27 Maret 2010

Televisi, Rasa Melayu "Upin dan Ipin"



Budi Suwarna

Upin & Ipin, film animasi anak-anak produksi Malaysia itu, kian mendapat tempat di Indonesia. Indikasinya, antara lain, semakin banyak bocah di sini yang fasih menirukan kalimat khas tokoh Upin dan Ipin, "Betul... betul... betul..!".

Di Indonesia, Upin & Ipin ditayangkan TPI sejak tahun 2008. Awalnya, film produksi Les' Copaque—perusahaan animasi Malaysia—tayang sebagai program Ramadhan 2008. "Ternyata sambutan penonton sangat bagus sehingga TPI menayangkan kembali Upin & Ipin pada Ramadhan 2009," ujar Manager Humas TPI Theresia Ellasari, Kamis (25/3).

Selanjutnya, kata Ella, film animasi yang dibuat dengan pencitraan komputer (computer generated image) itu ditayangkan setiap hari mulai Senin hingga Minggu. Pertengahan Januari, Upin & Ipin memuncaki daftar 50 program terbaik seluruh stasiun televisi di Indonesia, menurut survei AGB Nielsen, sekaligus menerobos kepungan sinetron, reality show, dan variety show yang mendominasi televisi nasional.

Upin & Ipin yang diproduksi sejak tahun 2007 juga menjadi tontonan di televisi Turki.

Membumi

Upin & Ipin mengangkat kehidupan sehari-hari masyarakat Malaysia. Ceritanya sederhana, seperti bagaimana orangtua mengajarkan anak berpuasa. Ketika berbicara soal agama, narasi Upin & Ipin dalam hal agama justru jauh dari tendensi menggurui.

Ipin, misalnya, berkata, "Hah, tak boleh makan. Matilah kite."

Neneknya menjawab dengan lembut, "Tuhan sudah suruh (puasa) supaya kite bertakwa dan tahu macam ape rasanye orang kelaparan."

(Sekadar catatan, vokal e pada kite, ape, dan rasanye diucapkan dengan e pepet seperti e pada semak.)

Pembuatnya pun berhasil mengemas tema agama ini dalam bahasa anak-anak yang lugu. Upin dan Ipin yang tidak sabar untuk berbuka, misalnya, berfantasi ketika melihat gambar seekor ayam. Mereka membayangkan gambar ayam itu sebagai ayam goreng betulan yang lezat. Upin dan Ipin pun melayang-layang dikelilingi belasan "ayam goreng" itu hingga mereka tersadar.

Pendekatan film animasi itu memang kocak. Di sebuah episode yang ditayangkan pertengahan Maret, Upin dan Ipin serta kawan-kawannya diceritakan berburu harta karun. Ketika hendak memasuki sebuah goa, mereka dihadang raksasa bertubuh batu. Bukannya mengusir secara kasar Upin dan kawan-kawan, makhluk itu justru memberi tebak-tebakan.

Kelucuan juga muncul ketika Upin dan kawan-kawan disandera dan diikat kelompok suku terasing di sebuah hutan. Ketika pemimpin itu mendekati Upin dengan wajah marah, Upin berkata, "Kalau ratu marah, jadi tidak cantik."

Film animasi ini juga secara cerdas memotret pluralitas, kerukunan etnis di Malaysia, tanpa perlu berkhotbah tentang perlunya persatuan dan kesatuan nasional. Keberagaman itu ditampilkan dalam sosok teman-teman Upin dan Ipin yang berasal dari etnis selain Melayu, seperti Mei Mei dari keluarga berdarah China dan Ijat dari keluarga India.

Bahkan, Upin & Ipin juga pernah menampilkan sosok anak Indonesia—mungkin anak TKI—yang kebingungan karena uang rupiahnya ditolak ketika hendak membayar makanan yang dibeli di warung. Kemudian, dijelaskan bahwa mata uang Malaysia adalah ringgit, sedangkan Indonesia menggunakan rupiah.

Melayu

Lanskap kultural Upin & Ipin sangat jelas, yaitu sebuah negeri di tanah Melayu dengan segala persoalan anak Melayu dan disampaikan dengan sangat Melayu. Dalam konteks tontonan televisi di Indonesia, rasa membumi seperti si Upin itu bisa kita temukan dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan tayangan RCTI era 1990-an.

Kemampuan untuk membumikan sebuah cerita film maupun sinetron justru menjadi kelemahan utama kebanyakan tontonan di Indonesia. Banyak tontonan televisi kita tidak berpijak pada akar budaya dan problematika negeri bernama Indonesia.

 "Betul... betul... betul?"

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/28/04294415/rasa.melayu.upin.dan.ipin

Tidak ada komentar: