01 Februari 2008

LENGSER PRESENTER ALA TITIEK SOEHARTO

Oleh Teguh Imawan


Setelah diprotes pemirsa dan dipersoalkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), presenter Titiek Soeharto pun lengser layar setelah dua kali tampil menjadi presenter Piala Dunia. Mengapa?
Sebagai cabang olahraga, sepak bola lebih merupakan aliran bola dari kaki ke kaki. Sebagai sebuah merek, sepak bola piala dunia memang jauh meraksasa ketimbang piala Jarum di Indonesia. Apalagi secara citra, semua penduduk di planet bumi ini niscaya mengamini bila sepakbola sebagai tontonan positif yang menjadi simbol kemuliaan dan kejayaan negara.
Tak terbantahkan, sepak bola merupakan cabang yang begitu populer di muka bumi. Dilaporkan, minimal 1,5 miliar pasang mata menonton piala dunia. Melihat potensi pemirsa yang luar biasa itulah FIFA menetapkan tarif harga iklan televisi sebesar Rp 15 miliar rupiah per tayang dengan durasi 30 detik kepada para pihak sponsor. Dengan demikian, barangsiapa yang hendak meraih popularitas maka ajang piala dunia dapat dijadikan sarana terampuh.

Presenter
Televisi menjadi sarana terhebat dalam memdemamkan penghuni bumi melalui tayangan bola. Salah satu komponen tayangan itu adalah presenter atau pembawa acara. Dalam kelaziman dunia televisi, fungsi utama presenter adalah sekadar menyajikan isi acara. Produser secara penuh mengontrol apa yang boleh dan apa yang tak boleh dilakukan presenter dalam membawakan acara. Tidak ada ucapan, gerakan, maupun lagak yang lolos dari kendali produser. Produse mengatur semua dari belakang layar, dan presenter sebagai pihak teratur yang tampil di layar.
Bila presenter tak hanya terpaku oleh asupan (feeding) produser acara, tapi ia mampu berkreasi, improvisasi, dan memodifikasi isi acara sehingga lebih bisa mencapai tujuan, maka ia disebut anchor. Dalam situasi dan kondisi tertentu, anchor dapat mengganti topik isi acara dengan pertimbangan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Popularitas presenter maupun anchor tidak bisa dicetak dalam tempo singkat dan instant alias dadakan. Ketekunan dan kesungguhan mengembangkan acara menjadi kunci meraih sukses presenter, seperti Larry King, Oprah Winfrey, Wimar Witoelar, Ira Koesno, Farhan, atau Indy Barents.
Secara kategoris, ada acara yang tenar karena kapasitas dan reputasi presenternya. Acara disenangi pemirsa karena kualitas, kapasitas, reputasi, pengalaman dan wawasan sang presenter. Selain mahir tehnical skills, reputasi bagus presenter berupa konsistensi jejak rekam sikap yang akseleratif dengan tendensi orientasi publik pemirsanya.
Ada pula, isi acaralah yang menjadi pesona popularitas, bukan karena faktor presenter. Sebagai contoh, pemberitaan Liputan 6 SCTV diminati permirsa karena faktor isinya, sehingga memperoleh penghargaan. Demikian pula kemasan Indonesia Idol yang memikat membuat acara ini lebih kuat daya tarik muatannya daripada siapa presenternya.
Di pihak lain, pihak pemirsa menjadi juri yang adil dan beradab presenter dan isi tayangan televisi. Prinsip intrinsik penjurian pemirsa lebih berlandaskan pada nurani publik, sebuah orientasi sikap yang secara tak sadar memihak kepada kepentingan bersama, jujur, dan ‘rasional’. Berdasar raihan angka rating dan jumlah penonton dengan gampang dideteksi pasang-surut popularitas acara, sekaligus presenter.
Karena itulah, nurani publik sulit sekali untuk dibeli karena fondasinya menancap pada citra kredibilitas presenter. Popularitas presenter menjadi anjlok di mata pemirsa kalau presenter sendiri telah berkalung kepentingan politik, bisnis, budaya tertentu. Kita bisa menyaksikan merosotnya popularitas presenter acara begitu yang bersangkutan menduduki jabatan politik.
Kultur publik juga seolah masih belum bisa menerima perpindahan presenter ke stasiun televisi lain hanya karena alasan bisnis (gaji lebih besar). Di manta pemirsa, presenter seakan dituntut setia mengasuh acaranya.

Titiek Soeharto
Kalau kita kembali ke acara piala dunia, terasa sekali SCTV menanggalkan kualifikasi presenter/anchor tayangan saat memilih Titiek Soeharto menjadi presenter/anchor siaran langsung (match live) pertandingan. Bagaimana mungkin, pentas kelas dunia sepakbola dihantarkan presenter minim wawasan pertandingan bola dan teknis kepresenteran.
Padahal untuk menjadi presenter yang baik, ia harus menguasai masalah. Telah menjadi prinsip mendasar, bahwa presenter yang baik adalah sosok yang memahami acara yang dibawakan. Bila presenter sendiri tak paham seluk-beluk pertandingan, bagaimana mungkin ia bisa menggiring suasana dan emosionalitas pemirsa.
Tidaklah pantas memilih presenter yang membingungkan pemirsa. Presenter bingung karena ia tak tahu harus berbuat apa, ngomong apa. Dia tak bisa tahu apa yang harus dilakukan di depan kamera, karena ia memang tak memiliki pengetahuan, ketrampilan teknis dan praktis.
Setelah diprotes pemirsa dan dipersoalkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), presenter Titiek Soeharto pun lengser layar setelah dua kali tampil layar.
Rupanya, ungkapan “kau yang mulai, dan kau mengakhiri” mengalir dalam tubuh manajemen SCTV. Ungkapan tersebut mengandung maksud, siapa yang memulai aktivitas harus juga memungkasinya. Memori kolektif pemirsa televisi masih segar akan kejadian bagaimana manuver politik Amien Rais melalui MPR mendukung dan memilih Gus Dur menjadi presiden sekaligus melengserkannya.
Ingatan juga belum lupa total dari realita pemberitaan SCTV yang mendorong lengsernya Pak Harto ketika menghadirkan Sarwono Kusumaatmaja ke studio Liputan 6 Siang yang menyatakan perlunya Orde Baru mencabut gigi (menurunkan Pak Harto dari jabatan presiden).
Kini, setelah delapan tahun berlalu, SCTV tampak pula ingin menaikkan nama baik keluarga Cendana melalui Titiek Soeharto sebagai presenter acara yang kondang sejagat. SCTV yang “memulai” melengserkan Pak Harto dari segi pemberitaan televisi, kini mencoba “mengakhiri” dengan memulai babakan baru “menaikkan” citra keluarga Cendana. Problemnya, pemirsa televisi belum lupa benar. Dalam hal Cendana, tampak sekali ada arah yang berlawanan, elite politik dan bisnis cenderung lupa, tapi publik dan pemirsa televisi masih kuat mengingat aroma negatif keluarga Cendana.
Pada titik inilah Titiek Soeharto belum memiliki kekuatan simbolis (symbolic power), sebagai citra ibu gila bola di benak pemirsa. Dicoba lagi ajang Piala Dunia 2010, siapa tahu, semua kompak lupa terhadap noda politis keluarga Cendana.—


Koran Tempo, 15 Juni 2006 , halaman pendapat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar