27 Maret 2010

Inggita Suksma Notosusanto, Manusia Pagi

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Keseharian Inggita agak "mengerikan". Di sela pekerjaannya di kantor sebagai Communications Manager GE Asia Tenggara, ia "keracunan" nge-twitt (istilah pelaku jejaring sosial Twitter). Bahkan, boleh dikata, ia salah satu selebriti di Twitter.

"Life is too short," ujar Inggita memberikan alasan. Ungkapan itulah yang mendorongnya untuk menggunakan waktu di masa hidupnya untuk berbuat sebanyak-banyaknya. "Saya selalu menjadi manusia pagi," tambah dia lagi. Boleh buktikan, kapan pun Anda memasuki jejaring Twitter, niscaya akan menemukan orang yang bernama @inggita.

Kebiasaan nge-twitt Inggita seperti tak kenal waktu. Kebiasaan itu tidak saja ia lakukan saat-saat makan bersama, tetapi juga sampai di belakang setir mobil. "Teman-teman cap saya autis," tutur Inggita. Tetapi ia punya alasan. "Saya ini terjangkit learning junkie, ketagihan belajar," katanya. Twitter, kata Inggita, telah memberinya kesempatan luar biasa untuk belajar banyak hal, termasuk hal-hal yang tidak dianggap penting, dalam waktu singkat.

"Makanya saya sulit berpisah, sampai di belakang setir pun saya lakukan," katanya. Twitter dan jaringan internet lain, bagi Inggita, memang memiliki dua muka: satu sisi memisahkan, sisi lain mempertemukan. Orang-orang Indonesia yang memiliki minat serupa di dunia maya, cerita Inggita, lalu menghimpun kekuatan dan sumber daya. "Kita bisa lihat hasilnya dalam berbagai peristiwa. Solidaritas gempa Sumatera Barat, Koin untuk Prita, dan menjadi pressure group bagi kebijakan pemerintah seperti kasus Cicak Vs Buaya," tutur perempuan penyuka kopi ini.

Teknologi internet, bagi Inggita, telah memberikan kesempatan dan kekuatan untuk bergotong royong dan menghasilkan sesuatu untuk kebaikan bersama. "Sangat mengharukan semua gerakan arus maya yang dahsyat itu terjadi di Indonesia. Belum tentu lho ini terjadi di luar negeri," kata Inggita.

Ia mengaku, dalam pola kerja jaringan seperti itulah aktivitas TEDx dijalankan. Inggita mengaku bertegur sapa, bertukar pikiran, dan akhirnya bersekutu untuk menghasilkan sesuatu. "Teman-teman saya temui di Twitter," ujar perempuan yang pernah menjadi reporter di Indonesia News Channel, BBC.

Tentu Inggita tak hanya menghabiskan malam-malamnya dengan asyik di dunia maya. Ia juga mengaku merancang segala aktivitasnya malam hari. Konsekuensinya, waktu untuk tidur sangat berkurang. "Tapi tidak apa-apa karena kalau obsesi tidak tercapai, saya sulit tidur karena hidup dalam penyesalan," ceritanya.

Oleh sebab itu, dari sisi kesehatan, Inggita mengaku ia bukan teladan. "Waktu tidur saya sedikit," katanya. Tentang orang-orang yang "menyukai" malam ini, dengan wajah tegar Inggita bilang,"We will sleep when we are dead."

Lalu, ia mengakhirinya dengan tertawa berderai. Ini serius? (CAN/IVV) http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/28/03165681/manusia.pagi


Langkah Kecil INGGITA

Putu Fajar Arcana

Kami bertemu untuk minum kopi. Petang hari Jakarta supersibuk. Kemacetan sudah lama menjadi hantu. Lewat SMS, Inggita berkabar, ia dalam perjalanan menuju tempat kami janjian, sebuah "lounge" di sebuah hotel yang cukup nyaman untuk mengobrol.

Seorang perempuan berbadan kecil dengan menenteng dua tas di tangannya tampak tergesa-gesa di depan pintu pemeriksaan. Dua tasnya harus melewati lorong sinar-X yang dipasang sejajar di luar lobi hotel. Ketika melintasi pintu, ia meraih telepon selulernya dan menelepon seseorang sembari bergegas memasuki lounge.

Lambaian tanganlah yang kemudian mempertemukan kami di sudut ruangan yang sayup-sayup dihiasi live music dari para pemusik asing itu. "Aduh, maaf, tadi lalu lintas dialihkan. Saya pikir ada suporter sepak bola…," tutur Inggita Suksma Notosusanto (44), perempuan berambut sebahu yang kami tunggu-tunggu. Padahal, keriuhan kota oleh suporter sepak bola baru akan terjadi esok harinya, Kamis (25/3). Hantu suporter? Itu perkara lain lagi.…

Harus kami ceritakan, Inggita dengan rendah hati menolak diwawancarai untuk mengisi rubrik ini. Ia beralasan, tidak layak, tidak memiliki kelebihan apa-apa, masih banyak perempuan yang lebih pantas ditulis. Baiklah. Kami memang berjanji sekadar minum kopi dalam pertemuan yang disengaja ini. Sebab, sebelumnya, tahun lalu kami bertemu Inggita di Temanggung, Jawa Tengah, secara tanpa sengaja. Waktu itu, anak kedua dari Menteri P dan K dan penulis Nugroho Notosusanto ini menjadi relawan acara TEDx, yang menampilkan penemu radio Magno asal Temanggung, Singgih Susilo Kartono.

Tanpa diduga, Inggitalah sebenarnya yang menjadi inspirator dan pelaksana pertemuan yang melibatkan para pembicara dan peserta dari Jepang, Inggris, Perancis, dan Singapura itu. Ia bekerja seorang diri, hanya bermodal membuka jaringan dengan TED yang berpusat di New York, Amerika Serikat. TED, tutur Inggita beberapa saat setelah membuka layar laptop, pada awalnya singkatan dari Technology, Entertainment, Design. "Ini forum masyarakat dunia untuk berbagi," kata Inggita.

Dalam perkembangannya kemudian, TED juga memasuki berbagai bidang yang kira-kira dibutuhkan oleh banyak orang. Dalam situsnya, TED menayangkan kuliah-kuliah umum yang bisa diakses oleh siapa saja. "Saya jadi volunteer untuk membagi apa yang kita punya kepada dunia," tutur Inggita. Bagi para relawan di seluruh dunia, TED mempersilakan menggunakan TEDx sebagai jaringan kerja mandiri. Pada 23 April 2010, Inggita akan menggelar TEDx Bali di Ubud. "Salah satu presenternya Dr Bulantrisna Djelantik, seorang penari dan juga dokter THT," kata Inggita.

Tumbuh

Obrolan kami petang hingga malam itu sama sekali terhindar dari mengungkit masalah pribadi. Inggita membatasi diri untuk bercerita terlalu jauh seputar soal kehidupan pribadi. Walau sebenarnya, wartawan Kompas Susi Ivvaty telah mencobanya beberapa kali.

"Saya tumbuh dewasa dalam lingkungan yang selalu mendengungkan, 'hati-hati pengaruh dunia luar. Hati- hati pada pengaruh internet'," kata Inggita. Tak lama seorang pelayan restoran menuangkan teh di cangkirnya. Teh? Kami memang akhirnya, dengan alasan masing-masing, "cuma" memesan teh dan bukan kopi sebagaimana janji sebelumnya.

Cara berpikir seperti itu, kata Inggita, membuat kita hanya jadi konsumen yang pasif. "Mengapa tidak cukup pe-de mengatakan bangsa kita punya banyak hal yang bisa dikontribusikan kepada dunia," tegas Inggita. Mimiknya serius, tampak dari bibirnya yang sedikit dilipat. Itulah, antara lain, alasan mengapa Communications Manager GE untuk wilayah Asia Tenggara ini serius membagi waktu menyelenggarakan TEDx.

"Ini hanya langkah kecil. Tapi peran volunteer sangat besar. Banyak gagasan bisa dibagi tanpa kendala birokratis," kata perempuan kelahiran 13 Juni 1966 ini. Visi yang dipegang Inggita bukan hal tiba-tiba. Sejak kecil, ayahnya Nugroho Notosusanto, telah mengajarkan untuk cinta Tanah Air. "Kami anak- anaknya diajak untuk mengunjungi candi dan mencatat segala hal, mendatangi museum lontar di Bali, semua hal dicatat. Tujuannya, belajar sampai akhir hayat." Semangat itu pulalah yang dibawa Inggita saat mengambil kuliah dengan spesialisasi media studies di New School University, New York City. Ia menyelesaikan S-2 tahun 2005.

Bukan karena memperdalam bidang media kalau Inggita kini menjadi salah satu "selebriti" di jaringan dunia maya. Baginya, jaringan sosial di dunia maya telah mempertemukannya dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama. Bahkan, para relawan yang kemudian mengurusi TEDx ia jumpai di jaringan Twitter atau Facebook. "Jaringan ini bisa membantu kita mencapai hasil yang luar biasa," bela Inggita terhadap keranjingannya pada jaringan internet.

Kira-kira 15 menit sebelum kami berpisah, Inggita sepakat untuk ditulis. Bahkan, kami janjian untuk sesi pemotretan keesokan harinya....


TENTANG INGGITA SUKSMA NOTOSUSANTO

• Lahir: Jakarta, 13 Juni 1966 

• Pendidikan: 
- 2004-2005 Media Studies New School University New York 
- 2003-2004 Media Management New School University New York
- 1987 Communications California State University, Sacramento, California 

• Pekerjaan: Communications Manager Southeast Asia at GE (General Electric) Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/28/03182364/langkah.kecil.inggita

Tidak ada komentar: