang juga menjabat sebagai Pengelola Divisi Pemberitaan di ANTV.

Mewakili Asosiasi TV Lokal Indonesia (ATLI), Imawan Mashuri mengatakan, saat ini sudah ada 31 stasiun yang tergabung dengan ATLI dan ada 47 lagi yang belum tergabung karena masih belum memenuhi syarat. Syarat tersebut, antara lain, sudah bersiaran dan sudah mempunyai badan hukum. Dia berharap stasiun tersebut segera mengurus syarat-syarat tersebut sehingga bisa menjalankan sistem siaran televisi berjaringan. (MHF) - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/29/03280574/tv.nasional.belum.siap.siaran.berjaringan

Membongkar Gurita Cikeas, Bantah Terima Dana Century, Pimred Jurnas Tuding George Cari Sensasi

Fitraya Ramadhanny - detikNews



Jakarta - Buku 'Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century' mengungkap adanya aliran dana Bank Century ke harian Jurnal Nasional lewat group Sampoerna. Pemimpin Redaksi (Pimred) Jurnal Nasional Ramadhan Pohan membantah dan menilai sang penulis, George Junus Aditjondro, mencari sensasi belaka.

"Tidak ada satu rupiah pun dana talangan Bank Century yang masuk ke Jurnas. George hanya cari sensasi," kata Ramadhan kepada detikcom, Senin (28/12/2009).

Menurut Ramadhan, George sama sekali tidak melakukan konfirmasi kepada Jurnas soal tudingan yang dilancarkannya. Bahkan, tambah Ramadhan, tidak ada komunikasi apapun dari George terhadap nama-nama dari pihak Jurnas yang disebut di dalam buku bersampul gambar gurita itu.

"Dulu dia kritis dan percaya metodologi, sekarang dia langsung kutip yang penting cocok dengan pikiran dia," imbuh anggota Komisi I DPR ini.

Ramadhan tidak menyalahkan George yang menggunakan data sekunder dari surat kabar. Namun dia mempermasalahkan bagaimana George mengolah data yang ada. "Kalau dirangkai menjadi sesuatu yang tidak berhubungan, itu permasalahannya," kata dia.

Ramadhan tidak ingin menjawab soal Group Sampoerna yang menjadi penyandang dana Jurnas. Menurut dia yang harus diluruskan adalah tudingan dana Bank Century yang disebutkan George dan merugikan imej Ramadhan dan kawan-kawan.

"Sudah banyak respons dari Partai Demokrat, LKBN Antara dan ini juga cara saya merespons. Banyak dorongan teman-teman ke arah tuntutan hukum, tapi itu masih wacana. Yang jelas saya tidak mau pakai UU ITE buat George," kata Ramadhan.

George dalam bukunya menyebutkan group Sampoerna adalah nasabah terbesar di Bank Century. Dari Sampoerna, ada dana Rp 90 miliar yang disuntikan untuk harian Jurnal Nasional yang kemudian menjadi corong politik Presiden SBY. (fay/iy) - http://www.detiknews.com/read/2009/12/28/135801/1266975/10/bantah-terima-dana-century-pimred-jurnas-tuding-george-cari-sensasi

27 Desember 2009

Presiden Serukan Tolak Fitnah dan Berita Bohong


KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan sambutan dalam acara Perayaan Natal Bersama Tingkat Nasional 2009 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (27/12) malam. Perayaan Natal tahun ini mengambil tema Tuhan Itu Baik kepada Semua Orang.

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan agar bangsa Indonesia menjauhkan sikap dan perilaku yang bertentangan dengan ajaran universal agama-agama yang pada hakikatnya menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kebertanggungjawaban.

"Bersama-sama mari kita serukan penolakan terhadap fitnah, berita-berita bohong, dan perilaku kasar yang melampaui kepatutan," ujar Presiden Yudhoyono dalam pidato pada Perayaan Natal Bersama Tingkat Nasional di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (27/12).

Hadir dalam acara itu antara lain Ny Ani Yudhoyono, Wakil Presiden dan Nyonya Herawati Boediono, para menteri kabinet, pejabat tinggi pemerintah dan negara, serta para pemimpin Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Sebelumnya, Presiden menyebutkan sejumlah fenomena sosial dan politik yang muncul akhir-akhir ini, antara lain tabiat dan perilaku baru yang didasarkan pada fitnah, berita-berita bohong dan tidak berdasarkan fakta dan kebenaran.

"Di sejumlah tempat di Tanah Air juga muncul perilaku kasar dan bernuansa kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah elemen masyarakat dalam mengekspresikan hak dan kebebasannya. Apa yang saya prihatinkan adalah semua tabiat itu telah melampaui batas kepatutan yang tidak dapat diterima dasar-dasar moral, etika, dan budi pekerti yang semuanya menjadi ajaran utama semua agama.

Menurut Presiden, apabila hal negatif itu terus berkembang, kehidupan masyarakat jadi tidak tenteram, bangsa penuh konflik dan kegaduhan.

Presiden juga menyatakan, Indonesia patut bersyukur karena seperti tahun-tahun sebelumnya perayaan Natal tahun ini berlangsung tenang, tenteram, dan damai. "Jelas suasana ini hasil kerja keras kita bersama selama ini. Ini harus dapat kita pertahankan dan kita tingkatkan. Ke depan kegiatan dan perayaan agama apa pun harus berlangsung dalam suasana seperti ini," ujar Presiden.

Presiden juga menyampaikan terima kasih kepada mereka yang semakin peduli pada kelestarian lingkungan, mencegah berlangsungnya pemanasan global dan perubahan iklim.

Ia menekankan, krisis lingkungan ini sesungguhnya menjadi krisis global yang paling mencemaskan. Ia menghargai gerakan penanaman dan pemeliharaan pohon, efisiensi penggunaan bahan bakar dan energi, pengelolaan limbah, dan penyelamatan hutan dan air.

Presiden menyerukan pula agar setiap tahun Indonesia bisa menanam 1 miliar pohon. (DAY) - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/28/02452760/presiden.serukan.tolak.fitnah.dan.berita.bohong.

Ketua PBNU: Hukum Infotainment Dinilai dari Konten

Aprizal Rahmatullah - detikNews

Jakarta - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengatakan, haram atau tidaknya hukum tayangan infotainment ditentukan isi atau kontennya. Munas Alim Ulama NU di Surabaya, Juli 2006 lalu mengharamkan infotainment yang isinya berupa gosip, fitnah dan rumor.

"Infotainment sebagai kerangka program acara dinilai menurut isinya, karena yang bisa dihukumi adalah isi atau content-nya. Kalau isinya gosip, adu domba, mengaduk-aduk ketentraman privasi keluarga, pasti dilarang agama," kata hasyim dalam rilis yang diterima detikcom, Minggu (27/12/2009).

Menurut Hasyim, ulama NU tidak mempermasalahkan tayangan infotainment yang positif dan mendidik. "Sungguh indah kalau infotainment berisi pendidikan keluarga sakinah, pendidikan prestisius dan sebagainya," ungkap mantan Ketua PWNU Jatim ini.

Sayangnya, lanjut Hasyim, tayangan infotainment saat ini lebih mementingkan bisnis ketimbang aspek pembangunan moral bangsa. "Saat ini masih banyak menganut 'bisnis info' semata, sehingga 'the bad news is the good news', belum merupakan media enlightment (pencerahan) menuju pembangunan karakter," terangnya.

Lebih lanjut, Hasyim mengatakan, tayangan infotainment sekarang ini lebih dikendalikan kekuatan uang. "Karena sekarang ini tidak ada yang bisa mengendalikannya kecuali uang/modal dan tampak tidak bersangkut paut dengan national building," ujarnya.

Hasyim menjelaskan, kebebasan yang dianut infotainment saat ini belum ada standarisasi keseimbangan antara hak dan tanggung jawab. "Sehingga susah dibedakan antara demokracy dengan democrazy, dan pendapat pun mengikuti pendapatan," imbuhnya.

Karena dampak negatif media dan tayangan yang tidak mendidik sangat besar terhadap prilaku masyarakat, PBNU akan membawa masalah tersebut ke Muktamar NU ke 32 di Makassar, 22-27 Maret 2010 mendatang. Ia menambahkan, sebelum membahas infotaiment gosip di Muktamar, PBNU akan menggelar pertemuan yang melibatkan para ulama, pimpinan ormas-ormas Islam, tokoh lintas agama, praktisi pendidikan, cendekiawan dan budayawan, di Jakarta.

"Akan diadakan orientasi bersama ulama-ulama terkemuka, ormas Islam, serta pandangan lintas agama, beserta para cendekiawan, pendidik, budayawan dan instansi terkait. Harus ada kekuatan moral yang meluruskan arah pembentukan opini publik," pungkasnya.
(ape/ape)-- http://www.detiknews.com/read/2009/12/27/225825/1266587/10/ketua-pbnu-hukum-infotainment-dinilai-dari-konten

Baca juga :