01 Februari 2008

BANALNYA TAYANGAN INFOTAINMEN

Oleh Teguh Imawan

Belakangan ini, komunitas gosip dihebohkan oleh gambar mesum dua insan, yang secara ragawi mirip penyanyi-model iklan Mayangsari dan Bambang Trihatmodjo. Kehebohan mencuat karena kalau dalam fakta sebenarnya, Bambang Trihatmodjo, selain putra mantan Presiden Soeharto, juga lelaki yang beristri.Tentu, istri sahnya adalah Halimah, bukan Mayangsari. Kesimpulannya, berdasar interpretasi dan olah gambar -tidak atau belum jelas pembuatnya- ada perselingkuhan di dalamnya.
Disambar InfotainmenRealitas itu telah disambar oleh infotainmen. Salah satu infotainmen yang memberitakan heboh gambar tersebut adalah Cek & Ricek di RCTI. Melihat tayangan itu, pemirsa melontarkan keheranan. Apa maunya infotainmen?Pemirsa itu mungkin tidak paham akan alam pikiran produsen infotainmen. Pikirannya telah dibalut ideologi yang oleh Michael H. Wolf (The Entertainment Economy) disebut sebagai entertainmentization of the world (mendunia-hiburankan dunia).
Dalam logika ini, kehidupan kita saat ini sebetulnya sudah semata-mata berada dalam entertainment zone atau "zona hiburan". Ekonomi yang bergerak di situ juga "ekonomi hiburan", era perburuan pada hal-hal sepele, hal-hal kecil, atau remeh-temeh (banal).Tak heran bila ada kalangan yang kukuh memosisikan infotainmen -saudara sepupu entertainmen- sebagai tradisi jurnalisme gosip. Karena itulah, isi utama berpilar gosip serta berkutatan pada hal-hal yang dipandang remeh-temeh.


Artis Gerah
Tak pelak, semangat komodifikasi gosip dan menjual sensasi di layar kaca membuat sebagian narasumbernya yang melulu artis-selebriti gerah. Meski harus diakui jua, masih ada yang menunggang popularitas melalui tayangan yang digemari wanita yang ibu rumah tangga ini.Sarah Azhari adalah contoh selebriti yang merasa sering didiskriminasi oleh infotainmen.
Dalam dialog publik soal infotainmen, Sarah kesal karena konfirmasi yang diberikan hampir selalu berbeda begitu keluar di layar kaca.Sarah memang tak sebaik nasib pasangan Nia Zulkarnaen-Ari Sihasale. Dikabarkan oleh infotainmen bahwa mahligai rumah tangga pasangan idola ini di ambang perceraian. Pasangan artis ini melawan (somasi). Diakui Nia, langkahnya itu didasari keinginan memberikan pembelajaran kepada kru infotainmen (Tabloid Nyata, 11 November 2005).
Hasilnya, manjur! Infotainmen bersangkutan bertekuk lutut, mengiba, dan mengoreksi -produser hanya menyebut liputan kurang lengkap- tayangannya.Polemik artis yang merasa digerayangi urusan pribadi (privasi) dan menggeretnya ke zona hukum menggiring infotainmen memburu label "wartawan" sebagai modal bekerja dan diperlakukan sebagaimana wartawan umumnya.Untunglah, per 9 Februari 2005, organisasi wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) siap menampungnya.
Tapi, alih-alih mengoreksi dan meningkatkan kapasitas profesional dalam peliputan dan produksi, sebagian wartawan dan think tank infotainmen justru meracik siasat bagaimana membuat tayangan gosip tapi diterima sebagai fakta nyata oleh penonton. Senjatanya, selain mengada-ada, mengait-kaitkan narasi, juga mengoptimumkan efek visual dan musik tayangannya.Permainan kamera dengan close-up dari ujung kaki hingga rambut plus dibumbui musik populer dapat melenakan pemirsa terhadap inti persoalan yang diusung dengan modal gosip, kasak-kusuk, kabar burung, atau kabar miring.



Gelimang
UangCelakanya (atau berkah?), tindakan rekayasa visual dan politik tayangan infotainmen itu mendapatkan ruang lebar. Believe it or not!, setiap hari, 13 jam waktu sehari kita disita oleh tayangan infotainmen televisi swasta nasional saja. Sebab, dengan menayangkannya, pengelola televisi lebih bergelimang uang.
Kalkulasi kasar saja, ada stasiun televisi swasta nasional yang mampu menangguk uang Rp 1 (satu) miliar dari penayangan sebuah program infotainmen dalam sebulan (30 episode).Mudah ditebak lakon lanjutannya. Production house (Bintang Advis Media; Shandika Widya Cinema; Indigo; Ekomando; Lighs On, dsb) dan inhouse production division televisi (TransTV, GlobalTV, RCTI, ANTV) pun kian binal membiakkan infotainmen.
Data empat tahun terakhir saja, tahun 2002-Agustus 2005, telah diproduksi 209 nama program infotainmen.Ironisnya, nama program sangat beragam, tapi isinya nyaris seragam.Disadari atau tidak, dalam gairah memacu infotainmen itulah, mencuat tren betapa capaian angka rating tipe program televisi ini menurun.
Terlepas dari pemaknaan statistik itu, disebabkan oleh kian banyaknya infotainmen ataukah penonton bosan, patut dipertanyakan langkah ke depan orientasi infotainmen. Akankah fokus tayangan disorongkan ke area remeh-temeh (banal). Atau, produsen infotainmen berikhtiar terus berkreasi dan berinovasi mengangkat sisi pencerahan infotainmen.
Inilah pertaruhan mahal bagi infotainmen: sanggupkah mereka tak panen uang hasil jual sensasi? Perlu ayunan langkah menyegarkan untuk perilaku infotainmen berikut isi tayangan serta mencerdaskan pemirsa. Semoga memartabatkan layar kaca kita yang melibatkan banyak pihak ini berjalan mesra.
Bagaimanapun, urusan infotainmen bukan milik komunitas gosip belaka. Juga bukan milik orang mirip wajah Mayangsari atau Bambang Tri. Tapi menjadi hak kita bersama kita, selaku pemilik mayoritas spektrum media penyiaran.

Jawa Pos, Jumat, 18 Nov 2005, halaman opini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar