08 November 2008

Radio, Sekali di Udara, Tetap di Udara

Beri Apa Mau Pendengar
KOMPAS/AGUS SUSANTO / Kompas Images
Chandra Dewayanti, penyiar Gen FM
Minggu, 9 November 2008 | 03:00 WIB

Susi Ivvaty

Suatu saat, Radio Kayu Manis, Jakarta, merekrut penyiar muda untuk regenerasi dan memperluas pasar pendengar. Didapatlah beberapa orang, tetapi belum sampai tiga bulan mereka sudah "kabur". Alasannya simpel, tidak betah bergaul dengan penyiar lain yang berusia di atas 40 tahun. Sebaliknya, karyawan berusia di atas 60 tahun—sambil nangis-nangis—tidak mau dipensiunkan.

Radio Kayu Manis (RKM) FM yang mengudara di frekuensi 97,9 MHz bermaksud memperluas segmen pendengar yang selama ini ada, usia di atas 35 tahun. Dibikinlah acara Gebrak Band Pemula. Penyiar muda dirasa lebih cocok untuk memandu acara ini. Namun, karena tidak ada penyiar baru, Bung Tan (66) pun turun tangan.

Pada akhirnya, andalan RKM tidak jauh beringsut dari acara seperti Pentas Keroncong, Sandiwara Jawa, Sunda, Minang, Gending Jawa, dan Tembang Kenangan. "Kami memiliki pendengar setia untuk ini. Ada komunitasnya lagi," kata Direktur Utama (Dirut) RKM Tuning Saroso.

Kenyataan itu berkebalikan dengan Radio Gen, misalnya, yang usia karyawannya antara 25 hingga 30-an tahun. Direktur Utama Gen Adrian Syarkawi berusia 38 tahun. Pasar pendengar yang dibidik Gen (98,7 MHz) yang mulanya berusia 18-35 tahun juga terseleksi menjadi usia antara 20 hingga 24 tahun—usia anak kuliah dan pekerja pemula.

Dari sini bisa dilihat, betapa radio saat ini makin tersegmentasi, membatasi usia pendengar dengan membatasi program. Bayangkan jika 1.300 radio di seluruh Indonesia (sekitar 800 yang resmi) menyajikan program yang sama untuk segala usia. Sangat sulit menggaet pendengar setia.

Tak heran jika radio makin mempersempit diri. I-Radio atau Indonesia Radio hanya memutar lagu-lagu dari penyanyi Indonesia. Lalu ada Female Radio yang dari namanya sudah ketahuan segmen mana yang dibidik.

Prambors, yang dulu selalu memutar lagu-lagu top 40, kini memutar haluan, yaitu memutar lagu-lagu grup indie. "Sejak dua tahun lalu, kami memiliki acara Thursday Riot. Ini siaran musik indie secara live dari genre britpop hingga emo," tutur Program Director Prambors Niken Puspitawangi.

Ramako kini berganti nama menjadi Lite FM dengan semboyan the best slow hits station. Bagaimana dengan Elshinta, Suara Metro, hingga RRI? Atau bagaimana dengan radio dangdut semacam Bens, DangdutTPI, dan Megaswara? Tiga radio dangdut itu menempati rating pertama, kedua, dan keempat berdasarkan survei AGM Nielsen terhadap radio-radio di Jakarta. Dangdut di Bens berbeda dengan dangdut di Megaswara. Betapa margin segmen pendengar mereka menjadi makin tipis.

Memberi mau pendengar

Semua radio pasti ingin memuaskan pendengarnya, memberi apa mau pendengar. Gen adalah salah satu yang dengan kesadaran penuh melakukan itu. Alhasil, baru didirikan 9 Agustus 2007 dengan membeli frekuensi Radio Attahiriyah, Gen sudah nangkring di rating satu (radio non-dangdut) berdasarkan survei AGB Nielsen untuk radio di Jakarta. Pendengar Gen mencapai 2,75 juta orang.

"Kami memberi yang sama dari pagi sampai malam, musik dengan human touch. Penyiar tidak banyak omong, hampir tidak ada acara talk show. Orang pencet Gen jam berapa pun, dia akan mendapat sesuatu yang sama," kata Adrian. Hal ini klop dengan semboyan Gen, yakni suara musik terkini.

Iklan pun disesuaikan dengan segmen pendengar. Jika iklan tidak bakal disukai pendengar, Gen tidak segan-segan menolak tawaran iklan. "Daripada pendengar kabur," ujar Adrian.

Berkebalikan dengan Gen, Elshinta yang siaran di 90,0 MHz justru tidak sekalipun memutar lagu selama 24 jam siaran. Radio ini menjadi satu-satunya stasiun yang khusus memberi berita dan informasi. Meski sangat membosankan, strategi ini justru membuat radio dengan tagline news and talk ini bertahan di tengah ketatnya persaingan di bisnis siaran radio. Elshinta berada di rating empat (non-dangdut) atau meraup pendengar 2,09 juta orang.

Pemimpin Redaksi Radio Elshinta Iwan Haryono mengungkapkan, pemasang iklan rela antre untuk mendapat jatah slot siar. "Antreannya sampai 3-6 bulan. Ada yang pasang slot iklan untuk lima tahun sekaligus," katanya.

Informasi dari Elshinta juga menjadi salah satu acuan buat warga, pejabat, polisi, dan wartawan media lain. Tidak sekali dua kali kantor berita asing melansir informasi dari radio yang berdiri tahun 1968 ini.

Padahal, sampai tahun 1990-an Iwan masih bingung mengembangkan radio yang waktu itu masih radio spesialis musik jazz. Momen kerusuhan Mei 1998 menjadi awal mula radio ini mengarah ke radio berita, hingga akhirnya diresmikan tahun 2000.

Merombak RRI

Jangan bayangkan Radio Republik Indonesia (RRI) saat ini sama seperti RRI zadul alias zaman dulu, radio negara yang didirikan 11 September 1945 itu. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, RRI adalah lembaga penyiaran publik, satu badan hukum yang didirikan negara untuk kepentingan publik. "Kami bukan corong pemerintah," kata Dirut RRI Parni Hadi yang memimpin RRI sejak tiga tahun lalu.

Parni menggambarkan dirinya sebagai penjaga kebun binatang yang membuka kandang unta agar sang unta bisa bebas lepas, tidak terkurung dalam kehebatannya sendiri. RRI hebat, tetapi selama ini terpenjara sehingga sumber dayanya tidak berkembang.

Program terkini RRI adalah membangun pemancar radio di daerah perbatasan, misalnya di Atambua, Entikong, dan Merauke. RRI masih didengarkan khususnya di daerah. Berdasarkan survei, kata Parni, 85 persen warga di Ende, Nusa Tenggara Timur, mendengarkan RRI. Di Bangka-Belitung, 90 persen warganya mendengarkan RRI.

"Soal jaringan, kami tidak bisa dilawan. Kami memiliki 60 stasiun di Indonesia. Reporternya tersebar di tiap kabupaten bahkan kecamatan," ujar Parni.

Direktur Program dan Produksi RRI Niken Widiastuti mengatakan, RRI memasok kebutuhan pendengar. Maka, lantas ada Programa 1-4. Untuk penggemar menengah-bawah, terutama di daerah, Programa 1 paling disenangi. Yang suka musik dan gaya hidup, putarlah Programa 2. Yang gemar mendengarkan berita, pencet Programa 3.

Maka, seiring pasar yang menyempit, pendengar pun makin fanatik. Sedikit saja radio kesayangan melenceng dari jalur, kritik berdatangan. RKM, misalnya, pernah mendapat protes bertubi-tubi gara-gara menyiarkan iklan obat kuat. Wah, itu memang menyimpang dari semboyan RKM: lembut suaranya manis bisikannya.... (Dahono Fitrianto/ Budi Suwarna)


Selama Masih Kuat
Minggu, 9 November 2008 | 01:47 WIB

Radio memang sudah menjadi jalan hidup Yu Beruk (56), yang bernama asli Sumisih Yuningsih. Dua puluh tiga tahun sudah ia siaran di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta, dan saat ini sebenarnya ia sudah harus menikmati masa pensiun. Sejak Januari 2008, Yu Beruk resmi menyandang status "pensiunan yang masih siaran".

RRI Yogyarakarta belum menemukan pengganti Yu Beruk untuk memandu siaran pedesaan, sandiwara Jawa, ketoprak, dan dagelan Mataram. "Kalau yang seperti saya ya susah, mungkin karena harus mulai dari nol. Kebetulan saya juga masih senang kok, cuap-cuap di depan mikrofon," ujarnya.

Hanya saja, tugas Yu Beruk sebetulnya tidak sekadar cuap- cuap. Ia harus pula mencari tambahan tenaga untuk siaran ketoprak dan dagelan Mataram lantaran sudah banyak pemain yang pensiun. Untuk acara ketoprak dan dagelan Mataram, ia harus bekerja dalam tim, yang jumlahnya 40 orang.

"Nah, orangnya mreteli, satu per satu pensiun, juga ada yang meninggal. Sekarang tinggal tujuh orang. Kalau mau siaran, saya terpaksa manggil teman yang sudah pensiun itu," kata Yu Beruk.

Yu Beruk bergabung dengan RRI Yogyakarta pada tahun 1985 dengan ijazah SMP. Saat itu, RRI membutuhkan tenaga ahli, dan setelah serangkaian tes, Yu Beruk diterima. "Ijazah SMP saja bisa jadi tenaga ahli," kata Yu Beruk seraya tertawa.

Menjadi tenaga ahli di RRI tidak terlepas dari latar belakang Yu Beruk sebagai pemain ketoprak tobong (ketoprak keliling) yang sudah melanglang buana ke seantero Jawa. Ketika masuk RRI, mudah bagi Yu Beruk memandu program ketoprak dan dagelan Mataram.

Bertahun-tahun, Yu Beruk lekat dengan siaran bahasa Jawa- nya, juga lawakannya di radio. Pernah suatu saat ada penggemar datang ke RRI, tetapi begitu melihat Yu Beruk lantas tidak jadi ketemu. "Kaget karena ternyata saya tidak seperti dibayangkan ha-ha-ha," katanya.

Di masa pensiun ini, ia belum mau berhenti meski delapan anaknya sudah hidup mapan dan ia sudah diberi 16 cucu. "Saya ini orang seni, selama masih hidup, selalu siap tampil kapan pun," katanya.

Perasaan serupa dirasakan Bung Tan (66), yang inginnya terus bekerja di radio meski sudah pensiun. Penyiar dengan nama asli Machfudz Wartaham ini sudah 28 tahun siaran di Radio Kayu Manis (RKM), Jakarta, tetapi enggan lengser meski sebenarnya sudah tak digaji selayaknya karyawan yang masih aktif.

"Kalau tidak siaran, saya bingung mau apa. Saya tidak mau di-PHK," kata ayah tiga putri dan enam cucu yang sebelum bergabung di RKM pernah menjadi penyiar di Radio Irama Indah pada tahun 1970-an. (IVV)


Sekali di Udara, Tetap di Udara
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Kesibukan di Master Control Room RRI Jakarta
Minggu, 9 November 2008 | 03:00 WIB

DAHONO FITRIANTO

Judul di atas secara resmi adalah semboyan milik Radio Republik Indonesia. Namun, kalimat itu secara tepat menggambarkan secara umum dunia penyiaran radio di Tanah Air atau bahkan di seluruh dunia.

Zaman boleh berganti, teknologi baru bermunculan, dan gaya hidup orang pun telah berubah mengikuti segala sesuatu yang baru itu. Namun, ada satu teknologi lawas yang masih dibutuhkan dan digemari orang hingga abad ke-21 ini, yakni radio.

Sejak stasiun penyiaran radio mulai didirikan di Inggris dan Amerika Serikat pada periode awal 1920-an, radio telah menjadi sumber informasi dan hiburan publik yang paling cepat dan luas jangkauan penyebarannya. Seiring dengan penemuan radio transistor pada 1950-an, yang membuat pesawat penerima siaran radio menjadi berukuran kecil dan ringan, siaran radio pun makin mudah dan murah untuk diakses.

Namun, paruh kedua abad ke-20 menunjukkan kemajuan teknologi yang sedemikian pesat. Kaset, cakram padat atau compact disc, hingga file berformat MP3 dengan alat pemutarnya masing-masing, mulai menggantikan fungsi hiburan radio. Sementara kehadiran televisi, internet, dan SMS pelan-pelan menggusur fungsi informasi radio.

Matikah radio dengan kehadiran teknologi baru itu? Seperti yang kita ketahui bersama hingga detik ini, jawabannya tidak!

Masih dibutuhkan

Lihat saja ke dalam mobil dan perhatikan perangkat hiburan yang terpasang di dalamnya. Pemutar kaset sudah makin jarang ditemui pada perangkat "tape" mobil terbaru dan diganti dengan pemutar CD, CD berisi file MP3, atau bahkan soket USB untuk menancapkan perangkat memori flash disk berisi berbagai format file audio.

Namun, hingga produk "tape" mobil yang paling baru sekali pun sampai saat ini masih memasukkan fungsi penerima radio untuk kanal AM dan FM. Sistem penerima radio FM pun menjadi fitur standar dalam sebagian besar pesawat telepon seluler yang paling mutakhir.

Di negara-negara maju seperti AS atau Eropa sekalipun, orang masih mendengarkan radio di mobil, kantor, rumah, bahkan sebuah hotel bintang empat di Los Angeles pun masih menyediakan perangkat radio di dalam kamarnya.

Di Jakarta, jatah frekuensi untuk siaran radio komersial di kanal FM telah terisi penuh dan masih banyak yang antre. Artinya, bisnis siaran radio masih menjanjikan. "Jangkauan kanal FM untuk siaran radio komersial ada di antara frekuensi 88,0-107,7 MHz, dan menurut peraturan pemerintah, jangkauan itu maksimal hanya boleh diisi 70 pemancar di satu wilayah," kata Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Shidki Wahab di Jakarta, Jumat (7/11).

Senior Marketing Manager Sony-BMG Music Indonesia Kunto Handoyo menyebutkan, radio masih menjadi media paling penting dalam memasarkan musik kepada khalayak luas. "Meski sudah ada internet, i-Pod, atau MP3 player, kami masih percaya sebuah lagu baru pertama kali dikenal luas masyarakat melalui radio," ujar Kunto.

Senada dengan Kunto, produser musik independen dan Direktur NuBuzz Music Daniel Tumiwa menyebut radio tetap menjadi media nomor satu untuk urusan penyebarluasan musik. "Radio justru akan menjadi media yang paling lama bertahan meski ada media-media baru. Hanya formatnya saja yang nanti akan berubah," ujar Daniel, yang sukses mengorbitkan kelompok Sind3ntosca setelah lagu hitnya, Kepompong, diterima luas di kalangan pendengar radio.

Personal

Apa yang membuat orang begitu setia pada radio? Praktisi dan pengamat dunia radio, Sys NS, mengungkapkan, sifat unik radio yang tak dimiliki media lain adalah unsur kejutan. "Radio adalah surprise media karena pendengar tak akan pernah tahu lagu atau berita apa yang akan muncul selanjutnya. Sementara dengan kaset, CD, atau i-Pod, kita sudah hafal isinya sehingga tak ada unsur surprise dan lama-lama membosankan," papar pria yang telah berkecimpung di dunia siaran radio sejak tahun 1969 ini.

Sifat fleksibel dan interaksi yang dimungkinkan melalui radio juga bisa menciptakan kedekatan yang sangat personal. Hubungan antara penyiar yang memutarkan lagu permintaan pendengar atau membahas sebuah topik diskusi bisa terjalin akrab di zona nyaman masing-masing. "Radio menciptakan hubungan yang menuntut sekaligus memicu imajinasi," imbuh Sys.

Hubungan personal tersebut pada gilirannya membentuk loyalitas. Imajinasi dan loyalitas inilah yang tak ditemukan pada media seperti televisi. Di televisi, pemirsa tidak diberi kesempatan berimajinasi karena semua sudah tersaji lengkap secara audio visual. "Di televisi, orang lebih loyal pada program acaranya, bukan pada stasiun TV-nya. Program Empat Mata, misalnya, diputar di stasiun mana pun akan tetap dicari orang. Sementara di radio, yang dibangun adalah loyalitas pendengar," kata Direktur Utama Stasiun Radio GenFM Adrian Syarkawi.

Radio memang tak pernah mati. (SUSI IVVATY)


NOSTALGIA
Salam Darimu, Menempel di Hati...
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Suasana di Radio Elshinta, Jakarta
Minggu, 9 November 2008 | 03:00 WIB

Dari dulu sampai sekarang, radio menjadi sarana efektif untuk mengirimkan salam mesra, salam rindu, dan segala bentuk salam lain. Jauh sebelum ada teknologi SMS untuk berkirim salam seperti saat ini, pendengar radio mengirim salam lewat kartu yang disebut kartu pilihan pendengar alias pilpen.

Pada kartu itu terdapat kolom nama pengirim, alamat pengirim, nama terkirim, judul lagu yang diminta, serta ucapan yang seru-seru tadi.

Pada periode ketika radio swasta mulai mengudara di negeri ini, yakni akhir 1960-an hingga 1970-an, kartu pilpen itu harus dibeli di studio radio yang bersangkutan atau agen-agen penjualan yang ditunjuk. "Zaman dulu, kirim salam lewat radio saja harus bayar," ujar Sys NS, yang turut mendirikan Radio Prambors di Jakarta tahun 1969.

"Lewat radio, orang bisa naksir cewek. Ada juga yang merayu pacar dengan salam mesra tadi," kata IG Hananta Sumarna (60-an), Direktur Usaha Radio PTPN FM 99.60, Solo, Jawa Tengah. Kartu yang sudah diisi ucapan salam kemudian dikirimkan ke studio. Di PTPN, kartu dibacakan bersama puluhan kartu lain pada acara Aneka Lagu buat Anda.

Agak berbeda dengan PTPN, pencinta Radio Sonora di Jakarta hingga era 1980-an harus mengirim permintaan lagunya lewat pos dengan menggunakan kartu pos. Tentu perjalanan sang kartu hingga ke meja siar memakan waktu berhari-hari. "Satu orang saja bisa mengirim segepok kartu. Kartu yang belum dibaca bisa sampai sekardus televisi. Kami sampai menempatkan petugas khusus untuk mencatat kartu yang masuk," kata Jane, salah satu penyiar senior yang bergabung dengan Sonora sejak 1983.

Romantisisme

Pengirim ada yang menggunakan nama samaran yang seram-seram. Tersebutlah misalnya Pemuda Sengsara di Lembah Derita, Dara Merana di Lembah Nestapa, Pemuda Lereng Gunung, atau Mutiara Terpendam di Negeri Jauh. Maklum saja, pada era itu romantisisme komik silat dari Ganes Th seperti Si Buta dari Goa Hantu atau Hans Jaladara dengan Panji Tengkorak-nya cukup berpengaruh.

Budaya gaul ala radio itu sampai diabadikan dalam lagu Ernie Djohan berjudul "Salam Tempel", yang liriknya bercerita tentang radio amatir yang menjadi tempat menyampaikan rasa cinta kepada sang pacar. Setidaknya itu disebut dalam lirik lagu tersebut, "Salam tempel darimu, menempel di hati...."

Menurut Hananta, karena kartu pilpen itu harus diantarkan langsung ke studio, radio di era itu menjadi pangkalan pergaulan kaum muda. Kaum muda berkelompok membentuk sanggar-sanggar yang muara kegiatannya berada di studio radio. "Kalau sore mereka datang ke studio untuk kongko-kongko," katanya.

Dalam suasana akrab itu, pencinta radio dan penyiar saling mengenal secara pribadi. Hananta mengenang bagaimana sesama pendengar itu saling mengenal, saling berpacaran, dan ada pula yang berjodoh lewat radio. "Saya sendiri juga ketemu istri di radio," ungkapnya. (FRANS SARTONO)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/09/01432823/salam.darimu.menempel.di.hati...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar