Pengamat film yang juga pengajar Jurusan Komunikasi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Budi Irawanto, mengemukakan, Laskar Pelangi seakan "membuka" cakrawala masyarakat dan insan perfilman bahwa ada potensi cerita dan tempat yang belum tergali.
"Selama ini, film-film nasional kental berkiblat ke Jakarta. Kemewahan, sisi-sisi kota besar, dan gaya hidup modern masih mewarnai di hampir semua film, termasuk film horor dan bermuatan keagamaan. Masyarakat menjadi jenuh," ujar Budi, Rabu (15/10).
Di tengah kejenuhan tersebut, muncul Laskar Pelangi garapan Riri Riza dan Mira Lesmana yang menawarkan tema bermuatan pendidikan yang dikonsep sederhana. Alur ceritanya simpel dan aktivitas sehari-hari anak-anak diangkat secara apik. Diceritakan pula tentang sekolah dan guru.
Yang menjadikan film ini indah ialah penggambaran alam tempat film dibuat, yakni Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Hal seperti ini jarang disentuh film nasional sehingga masyarakat tidak tahu. Padahal, alam adalah bahan baku melimpah di Indonesia.
Film-film Indonesia, apalagi sinetron, lanjut Budi, masih terkesan mengeksplorasi kemiskinan sebagai hal yang diratapi. Nuansa pesimistisnya sangat kental. Di film Laskar Pelangi, nuansa pesimistis dihilangkan. Ini sesuatu yang mendidik.
"Laskar Pelangi berangkat dari novel laris. Kalau dihubungkan bahwa di Indonesia banyak novel yang laris, mengapa insan perfilman Tanah Air tidak melakukan hal serupa? Tinggal diberi sentuhan-sentuhan untuk memperkaya," ucap Budi.
Di Yogyakarta, film yang diputar perdana 25 September lalu di Studio 21 Ambarrukmo Plaza tersebut masih laris. Dalam sehari terdapat sekitar 1.500 penonton film tersebut. Tiket selalu laris, bahkan harus dibeli sehari sebelumnya agar kebagian tempat.
"Kami menggunakan satu gedung untuk pemutaran Laskar Pelangi. Melihat respons penonton, tampaknya film tersebut bisa kami putar selama dua bulan. Kalau itu terjadi, akan menjadi pemutaran film yang terlama. Film ini menawarkan hal baru bagi masyarakat," ujar Manajer Studio 21 Ambarrukmo Plaza, Ilham. (PRA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar